Berulang kali Emanuel melirik Ezme tetapi gadis itu tetap diam dengan ponsel yang dia mainkan. Seolah berusaha menekan semua rasa khawatirnya.
“Marry, apa dia teman-mu yang jadi asisten?” tanya Emanuel.
“Benar. Dia adalah wanita luar biasa,” jawab Ezme bangga.
“Luar biasa?” ada kerutan di wajah Emanuel yang dingin.
“Benar. Sangat luar biasa. Semangatnya bahkan melebihi aku yang tidak punya beban di dalam rahimku.”
“Apakah kehamilan merupakan beban?”
“Bagi orang lain mungkin tidak tetapi bagiku, Ya. Aku tidak mau dibebani oleh seorang anak,” jawab Ezme tegas.
“Dengan kata lain, kau tidak bisa menjadi wanita spesialku. Kebetulan aku suka dengan wanita yang rela tubuhnya mengalami perubahan saat dia hamil atau menyoesui,” sahut Emanuel tertawa.
Sama seperti Emanuel, Ezme pun tertawa geli mendengar humor kering dari salah satu lelaki lajang paling berpengaruh di kota negara mereka.
“Anda bercanda, kan? Apakah diantara sekian banyak wanita yang pernah menjadi teman kencan Anda tidak ada seorangpun yang bersedia?” tanya Ezme setelah tawanya reda.
“Menurutmu? Mereka sama sepertimu. Wanita yang selama ini aku kenal tidak mau punya anak. Mengapa harus menerima beban sementara mereka bisa melenggang bebas,” jawab Emanuel.
“Lalu temanmu sendiri, apakah kekasih atau suaminya sudah diberitahu?” tanya Emanuel kembali.
“Aku tidak tahu.”
Jawaban Ezme membuat Emanuel tidak meneruskan pertanyaannya. Bagaimana pun dia adalah orang asing yang mulai bosan pada kegiatan rutinitas yang mulai membuatnya lelah.
Semua kegiatan yang dia lakukan dari pagi sampai sore memiliki kesamaan yang terus terulang. Dia membutuhkan hiburan dan pengalihan perhatian.
Senyum sinis terlihat di bibir Emanuel saat dia mengingat pertemuannya dengan Lev. Dalam hatinya Emanuel berpikir bahwa Lev sama sepertinya. Bosan sehingga mencari yang berbeda.
Namun, perbedaan yang terjadi pada Lev adalah dia memiliki kekasih yang usianya lebih tua dari usia Lev sendiri sementara dia, dia tidak memerlukan kekasih yang lebih dewasa darinya.
“Selain sebagai temanmu, apa kalian berbagi apartemen?”
Suara tawa Ezme terdengar nyaring sebelum dia menjawab. “Marry lebih masuk akal dari temanku yang lain. Bagaimana mungkin dia mau tinggal bersamaku sementara dia tahu aku tidak suka dengan anak-anak.”
“Lalu dia tinggal sendirian?”
“Tidak. Dia tinggal bersama seorang wanita setengah baya pemilik apartemen yang dia sewa,” jawab Ezme.
Walaupun ada keheranan karena tidak menduga Emanuel sebagai lelaki yang begitu ingin tahu tentang seorang wanita yang tidak dia kenal, Ezme tetap menjawabnya.
“Apa mungkin Emanuel sebenarnya mengenal Marry, tapi dimana mereka kenal?” pikir Ezme sebelum mobil yang dikemudikan sopir pribadi Emanuel masuk ke pelataran parkir Lobby dan berhenti tepat di depan pintu lobby rumah sakit.
“Kenapa bukan rumah sakit besar?” tanya Emanuel begitu mereka sudah turun.
Apa yang diharapkan Emanuel ketika seseorang menyebut rumah sakit. Bagi lelaki yang memiliki kekayaan luar biasa, rumah sakit tempat dia berada sekarang bisa jadi dia akan menyebutnya hanya klinik, tetapi bagi mereka dengan keterbatasan saldo di rekening, tempat tersebut lebih baik daripada hanya berada di rumah saja.
“Ayo,” ajak Ezme yang menolak menanggapi ucapan Emanuel.
Biana sudah menyebutkan dimana dia berada sehingga Ezme tidak perlu bertanya lagi pada bagian informasi. Dia langsung mengajak Emanuel menuju tempat Biana duduk menunggu sendirian.
“Biana, bagaimana apakah belum juga selesai operasinya?” tanya Ezme begitu dia bertemu Biana.
“Masih di ruang pemulihan. Ezme, aku sangat khawatir sekali tetapi Marry, aku tidak tahu apa yang dia rasakan. Sama sekali tidak panic,” kata Biana melaporkan.
“Lalu, bagaimana denga bayinya, apakah sehat?”
“Sehat,” jawab Biana.
Mata wanita setengah baya itu lalu memperhatikan Emanuel yang berdiri di samping Ezme. Pandangannya seolah bertanya sehingga Ezme langsung menjelaskannya.
“Beliau adalah Tuan Emanuel Durstan,” jawab Ezme tanpa ada informasi apa pun yang mengikutinya.
“Boleh aku melihat bayinya?” tanya Ezme pada Biana.
“Silahkan, bayinya ada di bagian pinggir sehingga kau bisa melihatnya dari kaca. Tapi kau bisa mengatakan pada perawat bila ingin melihatnya lebih jelas. Katakan saja Bayi Nyonya Rosemary,” beritahu Biana.
Rosemary, nama yang bagus tapi kenapa dia memilih dipanggil Marry bukannya Rose? Setidaknya seperti itulah yang ada di dalam pikiran Emanuel saat dia memandang Biana dan Ezme bergantian.
Ezme dan Emanuel kemudian meninggalkan Biana yang tetap setia menunggu Rosemary. Dia seperti tidak rela apabila pergi sementara Rosemary masih ada di ruang pemulihan.
Di depan ruang neonatal intensive care unit, Ezme dan Emanuel memperhatikan bayi sesuai dengan petunjuk Biana sampai seorang perawat menghampiri mereka.
“Aku ingin melihat Bayi Nyonya Rosemary,” beritahu Ezme.
Dengan senyum ramahnya perawat tersebut lalu masuk ke dalam dan tidak berapa lama kemudia ada perawat lain yang masuk lalu mengangkat seorang bayi yang ada dibuaian dekat kaca.
“Ya Tuhan…bagaimana bisa Marry melahirkan bayi yang tampan seperti itu? Aku penasaran siapa ayahnya,” puji Ezme ketika perawat mendekatkan wajah bayi mungil yang sudah memperlihatkan modal ketampanannya.
Sama seperti Emanuel. Dia belum mengenal siapa wanita yang dipanggil Marry oleh Ezme, bahkan dengan Ezme saja dia baru kenal tetapi melihat seorang bayi yang memiliki rambut ikal dan tebal dengan wajah yang tampan membuat Emanuel tidak bersuara.
“Aku benar-benar penasaran siapa ayahnya. Aku yakin ayahnya bukan lelaki Indonesia,” kata Ezme.
Pelan tetapi masih bisa didengar oleh Emanuel.
“Laki-laki Indonesia? Bagaimana bisa ayah bayinya laki-laki Indonesia?” tanya Emanuel heran.
“Maaf, sepertinya aku belum mengatakan padamu bahwa Rosemary adalah mahasiswa asal Indonesia,” jawab Ezme.
“Begitu.”
Tidak ada kata atau kalimat lagi yang diucapkan mereka pada saat perawat kembali meletakan bayinya Rosemary kembali ke buaiannya.
Mereka kembali ke tempat Biana berada tetapi sebuah pesan masuk ke ponsel Ezme yang dikirim oleh Marry.
“Aku sudah ada di ruang perawatan.”
Pesan singkat yang dilanjutkan dengan pemberitahuan tempat Marry di rawat sehingga mereka bergegas menuju ruang perawatan.
Yang pertama dilihat oleh Emanuel adalah wajah lega wanita yang memiliki kecantikan alami walaupun tidak memakai make up secara berlebihan.
“Selamat ya. Maaf, aku tidak ada ketika kau membutuhkan,” kata Ezme pada Marry setelah memberikan pelukannya.
“Tidak masalah. Aku beruntung tidak perlu melahirkan di jalan hingga mengurangi kepanikan Biana,” jawab Rosemary tertawa.
“Kau tidak sakit?” tanya Ezme.
Bukankah wanita yang baru melahirkan seringkali merasakan sakit? Tapi kenapa Marry seperti berbaring biasa?
“Sakit, tetapi kalau aku perlihatkan aku tidak akan diperbolehkan melihat putraku. Kau sudah melihatnya?” kata Marry.
Emanuel yakin Rosemary tahu ada orang lain yang datang bersama Ezme, tetapi dia seolah tidak melihatnya membuat Emanuel seperti tidak dianggap.
“Sudah. Bayi-mu sangat tampan. Aku yakin ketika dia remaja kau harus bisa mempunyai sapu besar untuk mengusir para wanita yang memujanya,” sahut Ezme tertawa.
“Benarkah? Aku tadi tidak terlalu memperhatikannya,” jawab Rosemary pelan.
“Aku rasa dia mirip dengan ayahnya. Apa kau sudah mengatakan pada ayahnya kalau kau sudah melahirkan?” tanya Ezme.
Ada jeda yang terjadi begitu Ezme selesai bicara. Dan Ezme langsung menyadari kesalahan yang sudah dia lakukan.
Mengapa dia harus bertanya sekarang sementara sebelumnya dia tidak pernah ingin tahu siapa lelaki yang sudah membuat Marry hamil?
“Belum dan aku sama sekali tidak ada niat untuk mengatakannya,” jawab Rosemary setelah cukup lama terdiam.
Pada saat Rosemary berpaling ke arah lain, tanpa sengaja dia berpandangan dengan Emanuel dan lelaki itu sempat melihat mata Rosemary yang membayang.