Krisna melihat sorot mata Adiba yang tak fokus. Ia bahkan tidak menjawab pertanyaan Bu Mujibe.
"Diba, kamu mau nggak mesin jahit ini?"
Krisna ke sisi Adiba dan menyikutnya. "Diba, jawab itu pertanyaan Bu Mujibe. Kamu pengen nggak mesin jahit ini? Mau dikasihkan buat kamu."
Adiba tersadar dari lamunannya. "Iya, Bu, saya mau," katanya langsung menyambung.
"Wah, pas banget. Makasih loh, Diba. Akhirnya mesin ini ketemu jodohnya," kata Bu Mujibe. "Mau dibuang sayang, soalnya ini banyak kenangan dan kayaknya mesin ini bawa hoki. Semoga bermanfaat buat kamu, Diba."
Adiba menghadap mesinnya dan menyentuh benda itu seakan salam perkenalan mereka.
Fahmi datang berbarengan Sutiyeh membawa baju bekas. Mereka sigap memindahkan mesin itu ke bak mobil. Tidak lupa mengikatnya agar tidak goyang selama di perjalanan. Dua kantongan baju bekas juga dinaikkan ke mobil. Krisna pamit pulang. Fahmi mengiringi dengan sepeda motor. Adiba mengasuh kantongan besek dari Bu Mujibe selama di perjalanan. Krisna meliriknya dan tersenyum simpul melihat binar penuh semangat di wajah gadis itu.
Setibanya di rumah, Fahmi dan Krisna memindahkan mesin itu ke dalam. Mereka meletakkannya di ruang tengah. Adiba asyik memandangi mesin itu seperti anak kecil menunggu antrean odong-odong.
"Makasih, Fahmi!" ucap Krisna melepas kepergian Fahmi yang bergegas pulang karena hari sudah gelap.
"Sama-sama, Dok!" sahut pria itu.
Setelah Fahmi pergi, Krisna menutup pintu dan berbalik melihat Adiba masih dalam posisi yang sama. Krisna geleng-geleng kepala. Orang yang seharusnya berterima kasih atas semua bantuan ini malah tidak tahu menahu. Benar-benar kurang ajar.
"Bukankah seharusnya kau berterima kasih padaku?" sindir Krisna. Gadis itu menoleh dengan muka datarnya dan menyahut, "Aku mendapatkan mesin ini karena kemampuanku, bukan karena kamu."
"Tapi aku membantu membawanya," Krisna mengingatkan.
Muka Adiba keras dan sorot matanya menajam seakan menantang pria itu. Adiba melepas pasmina sehingga rambut kriwilnya mengembang. Ia masuk ke kamar dan menutup pintu dengan membantingnya.
Krisna terperangah. Sesaat mempertanyakan akal sehatnya kenapa ia masih mau membantu Adiba meskipun tidak pernah dianggap.
Karena berbuat kebaikan tidak perlu mengharapkan balasan.
Yeah, right!
Sekarang berhadapan dengan Adiba benar-benar menguji jiwa perikemanusiannya. Ayahnya akan menertawakannya jika menyaksikan hal ini. "Jadi, bagaimana, Krisna? Enak hidup di pinggiran? Kau pikir menolong orang-orang itu akan membuatmu kaya? Kamu tidak akan bisa hidup bersama mereka. Kau tidak akan bisa jauh dari kota ini."
Krisna cepat membuang muka mengenyahkan bayangan itu. Ia tidak akan membiarkan ayahnya menang. Ia akan tetap berusaha membuktikan idealismenya selama ini benar.
Krisna ingin mengajak bicara Adiba untuk mengorek lebih dalam apa masalah dan latar belakang gadis itu. Ia mengetuk pintu kamar Adiba dan memanggilnya, "Diba. Adiba!"
Akan tetapi tidak ada sahutan sehingga ia membuka pintu itu yang ternyata tidak dikunci. Krisna terdiam melihat gadis itu meringkuk di lantai tanpa alas, menghadap dinding, dan tidak bergerak sedikit pun. Ia yakin Adiba belum tidur, tetapi memaksanya bicara juga tidak akan ada gunanya.
Hidup sangat keras bagi gadis muda seperti Adiba. Pengalaman buruknya pada laki-laki membuat Adiba bersikap sinis padaku, pikir Krisna mengingatkan diri untuk pelan-pelan saja mengenal gadis itu lebih jauh. Krisna ke kamarnya sendiri dan menghanyutkan diri sepanjang malam yang sunyi senyap.
Setiap malam, Adiba tidak pernah benar-benar tidur. Meskipun ia diam dan memejamkan mata. Pikirannya masih jalan meratapi banyak hal, hingga kadang air matanya menetes dan mengering dengan sendirinya.
Sangat berat, Tuhan .... Bernapas pun rasanya susah. Kenapa Kau terus memaksaku menerima deraan ini? Aku tidak tahu bagaimana caraku bertahan. Aku lelah. Aku hanya ingin dicintai, cinta yang seutuhnya.
Ia pernah bahagia dan dicintai. Sesaat.
"Mulai sekarang namamu adalah Adiba. Adiba Farhana," kata pria yang mendekapnya dalam kelembutan dan memacu gerakan alamiah tubuhnya saat mereka bercinta. Jemari pria itu mengusap untaian rambutnya yang keriting melilit lalu memberikan kecupan lembut di bibirnya sembari mendesah, "Kau aman bersamaku, Diba. Tidak ada seorang pun bisa menyentuhmu, karena aku akan melindungimu dengan segenap jiwa ragaku."
Jika saja semua itu benar. Itu semua bohong! Bohong! Bohong!
Pagi tiba. Mata bernetra tembaga itu terbuka. Adiba siaga dengan sekelilingnya. Ia bergegas bangun dari lantai sedingin es. Pagi hari, suhunya nyaris membekukan embun. Adiba memulai harinya dengan merebus air, menyapu lantai, mengepel, mencuci pakaian atau cucian lainnya. Ia tidak akan memasak, karena itu bukan tugasnya.
Adiba menuang air panas campuran air mandi lalu mandi sekadarnya. Ketika hendak berpakaian, ia terdiam menatap sem.pak milik Krisna yang didonasikan padanya. Ia akan mengenakan celana dalam itu lagi karena itu serep satu-satunya. Bertahun-tahun dalam penjara membuatnya bisa mengenakan apa pun yang bisa dipakai. Rasanya nyaman memakai celana itu. Lega dan ada rasa embusan udara.
Ia tahu itu sem.pak baru dan belum pernah dipakai empunya, tetapi, tetap saja rasanya agak gimana gitu karena ia jadi tahu ukuran Krisna. Ia tidak akan meminta Krisna membelikan pakaian apa pun untuknya karena terlalu gengsi, tetapi pria itu seharusnya cukup sadar diri dia telah membuat seorang perempuan memakai sem.paknya. Apa itu hal biasa baginya? Atau lebih seperti 'aku tidak peduli'? Betapa tidak sensitifnya dia.
Tapi ... aku juga begitu.
Aku lebih baik memakai sem.pak ini seumur hidupku daripada aku harus meminta-minta padanya. Aku tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Jatuh hati pada penolongmu adalah kesalahan besar.
Adiba memasang sem.pak itu ke pinggulnya lalu berpakaian seperti biasa. Dia punya banyak pilihan baju gamis sekarang. Ia akan merombak baju lainnya hari ini. Ia melihat-lihat mesin jahit dengan perasaan gelisah. Tidak ada bangku untuk duduk menjahit. Benangnya juga sangat sedikit. Sepatunya hanya satu. Serep jarum tidak ada. Gunting juga tumpul.
Seperti kebiasaan, Krisna keluar kamar dan mendapati Adiba di ruang tengah rumah. "Pagi ...," sapanya mengantuk sambil berjalan menuju kamar mandi. Adiba tidak menyahut, yang mana itu tidak mengherankan lagi, jadi Krisna akan bicara semaunya saja mulai sekarang.
Selesai mandi dan berpakaian, Krisna memeriksa isi kulkas dan melihat besek masih di dalam sana, juga combro yang menjadi sekeras batu. "Kamu benar-benar nggak mau masak, bahkan memanaskan makanan sekali pun?"
"Itu bukan tugasku," jawab Adiba, yang Krisna pikir sudah lumayan bagus ia mau menyahut daripada diam seperti batu.
"Oke," desah Krisna. Ia menegakkan badan lalu menyingsing lengan baju, mulai memanaskan masakan dari Ibu Mujibe. Ia menggoreng ulang ayam goreng, tahu, tempe, dan sambal kacangnya. Pekerjaannya kikuk, tetapi masih lebih baik daripada seseorang yang maunya diberi makan saja. Krisna menabahkan diri. Ini cobaan jadi orang baik, kelak akan ada timbal baliknya, batinnya.
Letup, letup.
"Gyaaah! Sialan! Berengsek!" pekik serak Krisna ketika ia terkena percikan minyak. Buru-buru ia mematikan api kompor gas. Krisna memeriksa lepuhan kemerahan di lengan dan jarinya. Ia meringis keperihan.
"Hmm." Itu saja reaksi Adiba melihat seorang pria tampan cedera. Ia tidak melakukan apa pun.
Krisna yang sebal merengut seraya memindahkan isi penggorengan ke piring. "Sudah, kita makan seadanya saja!" ujarnya ketus. Ia meletakkan lauk pauk di tengah karpet, lalu mengambil nasi putih dua piring dan membawanya sambil duduk di karpet. "Ayo, Diba, kita makan," ujarnya. Adiba bergegas mendekat dan makan lebih dulu darinya serta lahap bak tidak makan berhari-hari.
Krisna menarik napas dalam seraya tersenyum tipis. Gadis itu seperti hewan yang lama terkurung lalu menemukan kebebasannya. Ia menasihati Adiba. "Pelan-pelan makannya, Diba, kita tidak berebut dengan siapa pun. Makanan ini milik kita, jadi nikmatilah dengan tenang."
Adiba termangap bertatapan dengan sorot lembut Krisna. Ia segera memalingkan muka lalu makan lahap lagi seperti kebiasaannya. Pria itu tidak mengerti dirinya dan tidak akan pernah. Ya, karena terlalu banyak hal disembunyikannya.
"Assalamu'alaikum ...," suara perempuan dari pintu depan. Krisna dan Adiba sama-sama menoleh. Krisna meringis sambil bangkit dari duduknya. "Siapa lagi, sih?"
Ia tidak ingin perhatian berlebihan dari warga setempat, apalagi perempuan karena sangat mudah menyulut kesalahpahaman.
"Eeeh, Mba Sandra Dewi," sapa Krisna ramah pada tamunya.
Perempuan berumur yang masih terlihat cantik jelita bak gadis itu, tersenyum tersipu-sipu sambil menyodorkan rantang. "Ini, saya bikin soto ayam buat Pak Dokter ...."
"Wuaaah, makasih banyak, Mba. Hmm, dari aromanya saja terasa sedap banget," celoteh Krisna.
Sandra Dewi itu menikah beberapa kali dengan suami yang lebih muda usianya. Kabarnya, ia punya suami lebih dari satu, yang diakuinya sebagai ponakannya jika datang berkunjung. Mata lentik wanita itu mengerling. "Ah, Pak Dokter bisa aja. Dicicipin dulu dong, Pak, biar jelas tau rasanya. Ehmm, kalau sedap 'kan bisa nambah lagii. Ehmmn."
"Dibaa. Adibaaa. Pindahkan isi rantang ini, Diba. Cuciin sekalian biar bisa dibawa pulang Mba Sandra Dewi," ucap Krisna sambil berbalik menghadap perempuan yang sedang menyuap sepotong ayam goreng.
Adiba tidak langsung menyambut karena membersihkan tangannya dulu dengan mengemut jari demi jari.
Sandra Dewi waswas ada perempuan tinggal bersama Dokter Krisna dari kabar yang beredar, membuktikan dengan mata kepalanya sendiri. Gadis yang beneran masih muda, juga tidak bisa dibilang jelek, membuatnya geram bukan main. Sandra Dewi segera tersenyum manis saat Krisna menatapnya lagi.
"Sebentar, ya, kami tadi lagi makan."
"Ehm ehe ehe, nggak apa-apa, Dok. Eh, Dokter sudah ada yang masakin ya? Waah, hmmph ....
"Iya, saya mempekerjakan asisten rumah tangga." Tapi gak bisa masak.
"ART? Masa sih?" Sandra Dewi mendelikkan matanya ke dalam rumah lagi.
"Err. Iyalah. Saya kan butuh bantuan buat cuci-cuci dan bersih-bersih rumah."
"Kenapa nggak saya saja, Dok? Dokter kan bisa bilang sama saya!"
"Eh ... Hmm. Janganlah, Mba, nggak tega saya nyuruh-nyuruh Mba Sandra. Ntar marah suaminya."
"Ah, Dokter alasan!" Sandra Dewi pergi dari situ sambil mencak-mencak.
"Eh, Mba, ini gimana rantangnya?" ucap Krisna tetapi tidak dipedulikan wanita itu lagi.
Adiba menghampirinya mengambil rantang itu dan mengintip isinya. "Waaah, soto ayam ...." Ia bergegas membawanya ke dalam rumah dan menaruhnya di sisi piring lauk pauk. Adiba melanjutkan makannya dengan tambahan kuah soto ayam. Mumpung masih panas, ia makan sangat lahap.
Krisna duduk untuk melanjutkan makannya, tetapi ia tidak menyentuh soto itu. Takut ada guna-guna. Biar saja Adiba yang memakannya.
Setelah hari itu, tidak ada lagi perempuan yang datang membawa makanan untuk Krisna. Kalau petani tua atau warga biasa masih ada kadang-kadang memberi makanan atau bahan mentah. Akibatnya, ia dan Adiba sering berdebat soal memasak dan cara memasak. Ujung-ujungnya mereka makan mie instan dan telor, campur nasi.
***
Hal yang piawai dilakukan Krisna adalah mengobati orang, sedangkan Adiba adalah menjahit. Kemampuannya menjahit tidak diragukan lagi. Adiba bertekad akan mengambil upah menjahit untuk membayar Krisna, meskipun tidak pernha diucapkannya.
"Waaah, bajunya kok jadi makin bagus? Nggak keliatan kalo ini baju bekas," gumam Sutiyeh setelah melihat kreasi Adiba pada baju pemberiannya. "Kamu beneran jago menjahit, Diba. Bukan cuma menjahit, tapi mendesainnya. Apa kamu bisa bikin baju full baru? Kalau bisa ntar aku minta jahitin baju buat ke kondangan ya?"
"Bisa, tapi alat-alatnya nggak lengkap. Mesti beli dulu," ujar Adiba.
"Oo mesti ke pasar di Madiun itu. Di sana ada toko yang khusus jual alat-alat jahit. Lengkap," ujar Bu Mujibe.
"Nah, iya, kapan ya kamu bisa ke kota? Apa mungkin nunggu kalau pas Dokter Krisna ke sana saja ya? Kapan ya?"
"Entahlah," jawab Adiba.
Krisna senyum-senyum sendiri memperhatikan percakapan mereka dari ruang sebelah. Adiba terlihat normal jika membahas soal jahit menjahit.
Beberapa hari kemudian hari Minggu. Krisna mengajak Adiba pergi ke Madiun. Ia mengajak serta Fahmi. Mereka berbelanja. Selain membeli keperluannya, ia juga membelikan keperluan Adiba seperti kasur, alat menjahit, mukena, dan pakaian dalam. Gadis itu sangat bersemangat dan tahu betul barang-barang yang diinginkannya saat di toko alat jahit.
Saat di toko pakaian dalam, Adiba terlihat pendiam dan kesulitan menjatuhkan pilihan. Krisna ikut melihat-lihat dalam toko itu karena ia yang tukang bayar. Ibu-ibu pelayan toko menghampiri mereka dan menyapa. "Mau cari lingerie buat istrinya ya, Mas?"
"Bukan. Buat pembantu saya," jawab Krisna tanpa mengalihkan pandangannya dari deretan patung pajangan berlingerie.
"Oh? Uh, kok buat pembantu, sih?" gumam pelayan toko tanpa sadar didengar Krisna.
"Iya. Ini orangnya," kata Krisna mengubit Adiba ke hadapan pelayan toko.
Wanita itu terperangah. Masa iya ada majikan membawa pembantunya belanja lingerie. Waduuh ada yang nggak beres ini.
"Ambilkan ukuran dia dan model yang mana saja yang dia sukai. Oke? Saya tunggu di kasir."
Adiba terlihat menggaruk-garuk leher tidak karuan. Krisna meninggalkannya sambil senyum-senyum.
Ada 7 stel yang dipilih Adiba untuk 7 hari. Entah apa yang dipikirkan gadis itu, dia memilih model yang brokat-brokat berkawat berpayet-payet. Sepertinya terpesona pada keindahannya, bukan pada fungsinya. Krisna lebih memikirkan kenyamanan dan kesehatan. Tanpa persetujuan Adiba, ia ambilkan setengah lusin bra dan celana dalam bahan katun, merek yang biasa dipakai Paula untuk sehari-hari saat masih sekolah.
Mereka kembali ke Desa Kare dan tiba di Kandangan saat hari sudah malam. Fahmi diturunkan di depan rumahnya saat perjalanan pulang, sehingga Krisna dan Adiba berduaan saja menurunkan barang belanjaan. Krisna mengangkat yang berat-berat, Adiba yang ringan-ringan saja.
"Haduuh ...," embus Krisna seraya berbaring di tengah rumahnya karena kelelahan. Adiba lewat saja di dekatnya. Krisna berseru seraya menunjuk kasur palembang yang bergulung di lantai. "Tuh, Diba, kasur kamu, kamu bawa sendiri ya ke kamar. Aku capek nih!"
Adiba tatap kasur tipis seukuran 100x160 itu. Bukan barang sangat berat pun. Ia bisa mengangkat beban yang jauh lebih berat dari itu. Mungkin ia terlihat sangat rapuh di mata Krisna. Atau memang iya. Tanpa pria ini, mungkin ia tidak akan bertahan sampai sekarang. Papan, sandang, pangannya terpenuhi. Menjahit pun terwujud. Apa lagi yang diperlukannya?
Adiba mengangkat kasurnya yang diikat tali rafia. Ia berjalan perlahan lalu berhenti di sisi Krisna, menunduk menatap pria itu, sementara Krisna menguap lalu tercenung balas menatapnya. "Ada apa?" tanyanya. "Mau makan? Ntar dululah, aku lagi capek. Mau rebahan bentar."
Adiba menggeleng. Krisna menatapnya lagi dengan lebih serius. "Lalu apa?"
"Terima kasih," ucap Adiba lalu masuk ke kamar sebelum Krisna sempat merespons.
Krisna mengerjap-ngerjap, kemudian bergumam, "Dia kenapa sih? Kok tumben?" Krisna memiringkan tubuhnya lalu tersenyum-senyum sendiri. Diba O Adiba, mulai luluh sepertinya.
***
Hari-hari mereka lalui dengan lebih bersahaja. Adiba mulai banyak bicara padanya meskipun berupa kalimat langsung seperti aku lapar, aku mau mie. Sudah, katanya kalau pekerjaan rumahnya selesai seperti setrikaan, atau membersihkan kamar.
Seperti Adiba membuka hatinya, seperti itu juga Krisna membuka kamarnya. Adiba sudah seperti sanak famili baginya, sehingga ia tidak waswas Adiba membersihkan kamarnya. Ia mulai nyaman, begitu juga Adiba.
Sampai suatu hari, hari itu tiba.
Bu RT dan Pak RT Kandangan datang ke klinik. Mereka ingin melihat perempuan yang dibawa Dokter Krisna dari kota. Untuk meredam keresahan warga. Krisna bersyukur ada Ibu Mujibe dan Sutiyeh mendampingi Adiba sehingga ia tidak perlu unjuk muka memperkenalkan gadis itu.
"Iya, ini dia orangnya, Bu. Dia sedikit ada kelainan, makanya Dokter Krisna mengawasinya," ungkap Bu Mujibe berbisik-bisik.
"Ooo."
"Tapi dia hebat menjahit, Bu. Coba liat ini, barusan dibikin sama Adiba."
"Cu-cuma dikecilin ... Bu," perjelas Adiba. Karena merasa tidak nyaman dengan orang baru. Dia bergegas ke belakang rumah dan duduk di bangku kecil sambil gigit jari.
"Loh, kok dia pergi to? Gak sopan sama sekali," gerutu Bu RT.
"Ya itu dia kelainan dia, Bu. Dia agak takut sama orang baru."
"Ooo."
Bu RT orangnya sewot. Ngomongnya juga ceplas-ceplos. Ia melirik Dokter Krisna dan mengujari pemuda rupawan itu. "Ta kirain istrinya loh. Orangnya cantik, masih muda juga, masih gadis juga to? Jadiin istri aja kenapa sih? Dokter ini bikin rusuh para jomlowati di desa ini. Biasa di Jakarta begitu ya? Mau serumah sama perempuan bukan muhrim itu gak apa-apa ya?"
Krisna memaksakan senyumnya. Ingin menyahut iya, emang kenapa? Masalah buat lo? Namun, ia harus bersabar. Krisna mendesah, "Yah, mau bagaimana ya, Bu. Semua serba spontan sih. Saya melakukan yang saya bisa untuk menyelamatkan dia dari jalanan."
Ibu RT berpikir keras. "Hmmm, begini saja. Perempuan itu sementara tinggal di rumahmu aja, Yu Mujibe."
"Hah?" Bu Mujibe dan Krisna terperangah.
"Ntar pagi-pagi bareng kamu aja dia kerja di sini. Toh kerjaannya bisa beres 'kan pas habis Zuhur. Daripada bermalam di sini, dua-duaan. Kalau khilaf bagaimana? Setan itu selalu mengintai kita, menunggu kesempatan kita berbuat salah."
"Loh, la-la-lalu ... Mau sampai kapan dia tinggal sama saya, Bu?" tanya Bu Mujibe.
"Ya sampai ada yang nikahin dia. Kalau Dokter Krisna nggak mau, bakalan ada laki-laki lain yang mau. Yu Mujibe 'kan ahli tooo nyariiin calon buat anak muda."
Bu RT lalu jalan-jalan keliling ruangan sambil kipas-kipas.
Bu Mujibe melirik panik pada Krisna. Krisna tahu arti tatapan itu. Sementara Adiba yang mendengarnya menggigit jari semakin keras karena semakin gelisah. Kenapa di saat hidupnya mulai tenang, selalu muncul aral?
***
Kala ia berusia 16 tahun, ia gadis berambut ikal yang ceria dan bahagia. Hari itu pengumuman kelulusan. Ia pulang membawa piala serta piagam sebagai siswa berprestasi di SMP-nya dalam keranjang sepeda mini yang dituntunnya di sepanjang jalan sempit gang pemukiman.
Septiana Maharani, Lulusan Terbaik I SMP A Jakarta Timur. Tulisan di piala dan piagamnya.
Ia bisa mendaftar ke SMA unggulan, akan tetapi ia ingin menjadi penjahit seperti ibunya sehingga ia ingin mendaftar di SMK jurusan Tata Busana. Ibunya akan senang sekali menyambut kepulangannya kali ini.
Namun, yang terjadi di depan rumahnya malah tragedi.
"Lari, Rani! Cepat pergi dari sini!" Seorang wanita berteriak sambil terjerembap menahan kaki seorang pria tampan keturunan Turki yang merupakan ayah kandung gadis itu.
Gadis berseragam putih biru itu terhenyak. Sepedanya terlepas sehingga roboh ke tanah. Pialanya patah dan piagamnya lecek. Banyak orang di gang itu, akan tetapi mereka semua diam saja memandanginya dan keluarganya.
Ibunya, Sarah, seorang wanita pribumi, tidak pernah jadi TKW. Pekerjaannya menjahit di rumah. Ia menarik kaki Hasan, suaminya, meskipun ia terpeper di lantai demi mencegah pria itu mendekati putri remaja mereka.
"Lepaskan!" bentak Hasan sambil menyentak kakinya, akan tetapi tidak dilepaskan juga.
"Tidak! Aku tidak akan membiarkan Abang membawa Rani pada Tuan Erkan. Rani masih kecil, Bang. Jangan rusak masa depan anak kita," tangis Sarah.
"Aaah! Aku tidak peduli! Aku sudah menjual Rani pada Tuan Erkan dan uangnya sudah kuambil. Dia milik Tuan Erkan sekarang."
Hasan mengangkat kaki hendak melangkah, dipeloroti Sarah yang menangis menjadi-jadi. "Tidak, Bang! Jangan!"
"Perempuan berengsek!" Hasan berteriak sambil menginjak-injak kepala Sarah agar melepaskan kakinya.
Septiana Maharani sangat ketakutan. Sekujur tubuhnya pucat pasi mematung.
"Lari, Rani! Cepat!" teriak Sarah meski kening bersimbah darah. Hasan tidak iba akan hal itu, malah menghardik menendang kepala wanita itu.
Terakhir dilihatnya, ibunya terkulai lemas. Septiana berbalik hendak berlari, akan tetapi seorang pemuda sudah menghadangnya. Pemuda itu bukan orang lain, melainkan kakak kandungnya, Fadil. Namun, bukannya menolong, Fadil malah merungkup kepala adiknya sendiri dengan karung goni.
"Kyaaaaah!" Gadis itu berteriak dan memberontak, akan tetapi tidak ada satu orang pun menolongnya.
Tubuhnya diikat bersama karung itu. "Huahahaha...," tawa Fadil yang disusul ayahnya. "Ayo cepat kita bawa dia!" ujar Hasan. Mereka bopong Septiana yang berkial-kial dan menangis. Mereka membawanya ke gang sebelah. Gadis itu mereka jatuhkan dalam kabin sebuah mobil yang membawa mereka ke rumah Tuan Erkan
Erkan adalah pria Turki yang masih ada hubungan kerabat dengan Hasan. Erkan sangat tampan, tetapi nafsuan dan suka main perempuan. Ia menaksir putri Hasan sehingga tak segan membayar untuk itu. Tiba di rumahnya, gadis itu disekap dalam sebuah kamar dan membiarkannya terikat dalam karung hingga malam hari. Erkan, Hasan, Fadil, dan beberapa tukang pukul Erkan berpesta miras merayakan malam pertama gadis itu kelak dihabiskan bersama Erkan.
Dalam keadaan mabuk berat, Erkan datang ke kamar gadisnya berada. Ia berjalan sambil menenggak minuman langsung dari botolnya. "Rani sayang, Om Erkan datang ...."
Ia taruh botol di nakas, lalu mendekati tubuh mungil yang terikat bersama karung menutupi bagian kepalanya. Gadis itu masih bergerak-gerak berusaha melepaskan diri sehingga Erkan membantu melepaskan tali temali yang melilitnya. Gadis itu beringsut ketakutan ketika melihatnya seraya menangis sesenggukan.
Erkan usap air matanya lalu menggerayangi tubuh mungil yang masih berseragam putih biru itu. "O o oo, jangan menangis, sayang ... Sini, Om kelonin ...." Erkan lempar gadis itu ke atas ranjang dan menindihnya lalu menciuminya.
"Tidaaak! Lepaskan aku ...." Gadis itu berteriak, akan tetapi orang yang mendengarnya di luar sana asyik tertawa-tawa minum bersama.
"Enggak! Kamu milik Oooom!" Erkan balas berteriak serta merta menggagahi gadis itu.
Tubuh mungil itu mengerahkan seluruh tenaganya yang ada. Seluruh rasa takut, putus asa, sakit hati akibat pengkhianatan orang terdekatnya memutuskan harapannya. Teringat ibunya yang mungkin sedang sendirian terluka, memberi gadis itu kekuatan. Ia berhasil lepas dari tindihan Erkan dan berlari menuju pintu.
Namun, Erkan tidak membiarkannya lari begitu saja. Ia terkam gadis itu sehingga menubruk nakas.
"Tidaaak ...," teriak gadis itu, mendorong-dorong meskipun tubuhnya dihunjam hingga terbaring di lantai.
Nakas bergoyang. Benda-benda di atasnya berjatuhan, termasuk botol miras Erkan. Botol kaca itu pecah dan sebelum Erkan sempat mewaspadai, beling runcing leher botol menancap dalam di perutnya.
Erkan terdiam. Ia memelototi gadis di bawahnya yang balas menatapnya dengan netra warna tembaga membulat tak percaya. Erkan menunduk ke arah perutnya dan melihat kepala botol menancap di sana. Ia cabut botol itu dan seketika darah mengucur deras.
Cairan merah hangat itu mengguyur tubuh mungil Septiana. Gadis itu berteriak sekeras mungkin. "Kyaaaaaaaah." Tubuh Erkan tumbang menindihnya, membuat teriakannya terbekap.
Malam menjadi malam tanpa tidur bagi gadis belia itu. Siang menjadi hari terang tanpa hawa kehidupan. Ia dikurung dalam tahanan entah berapa lama. Gadis itu tidak tahu apa-apa. Ia tidak mengerti apa pun. Setelah malam yang mengubah hidupnya, tiba-tiba saja ia tidak pernah melihat dunia luar lagi. Ia berada di balik jeruji, terdiam merenung seperti rohnya telah meninggalkan tubuhnya.
Sekitar 2 tahun setelah itu, di mana usianya menginjak 18 tahun dan ia dipindahkan ke Lapas wanita dewasa, barulah ia mulai mengerti apa yang terjadi. Ayahnya menyalahkannya atas kematian Erkan yang merupakan seorang tuan muda, putra kesayangan Tuan Mahmud, ketua mafia Turki di kawasan Jakarta. Ayahnya juga menyalahkannya sebagai penyebab kematian ibunya, karena ia dianggap membangkang tradisi keluarga sehingga ibunya tertekan lalu jatuh pingsan dan kepala membentur kusen pintu.
Padahal tidak begitu kejadiannya. Padahal banyak warga yang menyaksikan, akan tetapi mereka memberikan kesaksian palsu dan menyalahkannya karena mengakibatkan kematian Erkan. Bisnis keluarga Turki di kampung itu ditutup sehingga warga sekitar tidak punya penghasilan lagi. Pengadilan memvonis Septiana Maharani 15 tahun penjara.
***
Bersambung....