"Lo udah tau belum Ra cowok-cowok ganteng penghuni sekolah ini?" Tanya Rasya bersemangat sekali. Rara yang sedang asyik mengupil tidak terlalu memperdulikan Rasya.
"Ih jorok banget deh lo Ra. Pliss deh ini di sekolah. Sana cuci tangan lo dulu." Usir Rasya mendorong bahu Rara pelan agar gadis itu bangkit dari duduknya.
"Ck, rese lo Sya. Gak tau apa bentar lagi gua bakal dapet yang gede. Susah tau ngambilnya." Gerutu Rara tak terima akan perlakuan Rasya.
"Bodo. Udah sana cuci tangan lo. Gue tunggu disini deh." Dengan malas Rara bangkit dari duduknya dan berjalan menuju toilet meninggalkan kelas mereka.
Selama perjalanan, tak ada yang aneh menurut Rara. Apalagi kejadian tiba-tiba ia menabrak kakak kelas ganteng terus marah-marah dan berujung jatuh cinta.
Setelah mencuci tanganya, Rara tak menuju ke kelasnya tetapi pergi ke kantin untuk mengisi perutnya yang sudah minta makan. Walaupun Rara baru dua hari ini menjadi anggota sekolah, tetapi Rara tidak menujukkan wajah-wajah anak baru yang tersesat.
"Eh anak baru." Sontak mendengar panggilan tersebut Rara menoleh ke arah samping kanan dimana terdapat segerombolan siswa yang seragam sekolahnya sudah tak beraturan.
"Siapa? Gue?" Tanya Rara sambil menunjuk dirinya sendiri. Salah satu diantara mereka yang tadi memanggilnya mengangguk.
"Ada apa?" Tanya Rara tak beranjak sedikit pun dari tempat berdirinya saat ini.
"Sini dulu." Dengan malas Rara mendekati siswa-siswa itu.
"Ada apa?" Tanya Rara mengulang pertanyaannya.
"Beliin gue air mineral dong." Rara menatap siswa yang dengan tidak berdosa menyuruhnya itu tengah memegang uang lima ribu rupiah.
"Kenapa gak beli sendiri? Lo punya kaki kan?" Tanya Rara melipat tangannya didada, menatap siswa itu menantang.
"Gua punya kaki kok. Lo gak liat ini dua kaki gue?" Tanya siswa itu merubah bentuk duduknya menjadi melipat kedepan.
"Terus? Kenapa gak jalan sendiri? Lo pergi beli air mineral sendiri juga gak akan sampe pegel tuh kaki." Sungut Rara.
"Males, gue udah mager disini."
"Yaudah lo suruh temen-temen lo aja napa."
"Mereka juga mager."
"Ooo yaudah kalo gitu lo gak usah beli air aja." Putus Rara yang kemudian pergi meninggalkan segerombolan siswa yang mulai ribut sepeninggal dirinya.
Dalam hati Rara sangat bangga pada dirinya sendiri karena telah berani berdebat dengan siswa yang sepertinya adalah kakak kelas, karena Rara tidak melihat tanda-tanda siswa itu kelas berapa karena baju seragam siswa itu bersih dari logo sekolah dan nama.
Tidak sia-sia selama ini ia berlatih dengan kedua kakaknya yang sudah dua tahun ini menjadi gurunya, siapa lagi jika bukan Devano dan Elang. Kedua kakaknya itu mengajarkan nya untuk bisa berkelit dan menjatuhkan lawan dengan perkataan.
Satu mangkuk bakso sudah tandas dimakan Rara ditemani es jeruk yang saat ini tengah ia seruput hingga tak bersisa. Sebenarnya bel istirahat belum berbunyi, tetapi itu tidak menjadi penghalang bagi Rara untuk mengisi perutnya. Handphone miliknya sudah bergetar sedari tadi, ia menduga bahwa semua itu adalah perbuatan Rasya yang pastinya bertanya ia berada dimana sekarang. Tanpa menunggu lagi Rara meninggalkan kantin dan berjalan santai menuju kelasnya yang berada di lantai dua.
"Lo gak bisa kabur begitu aja dari gue." Rara agak terkejut ketika ada seorang siswa yang menjegat jalannya.
"Lo lagi. Awas gue mau lewat." Tentu saja perintah Rara tak dipedulikan oleh siswa itu.
"Udah gue bilang lo gak bisa kabur gitu aja dari gue."
"Bacot. Gue mau ke kelas awas."
"Enggak sebelum lo kasih tau id line lo ke gue." Rara menaikkan salah satu alisnya menatap siswa ini aneh.
"Lo mau modus sama gue? Sorry lo bukan tipe gue." Siswa itu mendengkus mendengar ucapan Rara.
"Gue gak modus."
"Ohh lo gak modus tapi mau php sama gue?" Kali ini siswa itu tidak mendengkus tetapi berdecih.
"Gua juga gak mau php."
"Oohh jadi lo mau jadiin gue pacar lo?" Tanya Rara to the point dengan wajah biasa tanpa malu-malu kucing seperti remaja lainnya.
"Kalo iya gimana?" Tanya siswa itu terkekeh kecil dengan gaya cool yang ia punya.
"Ya gak gimana-gimana. Palingan lo bakal sama kayak yang lain setelah ketemu bokap dan abang-abang gue kabur gitu aja." Ujar Rara memutar kedua bola matanya malas.
"Kalo gue gak kabur gimana?" Tantang siswa itu menatap Rara tepat di kedua bola matanya.
"Ya gak gimana-gimana paling lo gue tolak."
"Kalo gue gak terima penolakan gimana?"
"Eh si taik nanya gimana terus, yang kreatif dong sekali-kali apa gitu atau kapan dimana." Cerocos Rara kesal. Lagi-lagi siswa itu terkekeh sok tampan menurut Rara.
"Yaudah kapan?"
"Kapan apanya?" Tanya Rara bingung.
"Kapan lo bisa jadi terima gue jadi pacar lo?" Tanya siswa itu dengan senyum tertahan.
"Ya gak tau. Kan tadi udah gue bilang bisa aja lo gue tolak."
"Kenapa?"
"Ya karena gue gak suka sama lo. Perlu dijawab banget."
"Dimana?"
"Buset dah, lo banyak nanya banget. Dimana apanya sih?"
"Dimana rumah lo? Gue mau dateng kesana." Rara melongo tak percaya dengan pertanyaan siswa itu kali ini.
"Atau gue perlu cari tahu sendiri?" Untuk sesaat Rara mencoba menyadarkan diri dengan mengerjapkan kedua matanya.
"Gak perlu. Lo gak perlu ke rumah gue. Cuma buang-buang waktu dan tenaga lo aja." Tolak Rara yang seketika menjadi gugup.
"Gue gak masalah. Jadi dimana rumah lo?" Rara tergagap bingung ingin menjawab apa. Jujur baru kali ini ada pemuda yang nampak serius ingin mendekatinya dan ini pertanda bahaya.
"Gak gak perlu. Lo tadi minta id line gue kan? Sini gue kasih mana handphone lo?" Tanya Rara mengalihkan pembicaraan.
"Gak perlu. Gue gak terlalu butuh id line lo. Gue butuh alamat rumah lo. Jadi dimana?" Rara mengigit jarinya dan menatap pemuda ini penuh petimbangan.
"Gue gak bisa kasih alamat rumah gue sembarangan. Bisa jadi lo ada niat buruk untuk rumah gue. Apalagi kita baru pertama kali ketemu, gue gak bisa menjamin kalo lo ini bukan maling atau embel-embel semacam itu. Jadi minggir gue mau lewat. Gue udah terlambat nih, bisa kena amuk gue sama guru."
"Gak bakal. Lo kelas sepuluh apa?" Tanya siswa itu masih menatap Rara tanpa mengalihkan pandangan ke arah lain.
"Sepuluh tiga."
"Oke." Setelah mengatakan hal itu, pemuda dihadapan Rara itu sudah menggenggam tangannya menaikki tangga. Sekali lagi, MENGGENGGAM bukan menarik pergelangan tangan seperti pria-pria kasar dan tidak sabaran yang sering Rara baca.
"Udah sampe. Sepuluh tiga yang ini kan?" Rara mengangguk mantap dan melirik tangannya yang masih asyik digenggam.
"Tangan gue..."
"Eh, iya maaf ya." Lalu genggaman tangan itu terlepas. "Gue sampe lupa kalo genggam tangan lo, nyaman sih. Jadinya sayang dilepasin." Mendengar gombalan receh itu d**a Rara berdesir.
"Masuk sana, kayaknya juga udah ada guru." Rara mengangguk pelan dan membalikkan tubuh. Tiba-tiba ia merasa bahwa ada yang sesuatu yang mendekat.
"Gue faham perkataan lo. Itu sebenarnya makna tersirat supaya gue cari tau sendiri alamat rumah lo." Setelah berbisik demikian, tangan pemuda itu mengetuk pintu kelas dan membukanya.
Sontak seluruh mata menatap kearah dua pasang siswa-siswi itu dengan beragam tatapan.
"Maaf bu ganggu, ini tadi anak kelas ibu tersesat jadinya terlambat. Untung ada saya." Guru yang tengah berdiri didepan kelas tersebut tersenyum maklum dan membiarkan Rara masuk ke dalam kelas.
"Terima kasih ya Juno sudah mengantarkan siswi ibu."
"Iya sama-sama bu, saya permisi kalo gitu."
'Jadi namanya Juno?? Arjuno? Atau bang Juno lagunya Zaskia gotik?'
Vote and Comment guys!!
Bungsu Haling ❤