Yaksa mendengar kakeknya yang tengah berbicara seorang diri. Kadang kakeknya juga akan tertawa dengan terbahak-bahak. Apa kakeknya bisa berbicara dengan mahluk halus? Tiba-tiba pikiran Yaksa mengarah ke sana. Rasa penasaran tentang hal mistis yang sempat dia pendam, akhirnya muncul kembali.
"Kakek," panggil Yaksa pelan. Kakeknya menoleh.
"Ada apa, Le?"
"Kakek bicara sama siapa?" tanya Yaksa heran.
"Menurutmu, kakek bicara sama siapa? Disini juga tidak ada orang." kekeh Joyo yang terlihat menyeramkan.
"Apa kakek berbicara dengan hantu?" tanya Yaksa takut-takut.
"Apa definisi hantu menurutmu?" kakek Joyo balik bertanya.
Hantu. Definisi hantu. Yaksa bingung. Mahluk apa sebenarnya hantu itu. Pocong? Gendewuro atau kuntilanak? Atau mereka semua hantu? Hantu tidak bisa direalisikan dan digambarkan dalam bentuk. Dalam kamus pun, hantu biasa disebut jin atau iblis. Yaksa hanya menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal. Ah dia bingung.
"Yaksa tidak tau, Kek. Yaksa juga bingung." jawab Yaksa jujur.
"Saat kamu melihat pocong, bisa jadi yang kamu lihat bukanlah wujud yang sesunguhnya. Mereka bisa menyamar menjadi apa saja." jelas Joyo.
"Berarti, pocong bisa saja kuntilanak?"
"Bisa jadi. Untuk menyamar pun, mereka juga harus melakukan ritual."
"Kalau kuyang yang biasa lewat itu, wujudnya apa kek?" tanya Yaksa yang makin penasaran. Sejak kecil, Yaksa sudah sering melihat kepala yang terbang kesana kesini. Kata ibunya, kuyang memangsa wanita-wanita hamil.
"Kuyang itu wujud dari manusia siluman. Bentuknya seperti kepala manusia yang memiliki rambut panjang, dan organ dalamnya menjuntai. Kuyang menghisap darah wanita-wanita hamil untuk menambah kesaktian dan ilmu hitam. " jelas Joyo.
"Bagaimana cara mengusirnya? "
"Dengan bawang dan sapu ijuk." jawab Joyo. Yaksa manggut-manggut. Dalam hati, ia tersenyum senang. Ia akan pergi ke pos depan untuk melihat kuyang.
Yaksa berlari ke dapur. Ia membawa bawang putih dan sapu ijuk. Dengan cepat dia berlari ke pos. Ia seorang diri tanpa teman. Sedangkan Joyo hanya menggelengkan kepalanya saat melihat kelakuan cucunya. Joyo juga sama sekali tak ada niatan untuk mencegah. Biarlah, kelak yang akan mewarisi ilmunya, juga cucunya itu, Yaksa.
Yaksa duduk sambil mengamati suasana. Sudah seperti kurang kerjaan, Yaksa menunggu kedatangan mahluk siluman bernama kuyang. Kuyang itu memang sejenis manusia yang memiliki ilmu hitam. Kalau siang, manusia itu akan berwujud layaknya manusia normal. Tapi, kalau malam, wujudnya sangat menyeramkan.
"Yaksa, kenapa kamu disini, le?" tanya Nainira yang barusan beli gula di warung seberang.
"Nongkrong aja, bu." jawab Yaksa berbohong. Nainira curiga. Ia memicingkan matanya.
"Pulang aja, gih. Bapak kamu juga perjalanan pulang. Masak bapak pulang anaknya malah keluyuran." ucap Nainira. Memang bapak Yaksa kerja di luar kota. Pulangnya satu bulan sekali.
"Nanti, bu. Yaksa masih pengen disini." tolak Yaksa halus. Yaksa tipe anak yang akan melembutkan nada bicaranya kalau sedang bicara sama orang tua.
"Le, jangan bertingkah aneh-aneh. Apalagi mengganggu ketenangan mahluk lain." ucap Nainira dengan nada serius. Yaksa tersentak. Bagaimana ibunya tau apa yang akan dia lakukan malam ini?.
"Pulang, le. Sebelum kamu sendiri yang celaka!"
Yaksa menggelengkan kepalanya. Tidak, ia belum bisa tenang kalau belum menangkap apa yang sudah membuatnya penasaran. Walau dari kecil ia sering melihat kuyang, tapi ia belum bisa menyentuhnya langsung.
"Yaksa cuma nongkrong, bu. Bentar lagi juga balik." kekeuh Yaksa.
"Kalau terjadi apa-apa, jangan panggil nama ibu." ancam Nainira. Yaksa menghela nafasnya. Meraih kembali sapu ijuk dan melompat turun dari pos.
"Iya Yaksa pulang," pasrah pemuda itu. Yaksa mengikuti ibunya dari belakang. Tiba-tiba, bulu kuduk Yaksa merinding.
Shhhhhhtttt!!
Yaksa menolehkan kepalanya. Ia mendengar suara orang menyabet angin. Ia celingak-celinguk. Tapi tak menemukan apapun. Bau busuk menguar. Menyengat hidung Yaksa hingga laki-laki itu ingin muntah.
Shhhttttt!!
Lagi-lagi Yaksa menengok. Tapi, lagi-lagi juga tidak ada apa-apa. Bau busuk makin menyengat. Seperti, bau busuk bangkai yang bercampur darah anyir.
"Kamu dengar, Yaksa. Belum juga kamu mengusiknya. Tapi, mereka sudah akan menyerangmu." ucap Nainira dengan datar. Yaksa tercenung. Ibunya sungguh sakti.
"Jangan tutup hidungmu! Itu malah membuat dia tersinggung." ucap Nainira lagi. Yaksa ingin menjerit. Dari ujung rambut sampai ujung kaki, semuanya merinding. Bulu-bulu kakinya juga tegak berdiri.
"Ini mahluk jahat, Yaksa. Tidak perlu kau tanggapi!"
"Bagaimana ibu bisa tau?" tanya Yaksa penasaran.
Shhhhhttttt!!!
"Itu dia bu!" jerit Yaksa ketika melihat kepala berambut panjang dengan wajah yang sangat rusak. Juga organ-organ dalam yang menjuntai kebawah.
"Arghhhhh hihihihihi!!"
Yaksa melempar bawang dan sapu ijuk tepat dimana mahluk halus yang ingin menerkamnya. Itu dia kuyangnya. Tepat sasaran Yaksa melemparnya. Kuyang itu tegeletak kepanasan dengan darah yang mengucur di lehernya. Kuyang itu juga mengeluarkan suara ringisan yang sangat menyeramkan. "Arghhh hihihihi!!" Wajah mahluk itu kian hancur. Mulut yang dipenuhi darah dan nanah, membuat Yaksa mual.
Jantung Yaksa berdetak tak karuan. Wajah kuyang itu mirip dengan tetangganya. "Yaksa, apa yang kamu lalukan?" marah Nainira. Secepat kilat, Nainira membawa Yaksa pergi. Membiarkan manusia siluman itu meronta-ronta karena sapu ijuk yang menancap tepat di ususnya yang menjuntai.
"Ibu sebentar, aku mau lihat dulu!" Yaksa meronta, mencoba melepas cekalan tangan ibunya.
"Jangan buat masalah, Yaksa. Kamu hanya anak kemarin sore yang sudah kurangajar!" bentak Nainira menyeret kembali Yaksa. Nainira hanya tak ingin, Sulastri mencelakai anaknya. Ya, Nainira kenal siapa kuyang itu. Dia Sulastri. Janda tiga anak yang masih kelihatan kinyis-kinyis. Sudah tak asing ditelinga warga, kalau Sulastri adalah jelmaan sosok kuyang.
Malam yang sepi dan hening, membuat orang-orang desa, malas untuk sekedar keluar rumah dan nongkrong di teras. Kalaupun ada yang keluar, mereka sudah sangat acuh bila dijalan menemui sesosok kuyang. Mereka tidak mau mengganggu manusia berilmu hitam itu. Bukan karena tak mampu menyaingi ilmunya. Tapi, lebih ke tidak mau adanya permusuhan. Kuyang itu masih tergeletak dan berdarah-darah. Hingga, tiba-tiba hilang dengan sendirinya.
Bau busuk masih menguar. Sisa-sisa darah juga masih ada jejaknya di tanah. Bau busuk itu ditimbulkan dari organ-organ kunyang yang menjuntai. Belum lagi wajah penuh ulat kecil-kecil dan nanah.
"Sang ireng jeneng muksa pangreksan, sang ening menenng jati rasane, lakune ora katon, pangrasane manusia." seorang wanita berkebaya dan memakai kain jarik, berjalan membawa kendi dengan menyanyikan mantra jawa kuno. Berjalan melewati pemukiman penduduk yang sudah sangat sepi.
"Sang ireng jeneng muksa pangreksan, sang ening menenng jati rasane, lakune ora katon, pangrasane manusia."
"Sang ireng jeneng muksa pangreksan, sang ening menenng jati rasane, lakune ora katon, pangrasane manusia."
"Le, yen apik digatek, lan yen ala aja ditiru!" suara merdu itu menembus di jendela kamar Yaksa. Yaksa melirik jendela. Sesosok nenek tua pembawa kendi menatapnya sambil tersenyum
"Nak, kalau bagus dipelajari, dan kalau jelek jangan ditiru."