“Dia namanya Syahila. Di jahilin sama temennya pas mau duduk. Awalnya dia masih sadar kok, yang lumpuh Cuma bagian bawahnya aja. Tapi naas nya orang tua aku, mama sama papa meninggal pas di perjalanan mau jenguk Syahila. Mereka kaget sampai ugal-ugalan di jalan, terus akhirnya meninggal karena rem mobil mereka blong. Pas Syahila tau, Syahila syok banget sampai komplikasi sama beberapa penyakit bawaannya juga terus… koma dan belum sadar sampai sekarang.” Mendengar cerita Alma, Bima seketika menjadi kasihan terhadap gadis di hadapannya saat ini. Ia pikir masalah Alma tidak seberat apa yang saat ini ia lihat, Alma selalu tersenyum, bahkan ketika gadis itu terbangun di kamar hotel bersamanya, Alma bisa nampak tenang, tanpa panik sedikitpun. Bima kira, masalah Alma tidak seberat itu, namun sepertinya apa yang Bima pikirkan ternyata salah sebenarnya beban Alma berat, hanya saja gadis itu yang mampu menutupinya.
“Alma.” Panggil Bima, seketika gadis itu menoleh, menatap pria yang tingginya lebih 10 cm di bandingkan dirinya.
“Kenapa mas?” Tanya Alma.
“Kamu, mau gak jadi pacar saya?”
Alma terdiam beberapa saat, wajah nya nampak begitu kebingungan. Ya jelas, manusia mana yang tidak kebingungan ketika baru saja bertemu dengan orang yang baru ia kenal, kemudian tiba-tiba di ajak pacaran.
“Hah? Maksudnya mas?” Tanya Alma yang masih kebingungan.
“Ah-m,maksud saya… kamu, mau gak jadi pacar bohongan saya? Just for a years. Setelah itu… terserah kamu mau ngapain. Saya butuh kamu sebagai pacar saya, di depan keluarga saya yang sekarang lagi hype banget saya buat segera menikah padahal saya belum ada target menikah sama sekali. Tenang aja, job still a job kok, kamu bakal dapat gaji, kamu saya tanggung sampai makan dan transportasi kamu. Tugas kamu Cuma setahun, dan berpura-pura jadi pacar saya.” Ucap Bima. Alma terdiam cukup lama, banyak pertimbangan di kepalanya, seperti apakah ia sanggup menjalankan tugas sebagai fakegirlfriend Bima, apakah ia aman? Bagaimana jika keluarganya Bima adalah psikopat? Atau bagaimana jika Bima adalah orang yang jahat? Overthinking nya itu tiba-tiba hilang, ketika ia melihat surat tagihan rumah sakit di atas meja samping tempat tidur adiknya, Alma dengan cepat mengangguk menyanggupi tawaran Bima.
*****
ALMA POV
Aku pertama kali datang ke acara keluarga Mas Bima, sumpah bikin pangling. Gimana engga? Katanya acara keluarga biasa, tapi sampai booking satu restaurant Cuma buat dua jam. Masih heran, sebenarnya Mas Bima dan keluarganya ini, sekaya apa sih?
“Bu, ini Alma, pacar aku yang waktu itu aku ceritain.” Ucap Mas Bima kepada ibunya. Aku hanya bisa diam, sembari sesekali menatapnya. Menceritakan apa? kami saja baru kenal, dia bilang apa sama ibu nya?
“Ya ampunnn, cantik nya calon menantu ibu… kok baru main sih neng kesini? Kok gak dari dulu-dulu aja? Ya ampun, ibu seneng banget lohh akhirnya kamu di bawa sama Bima juga ketemu sama ibu. Akhirnya! Ibu udah lama banget pengen ketemu sama kamu, tapi Bima gak pernah mau bawa kamu.” Ibunya memeluk ku, erat. Sementara aku masih saja canggung, aku tidak tahu harus bagaimana karena, jujur , aku merasa tidak pantas berada di sana.
“Ehehe, iya bu, sibuk soalnya.” Jawab ku seadanya. Kami pun mengobrol, namun tidak seperti mengobrol, rasanya malah seperti di introgasi. Aku betul-betul di tanya dari A sampai Z, keluargaku, pekerjaan ku, bahkan tentang hubunganku dengan Mas Bima.
“Oalah, jadi kapan nih Mas, kamu mau halalin Alma? jangan kelamaan loh! Pacarmu ini ayu banget, awas looh di duluin orang.” Ucap tante Famy, ibunya Mas Bima. Mas Bima Cuma ngangguk-ngangguk aja, sementara aku? Cuma senyum-senyum lucu, takut salah tingkah.
Malam itu berjalan lancar, keluarga Mas Bima adalah keluarga yang luar biasa, mereka kaya, aku jauh di bawah mereka. Tapi penampilan mereka justru biasa saja, terbilang sederhana. Mereka juga baik, buktinya tadi aku di perlakukan istimewa banget sama mereka. Di mobil aku dan Mas Bima lebih banyak diam, aku sibuk dengan pikiranku, sementara Mas Bima juga sama. Di saat hening-heningnya tiba-tiba ponsel Mas Bima berdering, seorang nama perempuan terlihat di layar ponselnya, aku? Aku jelas tidak tahu siapa perempuan itu.
AUTHOR POV
“Iya? Ini baru balik. Udah mba… iya tenang aja. Yaaa, yaudah sip. Gak mau dateng nih? Yaudah, sip, oke.” Bima menutup teleponnya, sekilas Bima menatap Alma kemudian tersenyum.
“Itu kakak saya, namanya Mba Viola. Tadi ibu gak cerita ya? Dia kakak pertama saya, yang kedua namanya Raline, saya yang ke-tiga, yang ke empat Bina, yang ke lima Tari. Mba Raline di luar negeri, dia kerja di sana. Bina di jepang, lagi kuliah sementara Tari dia di Jerman, kuliah juga. Kalau Mba Vio, dia di surabaya, Mba Vio itu dokter, suaminya ada usaha gudang beras gitu.” Ucap Bima, Alma mengangguk-angguk, saat ini ia sedang berusaha menghapal nama-nama suadara Bima, agar nanti tidak salah ketika di tanya oleh ibu dari Bima.
“Keren banget.” Ucap Alma spontan, sementara Bima hanya tersenyum. Iya, Bima memang berasal dari keluarga yang kaya dan berpendidikan. Semuanya berhasil menjadi orang hebat, tanpa terkecuali. Sadar akan hal itu Alma semakin merasa tertekan, ia tahu ia hanyalah pemeran figuran yang harus menyelamatkan Bima dari tuntutan pernikahan yang di minta oleh keluarganya.
“Gimana tadi? Ibu seru gak?” Tanya Bima. Alma langsung mengangguk antusias. Tante Famy memang luarbiasa baik, tutur bahasanya baik, ciri khas ibu-ibu orang kaya, yang selalu tampil elegan.
“Banget. asyik banget, pasti dia jarang marah ya?” Tanya Alma, Bima hanya mengangguk. Sungguh beruntung Bima, karena setidaknya ia masih punya ibu untuk di jadikan tempat pulang.
Bima kepada Alma cukup pendiam, ya walaupun beberapa kali juga ia bersikap hangat kepada gadis itu. Alma jadi menyimpulkan bahwa, Bima sebenarnya bisa saja bersikap hangat kepadanya, hanya saja Bima pasti menahan dirinya, Bima terlalu kaku di hadapan Alma. hari itu berjalan sebagaimana semestinya, Alma menjalankan tugasnya juga sekaligus mendapat bayaran dari Bima. Uang yang diberikan oleh Bima tidak lah sedikit, sepadan dengan gaji Alma bekerja di kantornya kemarin selama tiga bulan. Alma cukup bersyukur karena telah di pertemukan dengan Bima di kondisinya yang sedang kesulitan.
“Ini... too much mas.” Ucap Alma ketika Bima menyerahkan uang hasil kerja Alma.
“Gak, pakai aja. Sepadan kok sama tugas kamu.” Jawab Bima, sementara itu Alma hanya berterimakasih kemudian berpamitan kepada Bima karena ia telah sampai di rumah nya. Bima menatap gadis yang perlahan-lahan menghilang dari pandangannya. Alma terlihat tidak asing di mata nya, ia seperti menemukan sosok lain yang selama ini menghilang dari pandangannya