Makan Malam Keluarga

1477 Words
Sudah dua hari ini Janna mengurung dirinya di dalam kamar sejak pembicaraannya dengan Jeffry berakhir dengan permintaan poligami. Ia sudah tak sanggup menghadapi suaminya yang benar-benar tak memiliki perasaan dan rasa kasihan padanya. Walau dua hari ini Jeffry mencoba membujuk Janna untuk keluar kamar dan bersikap baik tapi Janna tak menggubris ajakannya. Hanya saja malam ini berbeda. Tiba-tiba saja Naresh mengundang dirinya dan Jeffry untuk makan malam bersama dirumah. Tak hanya mereka berdua tapi juga akan ada Badra sepupu Jeffry yang akan datang dan bergabung. Janna tak bisa menolak, karena Naresh tengah merasa senang bisa keluar dari rumah sakit setelah menyelesaikan kemo. Walau hatinya merasa tak nyaman, tapi ia akan tetap datang demi menyenangkan hati Naresh. Jeffry tersenyum saat melihat Janna keluar dari kamar dan tampak cantik mengenakan dress classic dengan flat shoes dan mengikat rambutnya ekor kuda. Tak dapat dipungkiri bahwa istrinya ini memang cantik dan menarik. Ia merasa lega karena akhirnya Janna mau melunakan hati untuk ikut makan malam bersama. “Kamu sudah siap?” tanya Jeffry dan mendapat anggukan dari Janna. Ia segera membukakan pintu untuk istrinya dan segera mengunci pintu rumah. Sedangkan Janna sempat termenung sesaat ketika masuk ke dalam mobil. Ini pertama kalinya ia dan Jeffry pergi bersama setelah menjadi suami istri. Ada senyum satire yang tersunging dibibir Janna. Suasana rumah Naresh terasa hangat dan nyaman ketika sepasang anak dan menantu itu memasuki rumah. Sudah ada Badra didalam rumah tengah memainkan piano untuk sang paman yang duduk disofa. “Assalamualaikum,” sapa Jeffry saat melihat sang ayah dan segera mencium tangannya diikuti oleh Janna yang berada dibelakangnya. Melihat anak dan menantunya datang dengan akur membuat senyuman mengembang dibibir Naresh. Ia merasa tak salah menjodohkan Janna dengan Jeffry karena mereka tampak serasi. Tentu saja yang tampak tak begitu suka adalah Nani karena ia tak suka melihat Janna berdampingan dengan Jeffry. Ia lebih memilih Sarita yang menurutnya lebih baik dan lebih sholeh dari pada Janna. Badra yang baru hari ini bertemu kembali dengan Jeffry hanya menyapa sepupunya dengan dingin. Sedangkan pada Janna Badra segera memeluknya penuh rasa sayang dan bertanya kabarnya hari ini, padahal mereka setiap hari bertemu di kantor. “Are you okay?” tanya Badra khawatir mengingat Janna harus kembali bertemu dengan Jeffry pasti perempuan itu merasa canggung sekali. Melihat sang sepupu menyapa istrinya mesra, membuat Jeffry merasa kikuk, tapi ia berusaha bersikap biasa. Ia sudah sangat hafal sifat Badra yang keras. Ia sadar, Badra tak pernah setuju hubungannya dengan Sarita tapi melihat sikapnya pada Janna, Jeffry merasa itu adalah hal yang lain. Sebenarnya Badra merasa kehilangan respek pada Jeffry sejak ia mengetahui bahwa Jeffry memilih pergi menyusul Sarita daripada bersama Janna istrinya. Sejak dulu, ia merasa Jeffry terlalu lemah untuk urusan perasaan. Apalagi sikap Nani sang ibu sambung yang begitu dominan terhadap Jeffry dan Sarita, membuat Badra merasa Jeffry hanya tergiring suasana dan tak memiliki pendirian. Badra merasa sangat kasihan pada Janna. Setiap hari ia selalu bersikap riang seharian dikantor dan menjawab semua pertanyaan dan menutup cerita tentang suaminya dengan baik. Banyak hari dimana Badra sering memergoki Janna menangis sembunyi-sembunyi karena harus pura-pura bahagia. “Gimana kabarnya Gina?” tanya Jeffry menanyakan kekasih Badra saat mereka semua berjalan menuju ruang makan. “Kabarnya baik,” jawab Badra singkat lalu segera duduk disamping Janna yang seharusnya tempat itu untuk Jeffry. “Aku yang seharusnya duduk disitu,” tegur Jeffry saat Badra segera menyerobot kursinya. Tapi Badra tak bergeming. Ia tak ingin mengalah pada sepupunya walaupun itu di rumah sepupunya sendiri. Badra tak pernah ragu menunjukan rasa ketidaksukaannya pada apapun, termasuk pada Jeffry. “Janna … pindah kesini,” suruh Jeffry pada istrinya. Janna pun berdiri tapi tangannya ditahan oleh Badra. “Sudah kamu disini saja, tempat itu milik Sarita,” sindir Badra sambil tetap menahan tangan Janna. Mendengar sindiran Badra, Jeffry segera berdiri dan menarik Janna untuk duduk disampingnya. Kali ini Badra tak melawan, akhirnya ia melepaskan tangannya dari lengan Janna dan membiarkan Janna untuk duduk disamping suaminya. “Sudah … sudah… tolong hari ini papa hanya ingin berkumpul dengan seluruh anak-anak papa, lupakan dulu pertentangan kalian,” ucap Naresh yang membaca ketegangan yang terjadi sesaat. Acara makan malam pun penuh dengan perbincangan dari tiga orang saja, Naresh, Badra dan Jeffry. Sedangkan Janna hanya duduk tenang dan mencoba menghabiskan makanannya walaupun sebenarnya tak tertelan karena ia merasa tak nyaman dipandang tajam oleh Nani. “Mulai kapan kamu bisa bantu Papa bekerja?” tanya Naresh pada anak lelakinya Jeffry. “Mulai besok aku sudah bisa mulai kok, Pa,” jawab Jeffry cepat sambil menghabiskan makanannya. “Janna, besok tolong bantu jelaskan pada Jeffry beberapa berkas pekerjaan yang seharusnya Papa selesaikan. Mulai besok biarkan dia menggunakan ruangan Papa biar lebih mudah,” pinta Naresh pada Janna dan mendapat anggukan dari Janna. “Badra, tolong bantu Jeffry untuk urusan pekerjaan, sepertinya beberapa waktu ini Om masih belum bisa untuk kembali ke kantor, masih butuh waktu untuk istirahat. Jadwal kemo ini terlalu padat dan dekat,” pinta Naresh kali ini pada keponakannya dan mendapatkan anggukan dari Badra. “Kapan Sarita kembali, Jeff?” pertanyaan Nani pada Jeffry membuat suasana yang awalnya sudah cair kembali menjadi hening dan canggung. Naresh hanya bisa menghembuskan nafas sambil menggelengkan kepalanya perlahan. “Dia masih menyelesaikan Disertasinya, Ma … semoga beberapa bulan kedepan sudah selesai dan bisa segera kembali ke Jakarta.” Mendengar jawaban Jeffry, Nani tampak terlihat puas. “Nanti kalau Sarita lulus, kita bikin syukuran ya Pa…” pinta Nani manja pada suaminya dan mendapat anggukan dari Naresh. Tentu saja jika hanya syukuran kelulusan tak akan menjadi masalah bagi Naresh. Tapi pertanyaan dan permintaan Nani tentang Sarita berhasil membuat Janna merasa kikuk dan salah tingkah. “Setelah makan malam ini, kami pamit ya Pa … Janna kurang enak badan dua hari ini, lagi pula Papa juga harus istirahat,” ucap Jeffry tiba-tiba. “Sakit apa kamu Jan?” tanya Naresh khawatir. “Sakit pikiran Om, sudah pasti itu,” selak Badra dan mendapat delikan dari Janna. Tiba-tiba saja Janna takut Jeffry menceritakan ulahnya yang pulang dalam keadaan mabuk. “Mas,” bisik Janna seolah memberi kode pada Jeffry agar tak bicara apapun. “Janna kemarin masuk angin,” jawab Jeffry cepat dan membuat Janna terlihat lega. “Kamu tidur disini saja, Jeff…,” ucap Nani spontan saat melihat tangan Jeffry menepuk-nepuk punggung tangan Janna. “Memangnya kamar tamu sudah dibersihkan untuk mereka berdua tidur bersama?” Mendengar pertanyaan Naresh, Nani segera sadar dan meralat ucapannya. “Ohiya, kamarnya belum dibersihkan,” ucapnya cepat. Ia tak pernah bermaksud mengundang Janna untuk ikut menginap. Niatnya hanya untuk Jeffry tapi ia baru tersadar tak mungkin Janna ditinggal, apalagi membayangkan Jeffry dan Janna harus satu kamar membuat Nani mengurungkan niatnya. “Tak apa, kami lebih baik pulang saja,” ucap Jeffry cepat. Tak lama Jeffry dan Janna pun berpamitan. Sepanjang jalan tak ada pembicaraan dari keduanya, seolah sibuk dengan pikirannya masing-masing. Sesampainya dirumah Janna segera masuk ke dalam kamarnya dan tak lama pintu kamarnya diketuk. Janna membuka pintu kamarnya dan melihat Jeffry berdiri didepan pintu kamar sambil memberikan sekotak coklat. “Aku tak tahu apa yang kau sukai, jadi aku bawakan coklat sebagai oleh-oleh. Maafkan aku baru sempat memberikannya sekarang,” ucap Jeffry sambil menyodorkan kotak coklat itu pada Janna. Tanpa berekspresi Janna menerima kotak coklat itu dan mengucapkan terimakasih lalu hendak menutup pintu tapi Jeffry menahannya. “Janna, kita harus bicara … tolong beri aku waktu untuk menjelaskan,” ucap Jeffry tiba-tiba. “Bicara apa lagi mas? Tentang poligami? Lebih baik kamu ceraikan aku sekarang, sehingga kamu bisa bebas menikahi Sarita,” ucap Janna cepat sebelum Jeffry mengulang keinginannya yang begitu menyakiti hati. “Tidak! Bukan itu … aku hanya ingin mendiskusikan pernikahan kita saat ini, bagaimanapun kita akan tetap tinggal bersama sampai waktu yang tak ditentukan…” “Sudah tak ada yang ingin aku bahas, kita akan hidup masing-masing saja … anggap saja kita hanya roommate dan teman sekantor. Aku sudah tak bisa membahas apapun denganmu mas,” jawab Janna cepat memotong ucapan Jeffry. “Janna…” “Sudah ya mas, aku benar-benar lelah, kehadiran dirimu menguras perasaanku … tolong biarkan aku sendiri, aku butuh waktu,” jawab Janna pelan penuh mohon. Melihat Janna yang sudah tak ingin berbicara dengannya Jeffry pun mengalah. Ia tak bisa memaksakan keinginannya pada Janna. Ia tak ingin Janna semakin menjauhinya. “Baiklah, beristirahatlah, kita besok bertemu besok pagi karena kita akan berangkat bersama,” ucap Jeffry mengakhiri pembicaraan mereka dan ditutup dengan anggukan dari Janna sambil menutup pintu kamarnya. Janna tak menyadari bahwa Jeffry masih berdiri di depan kamarnya. Ada rasa kagum di hati Jeffry pada sikap Janna yang begitu tenang dan tetap membuka diri untuk berbicara padanya tanpa emosi. Awalnya Jeffry sedikit merasa sungkan jika bertemu dengan Janna, ia sudah membayangkan reaksi Janna dan emosinya yang meledak saat bertemu tapi ternyata kebalikannya. 3 hari ini Janna bersikap baik padanya, walau tak menunjukan rasa benci juga tak menunjukan sikap menerima. Buatnya itu sudah cukup. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD