Kedatangan Pegawai Perkebunan

1335 Words
PART 4 Sudah menjadi kebiasaan, jika Kang Darman pulang kampung di luar waktu lebaran Idul Fitri, kakakku itu dan keluarganya akan menginap semalam di rumah keluarga besar ini, walaupun yang mengisi rumah ini hanya Bapak dan Emak sehari-harinya. Rumah bersama ini memang berukuran cukup luas, banyak ruang kosong, karena tidak terlalu banyak perabotan. Kursi ruang tamu pun tidak ada, semua hanya beralaskan karpet, jika ada tamu pun mereka semua duduk-duduk di bawah. Seharian tadi keluarga Kang Darman hanya menghabiskan waktu dengan kami semua keluarga adik-adiknya, memetik kelapa, atau mengambil buah-buahan langsung dari pohonnya, karena memang desa ini masih terlihat sangat alami dan segar udaranya. Semenjak ijin pulang ke rumah tadi, suamiku, Bang Riswan, tidak nampak lagi terlihat kembali ke rumah Bapak, mungkin Bang Riswan memutuskan untuk menunggu di rumah saja. Dua putriku baru saja tertidur, sehabis kukeloni tadi, sementara aku terduduk sendiri di depan teras rumah, ditemani suara jangkrik dan kelap-kelip cahaya kunang-kunang. Cuaca malam ini dingin menusuk, melebihi malam-malam biasanya. Suamiku sedang apa? Sudah makan atau belum? Sedangkan sedari subuh aku sudah sibuk di rumah Emak, tidak sempat masak di rumah. Saat siang tadi pun, Bang Riswan tidak mau makan di sini' hatiku gelisah. "Sedang apa, Ris, Kok belum tidur?" Sedikit terkejut, karena tiba-tiba Kang Darman sudah ada di sebelahku. "Belum ngantuk, Kang?" jawabku, kembali mengalihkan pandangan ke arah kegelapan pepohonan. "Perlakuan mereka terhadapmu ternyata belum juga berubah yah, Ris?" Aku tersenyum, menoleh ke arah kakak pertamaku yang duduk di sampingku. "Begitulah, Kang. Sepertinya, jika aku masih bersama Bang Riswan, perlakuan mereka tetap akan selalu begitu." "Kamu bahagia, Ris?" tanya Kang Darman. Aku terdiam sesaat, diiringi hening dan suara nyanyian jangkrik. "Ukuran kebahagiaan itu apa, Kang? Harta kah?" "Menurutmu?" "Entahlah, Kang, jika harta sebagai ukuran sebuah kebahagiaan, maka aku tidak bahagia, karena memang aku tidak punya." "Lalu apa ukurannya, Ris?" "Bang Riswan memang tidak kaya, Kang. Tetapi dia sayang dengan Risma dan anak-anak. Tidak pernah bersikap atau pun berkata kasar, pengertian, juga sabar. Walaupun kesabarannya terkadang membuatku kesal," jelasku pada Kang Darman. "Jika ukurannya bukan harta benda, maka aku bahagia Kang." "Kamu tidak ingin punya kehidupan yang lebih baik buat anak-anakmu, Ris?" "Kehidupan yang lebih baik, Kang?" tanyaku memperjelas. "Iya, kehidupan yang lebih baik, misalnya dalam hal kemapanan, pemenuhan kebutuhan, atau pun memilik banyak uang?" "Jika kehidupan yang lebih baik, tujuannya karena banyak harta, mungkin Qorun sudah diangkat menjadi nabi, Kang?" Kang Darman tertawa mendengar guyonanku. "Ris, yang kudengar, sekarang Bapak memaksamu untuk bercerai dengan Riswan, yah?" Aku tidak menjawab, hanya mengangguk pelan. "Terus, kamunya sendiri bagaimana?" "Aku harus meminta cerai, alasannya apa, Kang?" "Karena dipaksa Bapak, misalnya." "Yah tidak bisa, Kang. Seumpama orang tua memaksa, tetapi tidak ada unsur keburukan yang dilakukan suami, Risma tidak akan mau jika seperti itu. Selama suami Risma mampu memenuhi kebutuhan keluarga, sayang istri dan anak, walaupun tidak kaya, sepertinya tidak pantas Kang jika Risma meminta cerai hanya karena hidup susah." Mengembuskan nafas perlahan, mengurangi rasa sesak yang menggumpal. "Bang Riswan sudah memenuhi semua syarat kewajiban seorang suami, Kang. Walaupun kecil dan sederhana, kami punya rumah, untuk makan setiap hari walaupun seadanya kami mampu, dengan keluarga, Bang Riswan sayang, lalu aku harus menuntut apa lagi, Kang? Jika kebutuhan dasar sudah dia penuhi." "Kamu tidak ingin seperti orang-orang lain, Ris, punya perhiasan, perabotan mahal, rumah bagus?" Aku tersenyum, sembari menatap wajah abang kandungku yang nomor satu. "Mungkin setiap orang kepingin seperti itu Kang, tetapi jika seandainya suamiku hanya sanggup memenuhi kebutuhan utama sesuai standar tanggung jawab seorang suami, yah aku tidak bisa memaksa untuk meminta lebih." Kupegang tangan Kang Darman, saudara yang paling sayang kepadaku. "Aku percaya, suamiku pria yang bertanggung jawab, Kang, dia akan penuhi setiap kebutuhan dasar kami, termasuk jika nanti anak-anakku besar dan butuh biaya yang lebih tinggi. Sekarang ini dia hanya sanggup memenuhi kebutuhan sesuai standar hidup, dan itu sudah sesuai dengan tuntunan agama kita, Kang. Aku tidak mengeluh karena dianggap miskin, tetapi aku tidak terima jika orang miskin dianggap tidak punya harga diri." Tidak terasa air mataku mengembang dan luruh perlahan. Abangku merengkuh bahuku, mendekap erat ke dalam pelukannya, berucap pelan. "Adikku ini memang perempuan baik yang tidak terlalu banyak menuntut." Suara jangkrik masih terdengar ramai, dengan sesekali diiringi suara kodok mengiringi kunang-kunang menari, malam ini memang terasa hening dan cuaca dingin sekali. "Oh, iya, Ris, ini buat kamu," ucap Kang Darman, sembari meletakkan beberapa lembar uang ratusan ribu dipangkuanku. "I-ini buat apa, Kang, uang sebanyak ini?" tanyaku. "Buat kamu beli permen," bisiknya, lalu tertawa lepas, dan aku pun jadi ikut tertawa. Sedari aku kecil dulu, saat Kang Darman belum menikah dan masih tinggal di rumah ini, beliau memang selalu memberikan aku uang jajan. Kang Darman memang kakak terbaik buatku. Abangku ini adalah seorang pekerja keras, pergi ke kota besar hanya bermodalkan tekad kuat dan keinginan untuk merubah penghidupan, dan sekarang beliau sudah mampu menundukkan kerasnya persaingan hidup di kota besar Jakarta. "Kang?" "Kenapa, Ris." "Jika uang sebanyak ini kubelikan permen, gigiku bisa keropos semua Kang?" Kembali dia tertawa, bahkan jauh lebih keras, aku pun begitu, bahagia rasanya bisa sedekat ini dengan saudara seikatan darah. Seandainya saja saudara-saudaraku yang lainnya bisa bersikap seperti Kang Darman. ÷÷÷÷÷÷÷ Sudah empat hari, semenjak kepulangan Kang Darman. Suamiku, Bang Riswan belum pulang juga. Aku bingung, di mana suamiku sekarang. Aku harus mencarinya kemana? Bagaimana cara menghubunginya? Sedangkan handphone pun Bang Riswan tidak punya. Semua pakaiannya di lemari masih utuh, tidak ada satu pun yang Bang Riswan bawa. Anak-anakku, Yuli dan Neti, selalu menanyakan keberadaan ayahnya, aku hanya bisa memberikan pengertian jika ayah mereka sedang bekerja ke kota, dan beruntungnya di usia sekecil itu mereka bisa mengerti, walaupun aku tahu putri-putriku ini pasti rindu dengan ayahnya. "Assalamualaikum." Suara salam mengagetkan lamunanku, bergegas membuka pintu untuk mengetahui siapa yang datang. "Waalaikum salam," jawabku, sembari membuka pintu. Terlihat beberapa orang pegawai perkebunan berseragam berdiri di depan rumah, dengan banyak tumpukan barang-barang, berbagai macam. Sepertinya sembako lengkap, dengan beberapa dus s**u formula, juga beragam jajanan anak yang mahal, yang hanya ada di mini market." "Maaf Teteh, permisi ... benar di sini rumah Risma Wulandari?" tanya salah seorang pegawai perkebunan itu. "Benar Kang, saya sendiri," jawabku, sedikit heran. "Ada perlu apa yah, Kang?" "Oh, ini, Teh. Kami diperintahkan untuk mengantarkan barang-barang kebutuhan ini kerumah Teteh," jawabnya. Terlihat, masih ada tiga orang pegawai lagi yang sedang mengangkat barang yang serupa menuju rumahku. "I-ini semua buat saya?" tanyaku, sedikit gemetar, karena kaget melihat sembako sebanyak ini, cukup untuk membuka sebuah toko kelontong sederhana. "Iya, Teh," jawabnya, sembari meminta kawan-kawannya untuk memasukkan semua barang kebutuhan ini ke dalam rumah, setelah sebelumnya meminta ijin kepadaku. Terlihat beberapa tetangga berkumpul menyaksikan ini semua, karena memang jarang sekali karyawan-karyawan pabrik datang ke desa ini, paling-paling hanya buruh biasa yang tidak berseragam yang bekerja sebagai pemetik daun teh. Jika karyawan berseragam seperti ini di kampung kami disebutnya "orang kantor" dan ini sebuah peristiwa langka bagi mereka, melihat begitu banyak orang kantor datang ke rumah, bahkan mengangkut barang-barang. "I-ini tidak salah alamat, 'kan? tanyaku takut-takut. Sembari melihat karyawan kantor itu bolak-balik menaruh sembako ke dalam rumah. "Teteh benar, 'kan, Risma Wulandari, dengan dua anak Yuli dan Neti?" tanyanya untuk lebih meyakini. "Iya, benar," jawabku lagi. "Berarti kami tidak salah alamat," jawabnya, lantas mengambil photoku buat bukti katanya, juga memphoto semua barang-barang yang sudah dia antarkan. "Maaf, Kang. Ini semua disuruh siapa?" "Saya tidak tahu, Teh. Kami hanya mengikuti perintah saja," jawabnya, sembari pamit hendak balik ke tempat kerjanya. "Eh, maaf, Kang, mau tanya sekali lagi." "Tanya apa, Teh," jawabnya, sopan sekali sikap orang-orang kantor ini terhadapku. "Berita itu benar ya, kang. Jika Pak Muchtar Kusumateja, pemilik pabrik perkebunan sudah berpulang?" tanyaku, ingin memastikan desas-desus yang beredar di desa ini. "Ohh, Big Boss, benar Teh, baru tiga hari kemarin, meninggalnya. Pabrik dan perkebunan teh ini, mungkin cuma usaha iseng dia saja, Teh, karena usahanya yang lebih besar masih jauh lebih banyak," jawabnya, sembari pamit meninggalkan rumahku. Kembali menutup pintu, lalu memandangi bertumpuk-tumpuk barang di ruang tamu. Rasa heran dan bingung berkecamuk di dalam pikiranku. 'Siapa orang yang sudah memerintahkan, memindahkan isi satu toko sembako ke rumahku'
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD