Bayu Aksara
Aku mengalungkan dasi tanpa sempat mengikatnya dan meninggalkan kamar sambil menenteng tas kerja serta sepatu. Setelah meletakkan dua benda itu di atas meja kopi di ruang tamu, aku berbelok ke dapur untuk menyiapkan sarapan instan sebelum berangkat ke kantor. Roti dan selai sudah cukup untuk mengisi perutku untuk mengawali aktivitas pagi ini. Namun sesampainya di dapur aku menarik napas panjang mendapati Ibu sudah sibuk menyiapkan sarapan. Akhirnya aku memutuskan duduk di kursi bar menunggu Ibu selesai dengan aktivitas masaknya. Dari aromanya Ibu sedang membuat nasi goreng.
Sebelum mengajak ke Jakarta aku benar-benar telah memastikan Ibu bisa berdiri dan berjalan seperti biasanya. Namun aku melakukan hal itu bukan supaya Ibu bisa mengurus kebutuhanku. Aku hanya ingin Ibu merasa nyaman tinggal di Jakarta kalau dalam kondisi yang jauh lebih baik dari saat pertama kali aku pulang ke Bandung. Meski begitu tongkat dan kursi rodanya tetap ikut dibawa ke Jakarta juga sekalipun Ibu kekeh sudah tidak membutuhkan alat-alat kesehatan itu lagi.
Sambil menunggu masakan Ibu matang aku mengikat dasi yang melingkar di leherku. Ibu sepertinya belum menyadari kalau aku sudah berada di dapur sejak lima menit yang lalu. Wanita itu masih sibuk dengan spatula dan penggorengannya yang menimbulkan bunyi nyaring ketika keduanya saling bersentuhan.
Sepertinya nasi goreng sudah jadi. Ibu menyalakan titik kompor sebelahnya lagi, meletakan wajan anti lengket di atasnya lalu memecahkan dua butir telur di atasnya. Tak membutuhkan waktu lama telur yang sudah selesai digoreng itu dipindahkan di atas penggorengan yang berisi nasi goreng. Diaduk-aduk sebentar lalu Ibu menyajikan nasi goreng yang sudah matang itu ke sebuah mangkuk besar. Saat berbalik untuk meletakkan mangkuk besar berisi nasi goreng tadi di meja bar, Ibu tersentak melihatku.
“Astaghfirullah!” serunya terkejut. “Aa kenapa nggak ada suaranya?”
“Ibu yang terlalu asyik masak sampai nggak sadar kehadiran Aa di dapur. Ngomong-ngomong kenapa Ibu repot-repot masak? Mana masih pagi ini. Aa udah bilang Ibu nggak perlu repot-repot ngurus keperluan Aa. Ibu di sini itu untuk berobat bukan untuk capek.”
“Tapi Ibu pengen, A. Ibu udah lama banget nggak masakin buat Aa,” ujar Ibu menunjukkan wajah muram. “Ibu nggak capek, kok. Cuma masak nasi goreng ini.”
“Iya, Bu. Tapi Ibu janji nggak boleh capek-capek ya. Kalau memang nggak kuat jangan dipaksa. Aa nggak masalah sama sekali, kok, meski Ibu ngga masak buat Aa.”
“Iya, A. Ibu ngerti. Ngomong-ngomong perabotan di dapur kamu lengkap juga ya. Hampir semua peralatan masak yang Ibu butuhkan ada. Peletakannya juga bagus banget. Nggak bikin perabotan mudah rusak meski lama nggak dipakai,” ujar Ibu. “Siapa yang bantu Aa beli dan nata semua perabotan dapur? Soalnya seingat Ibu, Jasmine nggak serapi dan sedetail itu orangnya.”
Aktivitasku hendak menyuapkan nasi goreng ke mulutku terhenti karena pernyataan Ibu. Aku ingat semua perabotan di apartemen ini Melody yang bantu memilihkan. Tapi aku juga nggak mungkin bilang yang sebenarnya sama Ibu kalau yang memilih sebagian besar perabot dapur dan menatanya sampai serapi itu bukanlah mantan istriku, melainkan mantan pacarku. Ah, sudahlah. Aku sibuk makan nasi goreng aja supaya Ibu nggak melanjutkan sesi interogasinya.
“Nggak nambah, A?” tanya Ibu saat aku telah mengakhiri acara makanku.
“Kenyang, Bu. Nanti kalau kekenyangan malang ngantuk, nggak jadi kerja.”
“Makan yang banyak, atuh, A. Kurusan Aa sekarang.”
“Nggak, Bu. Berat badan Aa tetep, kok.”
“Iya, tapi kurang seger. Sama kurang terurus gitu. Udah waktunya Aa cari pasangan lagi. Sejak cerai dari Jasmine, Aa belum pernah kenalin perempuan lagi sama Ibu. Kenapa, A?”
Aku hanya bisa meringis seperti orang bodoh. “Nggak kenapa-kenapa, Ibu. Cuma emang belum ada yang mau Aa kenalin sama Ibu.”
“Jangan bohong, loh, A!”
“Astagfirullah… Siapa yang bohong. Ini Aa udah jujur banget,” jawabku sambil memasang tampang putus asa.
“Ibu pengen lihat Aa bahagia sama orang yang Aa cintai dan juga mencintai Aa dengan tulus.”
“Ibu tenang aja, ya. Sekarang fokus sama pengobatan Ibu. Nggak usah terlalu mikirin Aa. Aa bukannya nggak ada pikiran sama sekali untuk nikah lagi, kok.”
“Kapan, A?”
“Sebelum usia Aa 40 ya.”
“Masih lama atuh, A. Umur Aa sekarang aja baru 38.”
“Udah jalan 38, Bu. Maksimal 40 ya. Aa serius.”
“Keburu meninggal Ibu, A.”
“Astagfirullahaladzim, Ibu! Ngomong apa, sih? Dokter Chandra aja belum bilang apa-apa lagi soal penyakit Ibu. Kenapa Ibu malah memvonis diri Ibu kayak gitu?”
~~~
Chandralekha
Setelah kedatangan Bayu untuk memeriksakan ibunya, aku jadi punya pemikiran bahwa dunia ternyata tidak seluas yang aku kira. Bayangin aja, aku merasa bisa bertemu Bayu di manapun dan kapanpun. Ada saja momen yang menuntun aku untuk bertemu dengan laki-laki itu. Kebetulan bentuk apa yang sedang Tuhan ciptakan untukku ini? Membuatku agak sedikit bingung menarik benang merahnya.
Aku memang punya kebiasaan selalu menyibukkan diriku dengan aktivitas apa pun. Bahkan nongkrongin IGD di hari libur pun akan aku jabanin supaya tidak menghabiskan waktu seharian cuma bengong kayak kambing bodoh di apartemen. Cuma bikin perempuan single, usia nyaris kepala 4 seperti aku jadi kelihatan semakin menyedihkan.
Dan di sinilah aku berada saat ini. Setelah ketemu meja operasi hampir 12 jam hari ini aku memutuskan untuk mengunjungi salah satu pusat perbelanjaan di ibukota. Muter-muter aja ngetes kekuatan betis sama sekalian shopping tipis-tipis. Begitu keluar dari salah satu outlet sepatu di lantai dua, tatapanku bertabrakan dengan Syfo yang juga baru keluar dari outlet sebelah.
So, pemikiranku soal dunia itu sempit terbukti sekarang. Sepertinya meski aku shopping di Singapore sekalipun bakalan ketemu sama sahabat seumur hidupku itu. BTW, Syfo tidak sendiri. Dia sedang bersama Arkan dan Melody. Oh… Dan satu kenyataan lagi yang tidak bisa aku pungkiri soal kenyataan kalau dunia itu sempit bagiku adalah, sepertinya seumur hidupku akan terus berhubungan dengan Khawas family. Sayangnya perusahaan milik keluarga Syfo itu tidak bergerak di bidang kesehatan. Coba saja kalau punya rumah sakit, sudah bisa dipastikan seumur hidup aku akan mengabdi di rumah sakit itu.
Padahal aku sedang ingin sendiri di pusat perbelanjaan ini. Namun aku tidak berhasil mengeluarkan alasan untuk menghindari trio Khawas tadi. Dan kami berempat berakhir di sebuah restoran yang menyajikan menu masakan Eropa with my favorite one is summer fruit tartelette. Buahnya seger banget parah dan tekstur pastry mereka renyah dan good as always.
“Deuh, yang shopping nggak ngajak-ngajak. Jangan-jangan lo lagi nggak sendirian? Makanya nggak ngajak gue?” cibir Syfo, padahal aku sudah menjelaskan berulang kali kalau ke pusat perbelanjaan ini seorang diri karena memang sedang benar-benar sendiri, bukan karena ingin menghindari siapapun seperti yang dituduhkan Syfo padaku.
“Gue sendirian, Symphony Carolina Khawas. Kagak percaya lo? Cek CCTV sono kalo masih nggak percaya juga.”
Sekilas aku melirik Melody. Perempuan itu hanya menahan senyum melihat pertengkaran kecil antara aku dan kakak perempuannya.
“Percaya aja, deh, Kak. Kalo bohong sumpahin aja nikah dalam waktu dekat,” sambar Arkan.
“Aw… Terima kasih bapak pengacara paling handal se jekardah. Saya doakan semoga bapak segera dikarunia anak lagi, langsung kembar empat ya, Pak. Amin.”
Melody tertawa terpingkal-pingkal sampai mengusap air mata yang mengalir lewat ekor matanya. Sementara Syfo hanya manggut-manggut menyetujui ucapan Arkan. Ekspresi wajahnya seolah sedang menjadi wasit antara aku dan Arkan.
“Tumben lo akhir-akhir ini punya waktu cuma buat nemenin Melody hangout di mall?” cibirku, entah kenapa masih ingin menggoda Arkan.
“Sayang istri, dong. Makanya buruan nikah biar disayang suami,” balas Arkan sembari menahan senyumnya.
“Oh, dulu nggak sayang istri gitu? Makanya nggak punya waktu buat ngajak hangout istri ke mall?” balasku sarkas.
“Nggak gitu konsepnya, Lek!”
Aku hanya mencebikkan bibir menanggapi jawaban Arkan. “Eh, Fo. Ngomong-ngomong semalam Bayu ke tempat praktek gue, dong,” ucapku, tak lagi melanjutkan menggoda Arkan. Aku lebih tertarik menggoda Syfo dan rasa ingin tahunya soal Bayu.
“What? Serius lo?” tanya Syfo tak percaya pada pernyataanku sesaat yang lalu.
“Yap!”
“Tiba-tiba gitu? Sengaja nyamperin elo apa gimana?”
“Ceritanya panjang. Next time, deh, kalo gue lagi pengen cerita gue ceritain ke elo.”
“Nggak asyik lo. Penasarannya sekarang, ceritanya kapan-kapan,” cibirnya.
Aku tertawa puas melihat reaksi sekaligus ekspresi kekecewaan pada Syfo. Sementara Arkan dan Melody serius menyimak obrolan random antara aku dan Syfo. Ekspresi pasangan suami istri itu sulit digambarkan. Seperti pasangan yang baru saja steril tapi dokter kandungan ngasih kabar kalau si istri hamil anak kembar. Antara kaget, bingung dan tidak percaya pada kabar yang disampaikan oleh dokter kandungannya.
“Lagi ngomongin Bayu siapa, sih?” tanya Arkan ingin tahu. Akhirnya bapak satu anak itu bersuara.
“Bayu direkturnya Orland’s Fashion, Kan. Masa kamu lupa, sih? Baru juga beberapa hari yang lalu ketemu dia.”
“Bener, Lek? Bayu yang itu?” tanya Arkan lagi, kali ini pertanyaan itu ditujukan khusus padaku.
“Iya, bener. Emangnya lo kenal berapa banyak nama Bayu, sih, akhir-akhir ini? Apa sepasaran itu juga namanya?” jawabku sarkas.
Tiba-tiba Arkan dan Melody saling pandang. Ekspresi Arkan semakin sulit diartikan. Kelihatan tidak suka tapi aku tidak bisa menebak untuk alasan apa dia sampai tidak menyukai Bayu. Oh, mungkin mereka sedang berselisih paham dalam proses penyelesaian kasus plagiarisme yang sedang dialami Bayu. Begitu pikiran sederhanaku.
“Tapi hubungannya sama Lekha apa, Kak?” tanya Arkan tidak bisa menyembunyikan raut wajah kebingungannya.
“Gini, loh. Lekha ini dokter kandungan yang bantuin persalinan istrinya pemilik Orland’s Group. Dapat reward gitu dia. Liburan ke Jepang. Aku ikut juga ke Jepang. Yang jemput kami di sana itu ternyata Bayu karena ada sebuah kesalahan dari jadwal penerbangan kami. Singkatnya kami kenalan di bandara, dia ngajak makan bareng dan dia juga yang nganter kami dengan selamat sampai hotel. Besoknya Lekha dapat undangan launching produk baru Orland’s Fashion. Waktu launching itulah ketahuan adanya plagiarisme yang dilakukan sama Freya.”
“Kok Kak Syfo nggak pernah cerita soal itu?” Arkan bertanya lagi. Emang dasar pengacara ya. Kalau nggak nanya terus itu nggak enak mulutnya, kesalku dalam hati.
“Ini lagi cerita,” jawab Syfo dengan polosnya.
“Ya, sih,” jawab Arkan agak sedikit kurang santai wajahnya. “Tapi Kak Syfo nggak niat jadi matchmaker mereka berdua kan? Lekha dan Bayu? Soalnya tadi kelihatan antusias banget waktu Lekha bilang kalau Bayu mendatangi tempat praktek Lekha.”
“Nggak matchmaker juga, sih, Kan. Cuma ngaminin aja kalau memang ada jalan buat mereka untuk bersatu. Ya, nggak, Lek?”
Nih orang, astaga. Usaha terus, ya, Fo. Aku hanya memutar bola mata, reaksi malasku menanggapi pernyataan sekaligus pertanyaan dari Syfo. Serah lo aja deh, Fo. Capek gue… Belum aja aku cerita soal pertemuanku dengan Bayu yang tidak sengaja di tempat gym. Bisa teriak histeris sampai kejang-kejang mungkin Syfo ini.
“By the way, gue duluan ya.” Aku meletakkan sendok di atas piring yang telah kosong, berpikir sudah waktunya aku melanjutkan kembali acara me time-ku yang sempat tertunda gara-gara ajakan Syfo ke restoran ini. “Gue juga ada janji ngunjungi nyokap,” tambahku sekalipun rencana itu baru tercetus beberapa menit yang lalu.
Aku berdiri dan menyempatkan diri bercipika-cipika dengan Syfo dan Melody sebelum pergi. Aku sedang tidak berminat ngerumpi bersama Syfo ditambah ada orang lain yang ikut nimbrung ke dalam obrolan kami. Tujuanku ke pusat perbelanjaan ini bukan untuk itu.
~~~
^vee^