"Selamat pagi, Tuannn!!! Minami sudah siapkan sarapan buat Tuan. Ayo cepat bangun!" Sapaan lembut Minami membuat mata Satya terbuka.
Sudah pagi. Matahari bersinar lembut memasuki celah kusen jendela Satya. Mata Satya masih terbuka dan menatap kosong langit-langit kamar. Pikirannya kosong. Dia tidak ingat siapa dirinya. Apa yang dilakukannya. Di mana dia saat ini. Satya terbujur kaku seperti mayat hidup. Dadanya yang naik turun secara teratur pertanda dia masih makhluk bernyawa.
"Tuan?" Minami menunduk di atas tubuh Satya. Menggerak-gerakkan tangannya di depan kedua bola mata Satya. Mata itu tidak berkedip. Tak ada bayangan jatuh pada retinanya.
"Ah, maafkan Minami, Tuan. Minami terlalu banyak mengambil ingatan Tuan. Maafff ... Minami terlalu lapar." Minami bersimpuh di hadapan Satya sambil menangkupkan kedua tapak tangannya.
"Minami akan kembalikan sedikit ingatan Tuan," katanya sambil mengecup bibir Satya perlahan. Kali ini begitu lembut. Tidak buas seperti pertama kali mereka berciuman.
"Huaaaa!!! Si-siapa kamu?" Satya berteriak panik ketika melihat wajah Minami tepat di hadapannya. Minami memundurkan tubuhnya dan berdiri manis di samping tempat tidur Satya.
"Sedang apa kamu di kamarku? Dan me-mengapa kamu pakai bajuku? Barusan kamu ngapain? Cium aku? Kamu mau perkosaa aku, ya?" Satya menyibakkan selimut yang menutupi tubuhnya. Memeriksa onderdilnya dengan saksama. Kumplit. Tidak ada bekas penganiayaan seksual yang pernah terjadi. Kulit tubuhnya juga masih mulus. Tidak ada tanda cinta atau lebam-lebam. Satya mengembuskan napas lega.
"Minami sedih. Sudah membuat Tuan lupa pada Minami." Minami tertunduk sedih dan berjalan gontai ke kursi di depan meja. Dia mendudukkan pantatnya di sana.
Satya memandang tubuh Minami yang membelakanginya. Punggung Minami terasa sepi. Entah mengapa Satya merasa ada kehangatan dalam dadanya. Dia merasa mengenal perempuan di kamarnya itu dan dia merasa perempuan itu bukan orang jahat. Satya berjalan mendekati perempuan itu dan menyentuh bahunya.
"Jangan sedih. Aku memang tidak mengenalmu saat ini. Tapi kamu bisa bantu aku supaya kita bisa saling mengenal lagi."
Minami membalikkan tubuhnya. Bola mata violetnya berkaca-kaca. Serta merta dia memeluk Satya dengan gembira.
"Ahhh, Tuan sangat baik hati. Minami senang mempunyai Tuan yang lembut dan baik budi. Huaaaa ... "
"Ssstttt! Jangan nangis! Cup! Cup! Kalau kamu bersuara seperti ini nanti Bu Emi bisa curiga. Nanti aku bisa diusir dari kontrakan ini!"
"Biar saja! Kita bisa cari kontrakan yang baru! Minami tidak suka Bu Emi. Dan kontrakan ini terlalu jelek untuk Tuan!"
"Jangan gitu Minami. Aku tidak punya uang untuk menyewa kontrakan yang lebih bagus. Ini saja aku sudah menunggak dua bulan. Dan --"
Satya merasa ada sesuatu yang penting berkaitan dengan kontrakannya. Tapi apa? Satya lupa. Padahal sesuatu itu sangat penting. Tapi kenapa Satya bisa tidak ingat? Ah, sudahlah! Nanti juga ingat sendiri, pikirnya.
"Kenapa, Tuan?" Minami memandang cemas pada Satya yang sedang mengurut pelipisnya.
"Tidak apa-apa. Eh, kamu kenapa, sih suka manggil-manggil aku dengan 'Tuan'.?"
"Karena Tuan memang tuannya Minami."
"Maksudnya?"
"Kita sarapan dulu, yuk. Supaya ingatan Tuan pulih secara perlahan." Minami mengajak Satya duduk di tengah ruangan. Menyajikan nasi dan aneka lauk pauk di hadapan Satya. Juga segelas air putih dalam cangkir besar.
"Dari mana semua makanan ini? Apa kamu termasuk orang kaya?"
"Makanlah dulu, Tuan. Nanti Minami jelaskan setelah makan," jawab Minami sambil menyendok nasi ke piring Satya.
"Kamu tidak makan?" tanya Satya dengan mulut penuh. Minami menggeleng dan tersenyum.
=*=
Setelah makan, ingatan Satya perlahan-lahan pulih. Semua kejadian terangkai jadi satu di kepalanya. Mulai dari pena bulu. Kemunculan Minami setelah asap pink sampai ciuman dahsyat yang melumpuhkan ingatannya.
"Jadi kamu ini apa?" tanya Satya ingin tahu bercampur curiga.
"Minami datang dari dunia lain. Minami dibuang ke dunia manusia karena menimbulkan kekacauan di dunia Minami."
"Ahhhh! Kamu setan, ya? Kuntilanak bule?" Satya menggeser tubuhnya menjauhi Minami.
"Bu-bukan, Tuan! Minami bukan hantu. Minami penyihir!"
"Ap-apa? Penyihir? Kayak Harry potter?"
Minami mengangguk sambil tertawa. “Kira-kira begitu, Tuan.”
Satya memandangi sosok Minami lekat-lekat. Rambut lurus berwarna pink, kulit seputih s**u, bola mata berwarna violet. Hidung mancung dan runcing, bibir tipis yang selalu basah dan merah muda. Tubuh Minami tinggi. Mungkin lebih tinggi beberapa senti dari Satya. Langsing dengan lekukan tubuh menggoda dan p******a yang besar. Minami lebih cocok menjadi artis Harajuku daripada penyihir.
"Aku tidak percaya. Penampilanmu lebih mirip setan Succubus daripada penyihir."
"Tuan! Minami bukan setan. Dan Minami tidak suka menggoda laki-laki." Mata Minami terlihat kecewa dengan penilaian Satya.
"Lalu apa namanya kalau bukan menggoda? Kamu menciumku tanpa izin!" ujar Satya.
"It-itu. Ituuu ..." Minami menatap Satya malu-malu. Satya bersedekap sambil menatap Minami. Menunggu jawabannya.
"Itu cara Minami makan," katanya sambil menundukkan kepala.
"Apa?! Penyihir macam apa kamu? Masa makan dengan ciuman?"
"Di negeri sihir, kami terlahir dengan sumber kekuatan yang berbeda. Tidak lantas bisa langsung menyihir begitu saja. Banyak penyihir yang tidak bisa mengeluarkan kemampuannya karena tidak tahu sumber kekuatannya. Ada penyihir yang mendapatkan kekuatan dari air, matahari, udara, bahkan hal-hal gelap seperti darah dan nyawa. Biasanya mereka itu memiliki keturunan darah hitam sehingga sumber kekuatannya juga hal-hal yang jahat."
"Dan kamu? Sumber kekuatanmu ciuman?"
"Ingatan. Minami mengambil ingatan seseorang melalui ciuman. Ingatan seseorang itu berlapis-lapis. Lapisan paling inti berupa kenangan-kenangan indah tak terlupakan. Ini sumber kekuatan paling besar. Tapi jika Minami memakannya orang tersebut bisa gila dan tidak bisa kembali normal lagi. Jadi Minami hanya memakan ingatan terluar saja. Ingatan berupa hal-hal remeh kejadian sehari-hari. Ingatan ini sangat banyak jumlahnya dalam kepala manusia dan bisa kembali jika mereka istirahat dan makan banyak. Kemarin ..., Minami sangat lapar jadi Minami memakan ingatan Tuan hampir ke inti." Minami tertunduk malu.
"Apa harus dengan ciuman?"
Minami menatap Satya sesaat.
"Sayangnya, ya. Karena itulah Minami diusir dari dunia sihir. Pemuda-pemuda di dunia sihir berebut ingin mencium Minami sehingga mereka berkelahi dan melupakan kehidupan pribadi mereka. Bahkan putra mahkota juga ingin dicium Minami. Raja murka dan membuang Minami ke pintu dimensi. Dan disinilah Minami terdampar. Sayangnya perbedaan dimensi membuat Minami tidak bisa selalu menjadi sosok seperti ini. Minami menjadi sebuah pena bulu."
"Dan kamu bisa berubah menjadi manusia kalau ada seseorang yang mengelus tubuh penamu?"
Minami mengangguk.
"Baru Tuan yang melakukannya."
"Apa?! Maksudmu, sejak kamu terdampar di dunia manusia baru aku yang mengelus tubuhmu?"
"Iya. Baru Tuan yang punya otak mesuum untuk self service dengan membayangkan tubuh Minami," sahutnya sambil mengedip jahil.
‘Pletak!’
"Jangan mengejekku! Aku sedang stres jadi pikiranku ngaco," ujar Satya sambil berdiri dan pura-pura membereskan tempat tidurnya.
"Tapi karena otak mesuum Tuan, Minami bisa bebas," katanya sambil memeluk Satya dari belakang. Tubuh Minami menempel demikian erat pada punggung Satya. Membuat pikiran Satya kembali kotor.
'Pantas saja kamu menimbulkan kekacauan di duniamu. Laki-laki mana yang tidak tergoda?'
"Emmm, Minami? Bagaimana caramu kembali ke bentuk pena?" Satya teringat kejadian di kamar mandi sewaktu Ibu Emi tidak bisa menemukan Minami.
"Kalau bersin, Minami berubah jadi pena lagi," katanya sambil melepaskan pelukannya. Tiba-tiba rasa khawatir mengganggu perasaan Minami.
"Tuan? Apa Tuan tidak suka dengan Minami? Apa Tuan lebih suka Minami tidak di sisi Tuan?"
Satya membalikkan tubuhnya dan memandang sosok menawan di hadapannya.
"Minami ..., aku ini pemuda miskin. Untuk menolong diri sendiri saja aku tidak bisa. Bagaimana aku bisa menolongmu? Katamu, setelah kamu ambil ingatanku, aku bisa kembali pulih jika istirahat dan makan yang banyak. Aku tidak punya uang untuk membeli makan yang banyak. Aku juga harus segera pindah dari kontrakan ini karena tidak sanggup membayar."
"Tuan! Beri Minami ciuman lagi. Akan Minami bereskan masalah Tuan," pintanya dengan wajah berseri.
"Ap-apa?!" Belum sempat Satya menyuarakan pendapatnya, bibir Minami sudah memagut lembut bibirnya. Kali ini Satya memilih pasrah dan memejamkan mata untuk menikmati permainan bibir Minami yang menggoda. Jika setelah ini dia akan lupa seperti apa rasanya, lebih baik dia menikmatinya selagi masih ingat.
=*=
“Tadaaa!!!”
“Ap-apa ini?” Satya memandang tak percaya pada sebuah rumah gubuk kecil yang berada tepat di hadapannya. Beberapa jam yang lalu, Minami berhasil memaksanya untuk minggat dari kosan dan pergi begitu saja tanpa pamit pada Bu Emi yang sedang ngorok di ruang tamunya.
“Ini tempat tinggal kita yang baru, Tuan.”
“Ini? Kandang sapi Bapakku aja masih lebih bagus. Aku mau pulang kampung saja!”
“E … ehhh, tunggu dulu, Tuan! Tuan belum masuk ke dalamnya. Rumah ini memang bobrok karena cuma rumah ini yang sanggup Minami sewa dengan uang yang Minami dapat. Tapi Tuan harus lihat dulu dalamnya. Ayok!”
Minami menggandeng tangan Satya dan membimbingnya memasuki rumah yang pintunya saja susah untuk di buka.
“Wahhh! Dalamnya benar-benar mewah. Seperti rumah bos-bos! Semua kamu sihir?” tanya Satya. Minami mengangguk-angguk lucu.
“Tuan harus lihat kamarnya!” Minami mengajak Satya ke dalam satu-satunya kamar di rumah itu.
“Astagaa!!! Ini seperti kamar raja! Kasurnya empuk!” Satya duduk sambil melompat-lompat di pinggiran kasur. Di sebelahnya, Minami mengikuti perbuatannya sambil tertawa-tawa lucu.
“Ini kamarku?” tanya Satya. Minami mengangguk. “Kamu tidur di mana?”
“Di sebelah Tuan, Satu ranjang dengan Tuan,” jawabnya polos.
Tidakkk!!!
Malamnya Satya terpaksa tidur di ruang tamu yang merangkap ruang segalanya. Karena memang rumah itu hanya terdiri dari dua ruangan. Satu untuk kamar satu lagi ruangan besar yang bisa digunakan sebagai tempat duduk, bersantai, makan dan juga masak. Minami meletakkan perabotan dapur di sebelah kamar mandi kecil yang ada di ujung ruangan besar. Satya masih enggan untuk tidur seranjang dengan Minami. Ia tidak yakin bisa mempercayai dirinya jika sudah bersentuhan dengan gadis secantik Minami.
Petir menggelegar. Kilat terlihat berkejaran dan sinarnya yang serupa lampu blitz terlihat dari balik tirai jendela. Satya menarik selimutnya hingga menutupi seluruh tubuh. Suhu mulai turun, sebentar lagi pasti turun hujan lebat. Pantas saja tadi panas sangat menyengat, batin Satya.
Tak berapa lama, hujan lebat selebat-lebatnya betul-betul turun ke bumi. Satya sudah jauh terlelap terbuai irama hujan dan dingin yang menyejukkan. Ia tenggelam dalam mimpinya hingga ke dasar. Terombang ambing di lautan luas, dipermainkan gulungan ombak yang mengejarnya. Satya mencoba mengendalikan kapalnya agar tidak karam. Sapuan air laut terasa asin di pipinya. Juga rambutnya. Dingin. Tentu saja, air laut memang dingin. Dan juga asin. Tapi air yang ini mengapa tawar? Dan dinginnya juga terasa nyata.
Satya membuka matanya dan memaksa bangun dari lelap yang gelap. Di atas kepalanya, tetesan-tetesan air hujan begitu riang masuk ke dalam ruangan dan bersarang di jidat, pipi, dan ada sedikit lelehan masuk ke mulut.
“MINAMIII!!!”©