Janna terbangun dari tidur dan mencium aroma makanan dari luar kamar. Kepalanya terasa sangat sakit efek dari mabuknya semalam. Untung saja hari ini hari sabtu jadi ia bisa menenangkan dirinya. Matahari sudah tinggi sehingga sinarnya seolah memaksa menerobos masuk dan membuat Janna semakin pusing karena harus memicingkan mata.
Setelah membersihkan diri, Janna keluar dari kamar dan melihat Jeffry tengah menonton berita sambil duduk dimeja makan seolah menunggunya karena masih ada 2 piring makanan tersaji utuh diatasnya.
“Selamat pagi,” sapa Jeffry saat melihat Janna berjalan ragu kearahnya. Janna hanya diam dan duduk berhadapan dengan Jeffry menatap sarapan paginya yang lezat.
“Ayo, dimakan … sudah hampir dingin karena menunggumu keluar dari kamar. Apa mau kuhangatkan lagi?”
Jeffry menawarkan bantuan untuk menghangatkan makanan Janna tapi mendapatkan gelengan kepala perlahan dari Janna.
“Kenapa gak makan duluan mas? Makanan kamu juga hampir dingin jadinya,” tanya Janna sambil meneguk air putihnya perlahan.
“Aku lebih senang makan bersama, aku tak suka makan sendirian … rasanya sepi,” jawab Jeffry sambil memotong kecil-kecil sosisnya.
Janna terdiam dan mengaduk-aduk massed potatonya perlahan.
“Kamu pasti sudah merindukan Sarita untuk sarapan dan makan bersama,” sindir Janna pelan.
“Tidak, aku jarang sekali sarapan bersama dengan Sarita. Karena ia harus sekolah dan mengajar pagi sekali. Biasanya aku mengantarkan makan siang ke Universitas dimana ia belajar sekaligus mengajar dan kami makan siang bersama di taman atau foodcourt kampus.”
Ada rasa sakit di hati Janna mendengar cerita Jeffry yang begitu santai dan tenang seolah tak merasa bersalah dengan apa yang mereka lakukan diluar sana. Tapi Janna tak ingin menunjukan kelemahannya dengan merasa sedih, ia berusaha sekuat tenaga untuk tenang dan seolah tak ada apa-apa.
“Sarita pasti sedih karena setiap malam tak ada suaminya yang menemani karena harus kembali ke Indonesia.”
“Aku belum menikahi Sarita, Janna. Dan kami pun masih tinggal berpisah. Walau kami tinggal dikota yang sama, tapi hubungan kami tetap sopan dan sehat. Cinta kami bukan karena nafsu.”
“Ohya? Hebat sekali! Trus bagaimana dengan kita? Bisa saja kan ada disuatu hari atau malam kamu mengucapkan talak terhadapku di dalam hati? Mungkin sebenarnya saat ini kita sudah bukan muhrim lagi?” tanya Janna santai sambil menikmati makanan buatan Jeffry yang ternyata enak.
“Tidak, aku belum pernah mentalakmu! Kita masih sah sebagai suami istri,” jawab Jeffry datar dan menatap Janna penuh dengan tatapan yakin.
“Kenapa kamu tak melakukannya saja? Aku senang dengan pembicaraan kita pagi ini mas. Tak ada basa-basi dan terbuka bebas tanpa perlu tersinggung satu sama lain. Terus terang sebenarnya aku merasa kesal mendengarkan ocehanmu yang begitu santai bercerita tentang Sarita, membuatku merasa tak dihargai. Tapi kalau dipikir-pikir lebih baik begini, jujur satu sama lain. Toh, kenyataannya memang kamu tak ingin bersamaku, hatimu hanya untuk Sarita,” ucap Janna perlahan mencoba mengeluarkan isi hatinya tanpa membawa emosi.
Jeffry hanya diam dan menatap Janna dalam. Perempuan itu memang berkata dengan tenang tapi tak pernah membalas tatapan matanya. Ada rasa percaya dan tak percaya dihati Jeffry dengan sikap Janna. Mengingat kemarahannya di malam pertama mereka menjadi suami istri.
“Apa kamu menginginkan itu?” ucap Jeffry balik bertanya.
“Menginginkan apa?”
“Talak.”
Janna mengangguk cepat.
“Untuk apa kita terus begini dan berlama-lama membohongi orang-orang disekitar kita. Aku masih menutupi hubungan kita dihadapan ibu. Ibu selalu bertanya jika aku datang ke Bandung tentang kabarmu dan aku selalu berbohong memberikan cerita indah tentang kita. Tak hanya pada ibu, di hadapan seluruh orang-orang kantor, setiap hari aku harus menunjukan bahwa aku menantu bahagia dari seorang bos dimana aku bekerja. Aku tak mungkin menunjukan kesedihanku sehingga orang-orang bisa bergosip dan menyerang papa. Aku lelah mas, tolong beri aku kebebasan!” pinta Janna lirih.
Hening. Tiba-tiba saja Jeffry tak tahu harus menjawab apa. Walau terdengar bicara seperti biasa, ia bisa merasakan kesedihan hati Janna.
“Aku belum bisa melakukannya …”
“Kenapa?”
“Karena penyakit papa …”
“Karena penyakit papa atau karena kamu takut kehilangan harta?”
“Aku pria mandiri, aku bisa mencari uangku sendiri, begitu juga Sarita. Kami tidak takut tak punya penghasilan…,”
“Kalau gitu ceraikan aku, Mas…,”
“Aku belum bisa! Papa sakit Janna! Ia sangat menyayangi kamu melebihi sayangnya padaku dan Sarita. Ia selalu membelamu! Aku tak bisa menambah rasa sakitnya saat ini, aku tahu hubunganku dengan Sarita sudah membuatnya sangat menderita!”
“Kalau begitu beri aku solusi! Aku juga ingin bebas dari hubungan ini! Kita bisa saja bercerai tanpa Papa tahu!”
“Tidak! Aku tak akan melakukannya! Jika Papa tahu hanya seolah mendorongnya mendekati kematian! Aku tak mungkin menyakiti papa lagi!”
“Ohya?! Aku tak yakin Sarita akan menunggumu begitu lama sampai bisa bercerai denganku agar bisa menjadi istrimu, Mas!”
“Ijinkan saja aku berpoligami! Aku akan berusaha adil padamu, Janna…,”
Ucapan Jeffry seolah petir yang menyambar di siang bolong yang terik. Janna terdiam dan menatap Jeffry tak berkedip sesaat. Dadanya terasa sakit sekali. Kali ini ia tak bisa menahan air matanya yang mengalir.
“Janna…,” panggil Jeffry dan segera berpindah duduk saat melihat Janna menangis. Raut wajah Janna terlihat begitu terluka membuat Jeffry menjadi salah tingkah. Janna hanya diam dan tak ingin disentuh dengan bergerak menjauhi Jeffry perlahan sambil menghapus air matanya.
“Maafkan ucapanku Janna, aku….,”
“Apa salahku padamu mas? Aku tahu saat ini kita tengah bicara dengan keterbukaan yang tanpa batas … tapi bisakah kamu menghargaiku sebagai istri? Aku sudah merasa malu dan terhina ditinggalkan begitu saja oleh suaminya untuk wanita lain. Dan kini dengan tenang kamu meminta ijin padaku untuk berpoligami. Aku tak ingin membebanimu dan menghalangi hubunganmu dengan Sarita sehingga aku meminta cerai! Tapi jangan lakukan ini padaku! Aku masih manusia yang punya perasaan! Setelah aku kamu tinggalkan, sekarang kamu ingin memberikan madu?! Kenapa kita tak bercerai saja? Lebih cepat lebih baik! Ucapanmu benar-benar menyakitiku,” isak Janna sambil menangis tetapi berbicara dengan sangat tenang dan lembut. Ia menatap Jeffry dengan pandangan sedih dan airmata yang bercucuran tiada henti.
Jeffry duduk mematung dihadapan Janna. Ia merasa menyesal karena menggunakan kesempatan bicara mereka yang baik untuk mengutarakan niatnya yang sebenarnya. Melihat Janna menangis sedih membuatnya merasa sangat bersalah.
“Maafkan aku, Janna … aku …,” Jeffry tak menyelesaikan ucapannya karena ia tak tahu harus berkata apa. Spontan ia segera menarik Janna kedalam pelukannya. Janna meronta sesaat seraya berkata,
“Tak perlu memelukku, Mas! Aku bisa menanggung perasaanku sendiri … tapi tolong jangan sakiti hatiku lagi… lepaskan aku! Aku juga ingin bahagia.”
Mendengar ucapan Janna, Jeffry segera memeluk Janna lebih erat. Janna membiarkan Jeffry memeluknya tanpa membalas. Ia hanya bisa menangis tertahan mengeluarkan isi hatinya yang sedih. Ini adalah sentuhan pertama Jeffry dan Janna setelah mereka menjadi suami istri.
Bersambung.