Kedatangan Kang Darman

2501 Words
PART 3 Aku sengaja masuk ke rumah Emak lewat pintu belakang yang langsung menuju dapur. Menghindari saudara-saudaraku yang masih berkumpul di ruang tamu. Kulihat hanya Emak sendiri yang sedang sibuk memasak di dapur. Kasihan melihatnya, pekerjaan sebanyak ini harus Emak kerjakan sendirian. Dua orang adik perempuanku itu memang seperti tidak punya hati dan akal, tega membiarkan Emak memasak sendirian, tetapi anehnya, Bapak selalu menyanjung mereka. Sedangkan aku yang selalu diandalkan Emak saat sedang sibuk atau ada acara besar di rumah, justru malah selalu dinyinyiri dengan kata-kata yang pedas, apalagi jika bukan tentang suamiku, Bang Riswan. Di bawah dekat pintu dapur terdapat dua ayam kampung yang sudah disembelih hanya belum dicabuti bulu-bulunya. "Mak?" panggilku pelan dari depan pintu. Emak yang sedang sibuk memasak bumbu rendang, menoleh sekilas ke arahku. "Tolongin emak pesiangin ayam ya, Ris." "Iya, Mak." Aku langsung masuk dan memasak air, untuk merendam ayam-ayam yang sudah disembelih agar mudah saat dicabuti bulu-bulunya. Sembari menunggu air masak, aku duduk di sebelah Emak, mengambil sebuah bangku pendek terbuat dari papan yang hanya setinggi mata kaki, "jojodok" nama yang warga kampung kami bilang untuk menyebut bangku pendek tersebut. "Ris?" tanya Emak, sembari tangannya terus mengaduk-aduk bumbu rendang di penggorengan. "Apa, Mak." "Maafkan emak, ya," ucapnya pelan. "Maaf buat apa, Mak?" tanyaku, sambil memotong-motong kentang yang sudah dikupas menjadi empat bagian buat campuran rendang. "Karena tidak bisa membelamu, saat dihina bapak dan saudara-saudaramu yang lain, selain hanya meminta kamu untuk selalu mengalah," jawab Emak pelan, sembari memasukkan potongan-potongan daging ke dalam penggorengan. Matanya kulihat berkaca-kaca. "Iya, Mak, tidak apa-apa, Risma mengerti keadaan Emak," ujarku pelan, masih terus melanjutkan memotong kentang. Emak memang tipikal perempuan desa kuno, yang selalu mengalah dan hanya menuruti apa kata Bapak. Selama aku tinggal di rumah ini, Emak memang selalu begitu, untuk menghindari keributan dalam rumah tangga antara beliau dan Bapak. Bapak yang selalu merasa benar, dan ingin menang sendiri dalam segala hal, berbanding terbalik dengan Emak yang hanya diam dan banyak mengalah. Aku sangat tahu jika Emak memendam batin selama ini atas sifat egois Bapak, termasuk saat Bapak pernah menikah lagi dengan seorang janda anak dua, tetangga kampung yang tidak jauh dari perbatasan desa. Walaupun itu tidak berjalan lama, hanya sekitar dua tahun, saat akhirnya Bapak meninggalkan perempuan itu begitu saja karena banyak permintaannya. Saat itu aku masih SMP kelas 2. Emak yang mendengar kabar pernikahan siri bapak, hanya diam saja, tidak menegur atau pun marah-marah dengan Bapak. tapi sering aku melihatnya menangis terdiam di dapur ini sembari memasak buat bapak dan anak-anaknya. Ruangan dapur ini adalah saksi Emak mengekpresikan rasa sakit dan luka hatinya. Emakku ini memang sama persis memiliki sifat seperti Bang Riswan, lebih baik diam dan mengalah, makanya aku sering kasihan sama Emak, dalam menghadapi sifat bapak yang angkuh. Bapak saat mudanya dulu seorang makelar tanah dan pesawahan, sering memegang uang dalam jumlah banyak jika tanah atau sawah yang dia perantarakan laku terjual. Makanya sifatnya sangat arogan, karena sering memegang banyak uang, dan sering dipanggil orang dan warga dengan panggilan juragan. "Risma!" teguran sedikit keras Emak mengagetkan aku. "Eh, iya, apa Mak," jawabku, sedikit gelagapan. "Itu air yang kamu masak, sudah ngegolak-golak ( mendidih ) sedari tadi," tukasnya. Aku tertawa kecil, langsung bangun untuk segera mengangkat air dan membawanya kedekat pintu dapur, lalu mulai mencelupkan kedua ayam yang sudah disembelih tadi. "Ris?" tanya Emak lagi, saat aku sedang mencabuti satu persatu bulu-bulu ayam. "Apa, Mak." "Tidak apa-apa Ris, jika kita mengambil sikap bersabar dan mengalah demi menghindari pertikaian dan perdebatan," kata emak, sambil memasukkan potongan kentang ke dalam penggorengan. "Risma sudah terlalu lama mengalah, Mak. Bukannya mereka malah tersadar, justru malah semakin menjadi-jadi," sanggahku pelan. "Tetapi tidak enak, Ris, jika didengar tetangga. Sama saudara sendiri dan Bapak kok ribut terus." "Risma juga sebenarnya tidak ingin ribut, Mak. Emak, 'kan bisa lihat, jika Risma selama ini selalu diam dan mengalah, tapi Risma juga punya hati, Mak. Sakit atuh Mak, kalau setiap saat selalu dihina dan direndahkan terus," jelasku pelan. Emak terdiam, mungkin beliau sedang berpikir ke dirinya sendiri. Berpuluh-puluh tahun berumah tangga dengan bapak, selalu jadi pihak yang mengalah, hanya untuk menghindari keributan dan pertikaian. Bahkan walaupun aku tahu jika itu Bapak yang salah, tapi tetap saja Emak yang mengalah. 'Kasihan, Emak' keluhku dalam hati. Menjelang siang, sekitar jam 11.00. Rombongan keluarga Kang Darman tiba dari Jakarta, dengan menggunakan dua mobil. Kakak tertuaku dan istrinya ini sepertinya ikut menumpang mobil anak-anaknya. Kedua anak Kang Darman semuanya perempuan, sama dengan aku. Baru mempunyai satu cucu dari anak pertama, sementara anak keduanya baru saja menikah enam bulan yang lalu. Kami semua keluarganya di kampung ikut semua ke Jakarta saat itu. Masakan yang sudah aku dan Emak persiapkan semenjak subuh tadi, semua sudah tersaji di ruang tamu keluarga. Ruang tamu dan teras rumah yang cukup besar, sanggup untuk menampung semua anggota keluarga besar. "Suami dan anak-anakmu kemana, Ris, kok nggak kelihatan?" tanya Kang Darman,saat kami akan memulai makan bersama. "Teh Risma mah, suaminya nggak mau akur sama keluarga, Kang, selalu menghindar jika ada acara kumpul-kumpul macam gini," celetuk Ela, menyambar ucapan Kang Darman. Tetapi tidak ditanggapi oleh kakak tertuaku itu. "Ada di rumah, Kang?" jawabku pelan. "Panggil atuh, Ris, biar makan bareng-bareng sini," ujar Kang Darman. "Biar saja Kang, paling-paling juga si Risma sudah bungkusin buat dibawa pulang," sindir Kang Amran. Dalam hati aku hanya bisa mengelus d**a. "Ical, tolong kamu panggil Riswan ke mari, bilang saja dipanggil uwa." Kang Darman menyuruh anak tertua Kang Amran, keponakanku untuk memanggil suamiku. "Baik, Wa," jawab Ical, langsung berlari keluar rumah. "Lagaknya macam jendral saja, sampai harus dipanggil-panggil," celetuk bapak. "Sudah-sudah kita makan lebih dulu saja, buat apa nungguin makan hanya untuk orang yang tidak penting!" ketus Bapak, lalu mengambil piring dan langsung menyendok nasi dari bakul bambu, diikuti oleh saudara-saudaraku yang memang tidak suka dengan Bang Riswan. Kulihat Kang Darman seperti menghela nafas, kakak pertamaku pun baru menyendok nasi di bakul yang berbeda, lalu diikuti oleh istri, anak, dan menantunya. "Kamu kok nggak makan, Risma?" tanya Teh Uni, kakak iparku, istri dari Kang Darman. Sembari ingin memasukkan sendok nasi ke dalam mulutnya. "Nan--" "Teh Risma mah sudah misahin duluan, Teh Uni, buat suami sama anak-anaknya, kita ini hanya makan sisanya saja," sindir Samsiah, langsung nusuk ke hati. Memotong ucapanku. Ingin rasanya kujambak rambut adikku yang bermulut tajam itu karena segala ucapan fitnahnya. Dadaku mulai terasa panas, Emak yang duduk di sebelahku lantas mengusap-usap pelan pahaku, bermaksud menyabarkan "Yah, jika benar tidak apa-apa, 'kan, setahu akang memang hanya Risma yang suka bantu Emak di dapur," seloroh Kang Darman, membelaku. Wajah Ela dan Samsiah terlihat cemberut. "Risma tidak pernah misah-misahin makanan, Emak sendiri kok yang sengaja bungkusan buat dia dan anak-anaknya," sahut emak, membelaku. "Kasihan, 'kan sudah capek-capek masak di dapur," jelas Emak lagi. "Emak memang selalu beda perlakuan jika dengan Risma," ucap jahat Amran menuduh Emak. Sekarang Emak yang langsung terdiam, karena dianggap membedakan anak-anaknya. "Dengar tuh Sawiyah, jangan suka beda-bedain anak makanya!" sentak Bapak. "Akhirnya, malu, 'kan diceplosin sama anak." Paras wajah Emak terlihat sedih, beliau langsung menunduk. "Sudah-sudah, acara kumpul-kumpul kok, malah jadi ribut begini," sela Kang Darman. Ical, yang tadi disuruh memanggil suamiku, langsung masuk rumah. "Riswannya mana, Cal?" Ical menjawab sembari sedikit terengah-engah, sepertinya dia seperti habis berlari. "Sedang jalan ke mari, Wak, sebentar lagi juga sampai." "Assalamualaikum," ucap salam suamiku dari depan pintu, sembari menggendong dan menuntun kedua anakku. Bapak dan ketiga saudaraku yang memang tidak suka dengan Bang Riswan, mereka acuh-acuh saja tidak menjawab salam doa dari suamiku, menoleh pun tidak. "Ayuk Riswan sini makan dulu sama-sama," ajak Kang Darman. Yuli anak pertamaku melepas pegangan tangan ayahnya lantas berlari ke arahku. Bang Riswan mulai masuk, baru saja dua langkah mendekati Kang Darman, Bapak kembali bicara. "Riswan, si Risma, 'kan sudah ngebungkus dan misahin makanan buat kamu, jadi yah tidak usah lagi makan bareng di sini, minta saja sama si Risma nasi dan lauk yang sudah dia bungkus tadi," sindir Bapak. Terlihat memerah muka suamiku karena menahan malu. "Baik, Pak," jawab suamiku pelan, sementara air mataku mulai mengembang. Sakit dan tidak tega rasanya melihat ayah dari anak-anakku dihinakan seperti itu. Kang Darman dan Teh Uni, juga kedua anaknya, yang juga cucu Bapak terlihat bingung, mendengar ucapan kakeknya yang begitu tajam terhadap Bang Riswan. "Biar sajalah, Pak, makanan yang tersedia banyak ini," jelas Kang Darman. "Iya silahkan saja makan, jika tidak punya malu," ketus Bapak lagi, suamiku hanya menunduk saja, lalu berbelok arah dan duduk disebelahku. Kang Darman yang sepertinya tidak enak hati karena sudah menawari Bang Riswan makan, lantas menyendoki nasi beserta lauk-pauknya buat suamiku. Bang Riswan mencoba menolak, mungkin karena malu mendengar ucapan Bapak, tetapi kakak tertuaku itu tetap memaksa. Bang Riswan akhirnya mengambil nasi yang sudah disodorkan Kang Darman. "Sudah, makan saja Riswan, lauk pauk yang sudah dibungkus, 'kan bisa buat makan malam nanti, sindir Kang Amran. "Iya, lagi pula jarang-jarang, 'kan, makan enak," celetuk Ela, mereka lalu menertawakan Bang Riswan. Air mataku mengembang. Perih rasanya suamiku direndahkan seperti itu. Bang Riswan menoleh ke arahku, memandangku dengan tatapan sedih, berbisik pelan di telingaku." Percayalah dengan suamimu ini, Neng, suatu saat mereka akan menerima balasannya, karena sudah melukai hatimu. Persiapkan dirimu untuk bersikap tega nanti." Aku pun menatap wajahnya, ada gurat kegeraman pada tatapan matanya. Aku sendiri pun tidak paham dan mengerti apa maksud perkataannya yang seperti bernada ancaman. Ucapannya sama seperti saat aku baru mengenalnya, terkesan kaku dan tegas, sudah sangat lama aku tidak mendengar Bang Riswan berbicara semeyakinkan itu. "Jika mereka tega, aku akan lebih tega, Bang. Bukankah orang sombong harus dibalas juga dengan kesombongan," bisikku juga pelan ke dekat Bang Riswan. "Andai roda kehidupan kita berputar ya, Bang," ucapku lagi, pelan, sembari menghapus bulir bening yang sudah terlanjur terjatuh. "Maafkan abang, Neng. Ternyata perubahan hidup yang abang jalani, malah membuat Eneng menderita," bisiknya lagi. "Perubahan hidup apa, Bang, memangnya apa yang berubah pada hidup Abang?" tanyaku, saling bicara berbisik dengan suamiku. "Kalau tidak suka, bicara saja langsung, tidak usah bisik-bisik di belakang," sindir Samsiah pada aku dan Bang Riswan. Bapak, Kang Amran, dan Ela melihat ke arahku dengan penuh kecurigaan. "Jangan dibiasakan Suudzon, Siah, biarkan saja mereka saling berbisik, mereka, 'kan suami istri," tegur Kang Darman. Samsiah terlihat melengos, mendapat teguran dari Kang Darman, sepertinya dia tidak suka jika Kakak pertama kami itu membelaku terus. "Tapi tidak pantas, Man, orang segini banyak malah bicara sembunyi-sembunyi, tidak ada tata kramanya," sindir Bapak, sekarang si Samsiah yang tersenyum, karena selalu dibela Bapak. Bang Riswan menggenggam jemariku erat, seperti ingin menguatkan. Aku pun membalas genggamannya, sebagai pengganti kata jika aku tidak akan meninggalkannya. Bang Riswan, sesuap pun tidak memakan makanan yang diberikan Kang Darman, nasi beserta lauknya itu disuapkan ke anak-anak kami, Yuli dan Neti. Suamiku itu sepertinya mulai berpikir ulang tentang sikap sabar dan mengalahnya pada keluargaku. Apalagi sekarang suamiku tahu, bahwa ada upaya keras dari keluargaku untuk memisahkan dia dengan aku dan anak-anaknya. Acara makan bersama sudah selesai dilakukan, lagi-lagi aku dan emak yang sibuk merapihkan bekas makan mereka. Terkadang suka tidak habis pikir tentang sikap Bapak. Matanya jelas masih bisa melihat, masih bisa menyaksikan siapa yang paling sibuk jika sedang ada acara di rumah ini. Tetapi selalu hanya Ela dan Samsiah yang dia bela. Sedangkan dengan aku dan keluarga, Bapak terlihat benci sekali. Dan hanya satu alasannya, dia benci dengan kemiskinan kami. Seperti suatu rutinitas pasti, jika kami sekeluarga besar sedang berkumpul, maka masing-masing dari kami selalu bercerita tentang segala kesibukan pekerjaan. Diselipi tentang kesuksesan, dan apa saja yang mereka miliki. Tohir dan Gufron, suami dari Ela dan Samsiah bercerita tentang kesibukan mereka sebagai mandor perkebunan di pabrik pengolahan teh modern di desa kami, juga ambisi mereka untuk mendapatkan jabatan yang lebih tinggi di pabrik pengolahan teh tempat mereka bekerja. Kang Amran pun bercerita, tentang keuntungan besarnya sebagai penampung limbah pabrik teh tersebut, juga ambisinya untuk menjadi supplier/ pemasok kertas karton ke PT Teh terbesar di provinsi ini. Dia juga bercerita jika sudah menyogok orang-orang dalam untuk lebih memuluskan rencananya. Bapak terlihat senang saat mendengarkan cerita mereka semua. Kang Darman, dan putri-putri juga menantu-menantunya pun bercerita tentang kesibukan mereka masing-masing. Semuanya berbicara tentang kesuksesan yang sudah mereka peroleh. "Kesibukan kamu apa wan sekarang?" tanya Kang Darman pada suamiku. "Saya, Ka--" "Pengangguran macam dia, mana ada cerita yang bisa dibanggakan," sindir Bapak pada suamiku. "Tidak boleh begitu, Pak," tegur Kang Darman, mencoba mengingatkan Bapak. "Tidak boleh mengapa? Memang pada kenyataannya suami si Risma ini pengangguran, kok!" sentak Bapak, keras. "Walaupun kami miskin dan kekurangan, tapi aku dan Bang Riswan, tidak pernah Merepotkan saudara kok, Kang Darman, apa lagi sampai harus meminta-minta," ujarku, menjelaskan, tidak tahan juga untuk tidak ikut bicara. "Belum, lihat saja nanti jika anak-anak Teh Risma sakit, pasti juga nanti saudara-saudara juga yang diuber-uber buat cari pinjaman," sindir Ela kepadaku, bahkan terdengar seperti sedang menyumpahi anak-anakku. "Insya Allah, tidak akan," jawab cepat Bang Riswan. "Alahhh, sombong kau Riswan, aku sumpahin biar anakmu sakit, pengen tahu, benar tidak nanti ucapanmu!" "Bapakk ....!!'" Sakit hatiku mendengar ucapan Bapak, bahkan saking bencinya dia dengan Bang Riswan,sampai tega menyumpahi cucu-cucunya sendiri. "Tega sekali Bapak menyumpahi cucu-cucu Bapak sendiri, hanya karena benci dengan Bang Riswan." Emosiku mulai kembali memuncak. "Habisnya, suamimu itu mulutnya sombong, sampai bilang tidak akan." Bang Riswan sedikit menekan tanganku pelan, mengingatkan aku agar jangan meladeni Bapak. "Linda dan Yuni, dua orang anak Kang Darman asyik berbincang berdua tentang berita online yang mereka baca lewat kantor berita via handphone. "Hei, ini orang berdua malah sibuk sendiri saja," sindir Kang Darman kepada anak-anaknya. "Iniloh, Yah, ada berita menarik tentang konglomerat negri ini," jelas Linda, kami semua yang sudah berhenti sesaat dalam berbincang-bincang, jadi fokus mendengarkan ucapan Linda. "Konglomerat itu kenapa, Nda?" tanya kang Darman lagi." "Sakit yah, parah katanya, dan sekarang sedang dirawat di rumah sakit Omni di Jakarta. "Konglomerat yang mana?" tanya Kang Darman lagii. "Itu yah, Muchtar Kusumateja, pemilik group Niskala Corporation. Orang terkaya nomor lima di negri ini." Kang Darman, Bapak, Kang Amran yang memang terkadang berbisnis, pasti kenal dengan nama Muchtar Kusumateja. Pemilik banyak usaha besar. Bidang usahanya bergerak disegala sektor, dari hotel, ekspedisi, pabrik, sampai pencarian hasil bumi, semacam batu bara, minyak, dan masih banyak lagi bidang usaha miliknya. "Perusahaan pengolahan daun teh tempat kami bekerja juga masih milik Pak Muchtar Kusumateja," jelas Tohir, suami Ela. "Perumahan mewah Paradise Garden yang di kota kabupaten pun masih punya Pak Muchtar," sahut Gufron. "Bila orang terkaya nomor lima di negri ini, jika uang seratus ribuan miliknya dibarisin dari sini, mungkin bisa sampai Jakarta," canda Kang Darman, sembari tertawa terbahak. "Neng, abang pulang ke rumah dulu ya, nitip Yuli sama Neti," ucap Bang Riswan, agak berbisik, aku hanya mengangguk. "Mau bawa nasi yang sudah dibungkusin Emak tidak Bang? Abang, 'kan belum makan?" menawari suamiku makanan untuk dibawa pulang, berbisik juga di telinga lelakiku. "Tidak usahlah, Neng." "Emak, Kang Darman, Teh Uni, Yuli, Linda, saya permisi pulang dulu." Pamit Bang Riswan, tapi tidak pada Bapak, Kang Amran, Ela, Samsiah, dan suami-suami mereka, seolah-olah Bang Riswan menganggap mereka tidak pernah ada di depan matanya. Langsung saja suamiku itu berbalik pergi untuk pulang. "Dasar mantu tidak punya otak! Tidak punya adab! Kurang ajar!" maki Bapak, merasa tidak dianggap. Bapak benar-benar terlihat marah besar. "Miskin saja, belagu ....!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD