Part 11 | It Shouldn't Be Like This

2474 Words
Rhea masih duduk terdiam dengan tatapan kosong saat Arche pergi ke dapur untuk mengambilkannya minum, ia tau jika teror ini bukan main-main, semenjak dirinya menerima pesan singkat itu, berlanjut dengan bingkisan di kafenya lalu kecelakaan Kern yang disengaja dan sekarang bingkisan berdarah itu sampai di rumahnya. Telapak tangannya masih terasa dingin, bahkan saat Arche sudah duduk di sisinya dan membawakan air putih hangat wanita itu tidak menyadarinya, membuat Arche mengambil tangan dingin itu dan menggenggamkan gelas hangat di kedua tangannya, Rhea seketika mendongak, lalu netranya bertemu dengan tatapan Arche yang menatapnya dengan tatapan entah. "Sudah. Tidak perlu dipikirkan, aku yakin itu hanya ulah orang yang tidak punya pekerjaan," Arche menjawab sekenanya, pria itu akan bangkit dari duduknya namun Rhea segera mencegahnya dan menatap Arche dengan raut wajah takut. "Aku ... aku pikir ini bukan hanya ulah orang yang tidak punya pekerjaan, beberapa hari yang lalu aku mendapatkan pesan aneh yang berisi ancaman untuk meninggalkanmu, lalu aku juga mendapat bingkisan aneh beserta surat di dalamnya yang mengatakan bahwa kejadian tadi adalah peringatan dan yang kutangkap kejadian yang dimaksud adalah kecelakaan di depan sekolah Kern dan Keyla," perkataan Rhea membuat Arche menatapnya tajam, mencengkram erat lengan Rhea hingga wanita itu mendecih kesakitan. "Jangan coba-coba membohongiku dengan hal ini!! Kau pikir aku akan percaya begitu saja? Pesan untuk meninggalkanku?! Kau sedang mengarang cerita agar aku mau melepaskanmu demi keselamatan anak-anakku?! Itu hanya akan terjadi dalam mimpimu! Sampai kapan pun aku tidak akan melepaskanmu. Aku akan memastikan kau hidup dalam penderitaan dan mati pelan-pelan karena rasa sakit itu." Arche tersenyum miring, menghempaskan tangan Rhea hingga membuat wanita itu terhuyung ke belakang. Sedangkan Rhea hanya mematung di tempatnya dengan ekspresi tidak percaya, sungguh ia tidak menyangka pemikiran Arche sampai sejauh itu, tidak bisakah pria itu berpikiran positif tentang dirinya sekali saja? Dia mengatakan itu agar Arche juga waspada terutama untuk keselamatan anak-anaknya, bahkan sekali pun tidak pernah terlintas di pikiran Rhea untuk kabur, dirinya sudah terjatuh dalam pesona Kern dan Keyla hingga tidak terlintas sedikit pun pikiran untuk meninggalkan keduanya, bahkan ia tidak bisa membayangkan bagaimana kedua anak itu tumbuh tanpa kasih sayang seorang ibu, dan Rhea ingin menggantikan peran itu, menjadi ibu terbaik untuk kedua anaknya. "Memang manusia setan yang tidak pernah tertebak," Rhea mengumpat kesal setelah berhasil menenangkan dirinya, berjalan dengan langkah yang menghentak-hentak kembali menuju dapur, melanjutkan acara memasaknya bersama mereka. *** Rhea kembali ke kamarnya setelah menidurkan Keyla, minus Kern, karena anak laki-laki itu masih belum sepenuhnya menerima Rhea, walau pada nyatanya Rhea tau jika Kern merindukan kasih sayang seorang ibu, hanya saja anak itu masih tidak menerima jika Rhea lah kini yang menjadi ibunya. Rhea membuka pintu kamarnya dan tidak mendapati Arche di dalam, sepertinya pria itu lembur untuk pekerjaannya, tadi selama makan malam Arche hanya diam, tepatnya semenjak insiden kiriman tak bertuan itu, pria itu lebih banyak diam namun sesekali menatap tajam ke arahnya, tidak terima dengan ucapan Rhea tentang teror itu. Rhea menghembuskan napasnya kasar, menuju ranjangnya yang hanya berupa sebuah sofa dengan bantal dan bed cover, hari ini ia merasa sangat lelah sekali, tubuhnya sakit di beberapa bagian, terutama punggungnya akibat Arche yang mendorongnya kasar beberapa hari lalu, dan tidak membutuhkan waktu lama untuk Rhea tertidur di tempat yang tidak cukup nyaman untuk beristirahat itu. Tidak lama berselang setelah Rhea benar-benar terlelap ke alam mimpi, Arche masuk ke kamar dengan wajah datarnya, menghampiri 'ranjang' Rhea melihat cara tidur wanita itu yang jauh dari kesan anggun, selimut yang seharusnya membalut tubuhnya justru jatuh setengah ke lantai dan hanya menutupi paha hingga kakinya saja. Dalam diam Arche mengamati raut wajah Rhea yang terlihat gelisah dalam tidurnya, dan tatapannya kini terpaku pada kening Rhea yang masih menimbulkan lebam biru, tempat di mana Arche menyalurkan amarahnya karena salah menuduh Rhea, lalu netranya beralih pada sekitar leher wanita itu yang juga terlihat masih membiru walau sudah agak memudar dari hari sebelumnya, membuat Arche tertawa bodoh, itu juga hasil kegilaannya menyiksa Rhea, dan saat tangannya ingin mengangkat selimut agar menutupi tubuh Rhea yang terlihat menggigil itu, netranya kembali terpaku, pada siku Rhea, melihat luka yang belum kering sepenuhnya, hasil dari wanita itu yang telah menyelamatkan anaknya. 'Sudah berapa lama wanita ini tinggal bersamamu? Dan sudah berapa banyak kau menyakitinya Arche Aldene?' Arche tertawa pongah dalam hati, bergegas ke ranjangnya sebelum perasaannya semakin aneh saat melihat Rhea. Namun sepanjang malam itu, setelah melihat bukti fisik bagaimana kekejamannya pada Rhea, Arche sama sekali tidak bisa tidur, ia terus sibuk memikirkan Rhea, memikirkan semuanya tentang wanita itu, mungkinkah teror yang dikatakan oleh Rhea benar-benar ada? Bukan hanya karangan wanita itu untuk bisa terlepas darinya? Lalu mungkinkah Rhea tidak mencoba untuk kabur darinya? Arche tau, perlahan anak-anaknya menyayangi Rhea. Sebagai sosok Rhea, bukan sosok Zee lagi, dan Arche juga tau bahwa Rhea memiliki cinta yang besar untuk anak-anaknya. Lalu haruskah ia tetap melanjutkan rencana balas dendam itu? Di saat wanita itu telah membuat anak-anaknya tidak jadi kehilangan sosok ibu, di saat wanita itu berperan dengan baik layaknya ibu kandung yang menyayangi anak-anaknya dengan tulus dan tanpa pamrih? "Arggghh. Sialan." Arche beranjak dari tidurnya, keluar dari kamar dan menuju rooftop rumahnya, kenapa akhir-akhir ini Rhea semakin mendominasi pikirannya? Arche menyulut rokoknya, menghisapnya kuat-kuat dan menghembuskan asapnya keras, ia menendang rumput tak berdosa, menatap ke langit-langit tanpa bintang malam ini, pria itu merasa frustasi, ia bingung antara membalaskan dendam Zee atau menerima Rhea sebagai ibu dari anak-anaknya dan melupakan dendam itu. "Zee, beri aku petunjuk." Arche berujar frustasi. "Kau tidak perlu meminta petunjuk pada orang yang sudah mati, lakukan saja apa yang benar menurut hatimu." Rhea datang dengan secangkir kopi di tangannya, sedangkan Arche menatap terkejut namun berubah murka saat melihat Rhea ada di depannya kini, bearani-beraninya wanita itu mengusik ketenangannya. "Apa yang kau lakukan di sini?!!" Arche menangkis secangkir kopi yang disodorkan Rhea kepadanya, membuat kopi panas itu tumpah dan sebagian mengenai tangan Rhea, lagi-lagi Arche menyakiti wanita itu. "Aku? Aku ingin membawakan secangkir kopi untuk suamiku yang sepertinya sedang putus asa." Rhea menjawab santai, memungut cangkir itu dan meletakannya di kursi panjang, ia duduk di sana, mengabaikan tatapan Arche yang seolah siap memakannya hidup-hidup. "Apa yang kau lakukan di sini? Siapa yang mengijinkanmu duduk di situ?!" "Jangan mudah emosi Arche, kau akan mempunyai hipertensi di usia muda nanti, sudah kukatakan aku ke sini ingin menemani suamiku. Sebagai istri yang baik, harus selalu ada saat suami membutuhkannya, kan?" Rhea tersenyum begitu lembutnya, sekali lagi tidak terpengaruh dengan tatapan Arche yang mungkin bersiap untuk mencekiknya seperti biasa. "Pergi dari sini sekarang!" Arche berujar tegas tak terbantahkan, namun bukan Rhea namanya jika tidak keras kepala. "Bukankah sudah kukatakan dua kali? Dan ini ketiga kalinya, aku di sini untukmu, kau bisa menceritakan masalahmu padaku, sekali pun masalahmu itu adalah tentang aku, mungkin aku bisa membantumu menentukan pilihan," Rhea tersenyum lembut sekali lagi, tadi dirinya sudah tertidur, namun saat mendengar umpatan Arche di kamar membuat ia bangun dan berniat menyusul Arche, berharap dengan ini hubungan mereka menjadi lebih baik. "Sepertinya kau bingung dengan acara balas dendammu terhadapku kan? Ketahuilah Arche, kupikir kau harus menyelidiki kembali kasus kematian istrimu, karena aku sendiri yakin bahwa ayahku tidak mungkin membunuh istrimu," kini tatapan Rhea berubah serius sedangkan Arche tersenyum sinis, membuang puntung rokoknya dan menginjaknya kuat. Arche maju mendekati Rhea dan mencengkram rahang wanita itu. "Kau pikir ayahmu bukan pembunuhnya? Kenapa aku harus percaya padamu di saat semua bukti sudah mengarah pada ayahmu? Nyatanya ayahmu seorang pembunuh. Pembunuh!" Arche menghempaskan Rhea dengan kasar, dan meninggalkan Rhea di sana, yang perlahan meneteskan air matanya, hatinya terasa sakit saat Arche dengan tega menyebut ayahnya sebagai pembunuh. Sungguh, Rhea yakin ada sesuatu di balik kasus ini, dan ia yakin bukan ayahnya yang menjadi tersangka. Sedangkan Arche hanya mampu berdiri kaku di balik pintu rooftop, memandangi tangannya yang baru saja ia gunakan untuk menyakiti Rhea lagi, sudah jelas-jelas ia bisa melihat lebam kebiruan di leher wanita itu dan kini ia menambahnya lagi. "Arggh!! Persetan dengan semua itu, dia memang pantas mendapatkannya." Arche mengacak rambutnya frustasi, turun ke bawah dan memilih untuk ke pub terdekat, menghilangkan stress dengan minuman sepertinya ide yang baik untuk malam ini. *** "Selamat pagi sayang," Rhea menyapa kedua anaknya itu yang sudah siap di meja makan dengan seragamnya, ia melirik sekilas ke arah Arche yang juga sudah rapi dengan pakaian kantornya, yang Rhea tau pagi tadi Arche baru pulang dengan bau alkohol yang sangat menyengat, dan kini pria itu telah sadar sepenuhnya, cukup hebat. Rhea tersenyum tipis pada Arche yang menatapnya kesal. "Selamat pagi Mommy, Mommy tidak menyapa Daddy juga?" Keyla tersenyum lebar, membuat Rhea tertawa dan segera menyapa Arche juga, dan hanya dibalas oleh deheman, membuat wanita itu menyesal telah menyapanya. "Pagi ini Mommy hanya membuat sandwich, tapi Mommy menyiapkan sushi untuk makan siang kalian, habiskan sarapan kalian dan baik-baiklah di sekolah. Oke?" "Oke." Keyla menjawab dengan mulut penuh sandwich, sedangkan Kern hanya mengangguk dan kembali menikmati makannya dalam diam, begitu juga dengan Arche, sedangkan Rhea memilih untuk membersihkan cucian kotor di wastafel yang menumpuk karena kegiatan memasaknya. "Mommy tidak ikut sarapan bersama kita?" Tanya Keyla. "Mommy bisa sarapan nanti sayang, yang terpenting kalian harus sarapan." "Makan sekarang Rheana, kau ingin mengajarkan anak-anak untuk makan tidak tepat waktu?" Arche berujar tajam dan dalam membuat Rhea langsung membersihkan tangannya dan duduk di meja makan dengan wajah setengah kesal. *** "Jadi bagaimana dengan perkembangan ayah saya dok?" kini Rhea tengah berkonsultasi dengan Sean mengenai ayahnya. Dokter muda itu tersenyum dan menatap Rhea menenangkan. "Sejauh ini Tuan Smith selalu teratur meminum obatnya dan tidak pernah menolak untuk menjalani terapi, namun ada satu hal yang mengganggunya," "Apa itu, dok?" "Beberapa hari terakhir Tuan Smith sering ketakutan tanpa sebab dan selalu menggumamkan kata 'Jangan ganggu aku', dan 'Jangan bunuh putriku', aku berpikir mungkin ini ada kaitannya dengan kasus yang dialaminya sebelumnya." Wajah Rhea pias setelah mendengarkan ucapan Sean, memikirkan apakah mungkin teror yang ia alami juga dialami oleh ayahnya? "Terima kasih atas infonya Dokter, bolehkah aku menemuinya sekarang?" Rhea tersenyum kaku, sedangkan Sean hanya menganggukkan kepalanya, dan mempersilahkan Rhea keluar dari ruangannya. "Ayah," Rhea memasuki ruang rawat ayahnya dengan hati yang berdenyut ngilu, ia tidak menyangka ayahnya harus berakhir di tempat ini. "Rhea? Rheana? Kau kah itu?" Smith menatap Rhea dengan berkaca-kaca, membuat Rhea ikut menangis, ini pertama kalinya Smith memanggilnya penuh dengan kelembutan setelah lima belas tahun berlalu, setelah kematian ibunya saat dirinya berusia sepuluh tahun, ayahnya berubah menjadi sosok tak dikenal. "Kau baik-baik saja? Apa ada yang melukaimu? Kau terluka. Siapa yang melukaimu? Pasti orang itu. Iya pasti orang jahat itu. b******k. Berani dia menyentuh putriku!!" Smith berubah emosi, dia bangkit dari duduknya dan melempar vas di atas nakas membuat Rhea berteriak. "Ayah. Aku terjatuh di kamar mandi, kau tidak perlu takut." Rhea memegang kuat kedua tangan Smith, dan membawa ayahnya itu dalam pelukannya. "Kau yakin bukan dia yang menyakitimu? Ayah akan membunuhnya jika dia berani menyakitimu." Emosi Smith perlahan naik lagi, membuat Rhea mengusap lembut punggung tua itu dan tersenyum dengan air mata yang membasahi wajahnya. "Bukan ayah. Tidak ada yang menyakitiku. Percayalah." Rhea tersenyum menenangkan yang mampu membuat Smith percaya. "Maafkan ayah ya yang membuatmu bersedih, ayah selalu mengabaikanmu." Smith ikut berkaca-kaca, menghapus air mata Rhea dengan tangan tuanya. "Ayah tidak salah, aku bahagia memilikimu ayah." Rhea kembali memeluk Smith, niatnya untuk bertanya ia urungkan mengingat bagaimana emosi ayahnya saat ayahnya menyebutkan orang itu. *** Rhea menjemput Keyla dan Kern masih dengan pikiran yang bertanya-tanya tentang siapa seseorang yang dimaksud ayahnya dan juga Sean. Bahkan celotehan Keyla di sebelahnya benar-benar tidak didengarkan oleh Rhea. "Mommy, kau tidak mendengarkanku?" Keyla menggoyangkan lengan Rhea yang sedang menyetir, membuat wanita itu menatap sekilas ke arah Keyla dan kembali fokus pada jalanan, menyalahkan kebodohannya yang melamun sambil menyetir. "Maafkan Mommy sayang, Mommy sedang menyetir, ceritanya kita lanjut di rumah ya?" Rhea mengusap puncak kepala Keyla berusah memberi pengertian pada anak perempuan itu. "Baiklah, aku akan menceritakan ulang pada Mommy saat di rumah nanti," Keyla bersidekap dengan wajah setengah kesal, membuat Rhea tersenyum dengan rasa bersalah pada Keyla, ia mengusap lembut rambut anaknya itu dan berjanji akan mendengarkan cerita Keyla dengan baik, sedangkan di jok belakang, Kern bersyukur dalam hati karena Rhea tidak mendengarkan cerita Keyla dan berharap saat sampai rumah nanti Keyla akan melupakannya, jika Keyla masih mengingat, Kern akan berusaha membuat Keyla lupa untuk tidak menceritakannya lagi pada Rhea, karena anak laki-laki itu malu dan gengsi. Sore hari Rhea berkutat di dapur membuat cake untuk menemani anak-anaknya yang sedang bermain, tadi setelah pulang sekolah keduanya langsung tertidur dan terbangun saat sore hari, Rhea mengajak keduanya untuk mandi namun seperti biasa Kern tidak ingin di temani. "Cake cokelat dengan chocohips siap untuk disantap." Teriakan Rhea dari arah dapur mampu membuat Keyla dan Kern yang sedang mewarnai seketika mendongak, Keyla yang paling antusias, ia langsung mengambil sepotong cake itu dan memakannya hingga mulutnya penuh, membuat Rhea tertawa dan mengacak puncak kepala Keyla gemas. "Kern, ayo ambil cake-mu sayang," Rhea tersenyum, menyodorkan piring berisi beberapa cake cokelat itu kepada Kern, dan Kern mengambilnya dengan malu-malu. Kern memakan kue itu sedikit-sedikit, tidak seperti Keyla yang langsung memasukkan semua potongan ke mulutnya, dan saat potongan pertama masuk ke mulutnya, Kern memejamkan matanya, merasakan bagaimana enaknya cake cokelat itu lumer di mulutnya. Itu seperti buatan Zee atau Kern mengakui jika buatan Rhea sedikit lebih enak dengan rasa khas yang mengandung cherry di setiap potongannya, dan Kern berjanji akan menghabiskan setiap kue yang dibuat oleh Rhea mulai saat ini. "Bagaimana Kern sayang? Kau menyukainya?" Rhea bertanya dengan senyum yang tidak pernah luntur di bibir plumnya. "Enak, aku suka, bolehkah aku memintanya lagi Mommy?" Kern berujar lirih, namun Rhea masih bisa mendengar apa yang diucapkan Kern, anak itu menyukai kuenya, dan untuk pertama kalinya, Kern memanggilnya Mommy, dan itu adalah kebahagiaan luar biasa untuknya hari ini. "Tentu, tentu kau boleh memakannya lagi, tapi jangan lupa untuk saling berbagi dengan saudaramu, oke?" Kern tersenyum menganggukkan kepalanya, sedangkan Keyla bergelayut manja di leher Rhea dan berbisik di telinga wanita itu. "Sepertinya Kern mulai menyukaimu Mommy, aku juga menyukai Mommy, masakan Mommy selalu seenak Mommy Zee." Keyla tersenyum mengecup pipi Rhea dan beralih mengambil satu potong lagi cake itu, mengabaikan tatapan pias Rhea yang kembali disadarkan oleh kenyataan jika nyatanya kedua anak itu menyukainya karena masih terpengaruh oleh bayang-bayang Zenita, kedua anak itu menyukainya bukan karena dirinya Rheana Rosalind melainkan karena Zenita Aldene. Di depan pintu Arche bisa melihat semuanya, melihat bagaimana interaksi antara anaknya dengan Rhea, melihat bagaimana Kern yang tersenyum pada Rhea dan memuji masakan Rhea, melihat bagaimana Keyla yang menggelayut manja pada Rhea, semua itu mampu membuat Arche semakin kacau, kacau karena sepertinya ia telah salah melangkah, seharusnya sejak dulu ia langsung saja membunuh Rhea untuk membalaskan kematian istrinya, seharusnya ia tidak membawa masuk Rhea ke dalam kehidupan anak-anaknya, dan seharusnya ia juga tidak memiliki perasaan-perasaan aneh yang akhir-ahir ini mengusik hatinya untuk menyudahi rencana balas dendamnya pada wanita itu. Seharusnya tidak seperti ini kan? Seharusnya ia membuang jauh-jauh hatinya saat berhadapan dengan wanita itu jika tidak ingin rencananya kacau. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD