ARUM Istriku
“Plak” tamparan itu mendarat di pipi Bagas, tamparan kesekian yang ia rasakan manakala dirinya ketahuan oleh banyak gadis-gadis bahwa ia hanya menjadikan mereka bahan taruhan.
Bagas Handoko, laki-laki tampan dengan kulit putih dan perawakan tinggi besar, 12 tahun yang lalu adalah bintang di kampusnya.
Bagas masih ingat saat ia menang taruhan lima juta dua ratus lima puluh ribu rupiah, saat itu saat dimana Arum menerima cintanya. Dia juga mendapat aplous dari teman-temannya karena mampu meruntuhkan ‟gunung emas‟ seperti Arum.
Arum Sekar Arum, gadis pendiam dengan jilbab panjang, gadis manis, lugu, penuh sopan santun meski sedikit nampak ndeso diantara gemerlap dunia kampus.
Mereka belajar dalam kampus yang sama di Universitas Gajah Mada, Jogja.
“Aku menerimamu dengan beberapa syarat” ujar Arum masih 12 tahun yang lalu.
“Ya..apa syaratnya?” jawab Bagas
“Kamu boleh pacaran denganku namun pacaran kita hanya sebatas keluar bareng dua minggu sekali, tanpa ciuman, tanpa pegangan tangan dan kamu boleh tetap berpacaran dengan siapapun semaumu, bagaimana? kamu setuju?” Syarat yang aneh bagi Bagas, berbeda sekali dengan banyak gadis yang dikencaninya namun tak urung di iyakannya saja demi hasil taruhannya yang begitu mempesona. Dan Bagas tersenyum menang saat itu.
Sampai suatu hari tiba jadwal kencannya dengan Arum Sekar Arum, dia menemui Arum di cafe Monalisa tempat yang sudah mereka janjikan. Bagas mencari, melihat semua sudut ruangan karena menurut pesan di ponsel pribadinya Arum sudah menunggu disana, sampai akhirnya…ada yangmelambai di meja no 16, gadis manis dengan jilbab hijau muda, Bagas mendekat, mereka berbagi senyum. Senyum Arum ternyata cukup manis, sesuatu yang tidak pernah ia perhatikan sebelumnya kecuali sifatnya yang lugu, polos dan kata sebagian teman kampus‟ndeso‟itu.
Dua cangkir kopi s**u, kentang goreng dan roti bakar terhidang.
Arum banyak bercerita tentang kisahnya, tentang perjalanannya, tentang masa kecilnya, Arum terus saja bercerita sambil sesekali senyum mereka berbenturan. Ach..ada yang berdesir di hati Bagas saat tatap mata mereka beradu. Teman teman di kampus tidak tahu bahwa sebenarnya Arum adalah wanita kuat dan mandiri, dia tidak manja, dia „story teller‟yang baik, tidak menginginkan perhatian laki laki secara berlebihan, pemahaman agamanya juga bagus. Samar- samar Bagas merasa ada yang menggenapi bagian dirinya yang hilang.
Begitulah, hari berselang, bulan berbilang dan waktu terus berjalan. Bagas terus melanjutkan kegilaannya menaklukkan hati banyak gadis dan Arum tetap menjadi aktivis kampus, mengikuti halaqoh dan pengajian-pengajian di kampus.
Namun ada yang berbeda di hati Bagas terlebih sejak hari itu, hari dimana dia tahu siapa Arum, gadis yang tidak pernah „tersentuh‟ berbeda sekali dengan gadis-gadis yang pernah dikencaninya. Arum semakin istimewa dihatinya. Oh,satu lagi Arum tidak pernah cemburu dengan apapun yang dilakukannya dan bagi Bagas itu luar biasa.
Semburat merah masih ada diluar sana, dua minggu sejak dirinya dan Arum di wisuda praktis Bagas sama sekali tidak pernah lagi melihat Arum. Yups!dikampuspun bila bukan jadwal kencan Bagas hanya bisa melihat Arum dan aktivitasnya dari jauh. Entah mengapa hari ini tiba tiba seorang Bagas begitu kangen pada Arumnya. Kangen yang menelisik pelan- pelan di hatinya, kangen yang malu ia ungkapkan pada teman-temannya karena ia yakin akan mendapat olok- olok dari teman-temannya bila mereka tahu dirinya merindukan A R U M.
Rasa yang menelisik itu membuat dirinya seolah ditusuk dengan ribuan jarum dan ia benar-benar tidak tahan, sampai akhirnya……..
“Assalamualaikum,hallo..” suara lembut disebrang mencumbui gendang telinganya.
“Hallo, mas Bagas, kok diam ada apa?”Tanya suara itu lagi, Bagas hanya mampu menggeletar diantara kubangan perasaannya, suara itu begitu damai menyeruak hatinya yang saat ini begitu gelap dan hampa.
“Oh,eh,anu…iya dik Arum,apa kabar?” balas Bagas gugup. Kenapa tiba tiba jadi gugup ya? tanya Bagas pada hatinya sendiri.
“Ada apa,mas?”
“Maaf dik, bisa kita ketemu besok?...”ucap Bagas pelan, takut tertolak, bisa malu nanti bila ternyata Arum menolaknya.
“Oh,nggih, monggo mas, jam berapa ? dimana?” Begitulah Arum, selalu tanpa basa basi, terkesan lamban namun cekatan, terlihat pendiam namun aktif, Nampak ndeso padahal otaknya berisi ide-ide cemerlang, sifat pendiamnya yang terkadang berlebihan itulah yang membuat banyak kelebihannya kadang tak nampak.
Itulah kisah 12 tahun yang lalu saat Ndari Sekar Arum akhirnya dipilih menjadi wanita yang mendampingi dirinya, mengakhiri kesendirian masa lajangnya. Pun,wanita yang pasrah saja ketika harus meninggalkan Jogja tempat kelahirannya menuju Kotabaru, sebuah kabupaten di Kalimantan Selatan tempat Bagas dan keluarganya tinggal. Keluarga Bagas adalah pasukan transmigrasi yang bermukim di Kotabaru sejak tahun 1961 demi kepatuhannya pada suami.
Sekar Arum….
Bagas terus mengeja nama istrinya ditepi Siring laut hari ini, ia pandangi pantai dengan gelombang tipis- tipisnya, sesekali pantai itu bergemuruh ketika beberapa speed beradu. Ia lempari air pantai itu dengan kerikil kerikil kecil seolah ingin berbagi rasa yang sedang meletup-letup di hatinya.
Kotabaru memang pulau yang terpisah dengan ibu kota propinsi, untuk sampai di ibu kota propinsi kita harus menempuh perjalanan darat menggunakan travel dan meminta bantuan kapal ferry di Pelabuhan Tanjung Serdang untuk menyebrang. Namun pulau ini demikian eksotik, menawan juga menggelisahkan. Banyak laut, pasir pantai, air terjun, pegunungan serta pemandangan-pemandangan indah yang dapat dinikmati gratis disini. Sesuatu yang mestinya harus disyukuri oleh siapa saja yang dikirim Tuhan bermukim di pulau ini.
Masih tentang Sekar Arum istrinya, Bagas terus berfikir kuat. Wanita itu wanita yang baik, tak pernah ada selisih faham yang berarti, semua baik-baik saja, sampai tiba saatnya jingga menebar pesonanya. Raisa namanya, wanita enerjik, lincah dan berani yang dikenalnya via jejaring „sosmed‟ beberapa bulan yang lalu. Wanita ini berbeda sekali dengan dik Arum… suara Bagas mendesis diantara galaunya. Sensasi kelelakianku tergelitik. Bagaimana tidak, caranya menguasai pembicaraan benar-benar menantang dan membuat banyak lelaki terkesima. Ia mengenalnya di dunia maya memang, wanita itu menari-nari di dunia mayanya seperti kupu kupu dan Bagas adalah salah satu penikmatnya, menikmatinya dalam kata dan tutur bahasanya.
“Aku geli dengan parodi yang dikirim Tuhan, aku tahu ini permintaan iblis tapi pasti bila sudah terjadi adalah atas ijinNya, namun untuk apa? Untuk menguji ketangguhan imanku? Ach,lelucon yang tak lucu bagiku karena tanpa di uji pun aku sudah teruji.”
“Cinta legit penuh magnit menggigit dan mencubit, ada rasa sakit namun ku ikuti saja karena aku sedang berada dalam zona hayal yang menantang.”
Bagas terdiam beberapa saat, memutuskan untuk tetap mencintai wanita barunya dengan perjanjian perjanjian atau meninggalkannya dan mencari‟aman‟? Sesuatu yang tidak gampang memang. Arum istri Bagas adalah wanita yang teramat sangat baik namun Raisa cinta barunya adalah juga wanita yang terlampau menarik dan „membutuhkan‟!
Bagas masih bimbang sebelum akhirnya memutuskan untuk segera pulang karena sebentar lagi adzan maghrib datang.
Ia ingat perjanjiannya sebelum menikah dulu…’boleh dengan wanita lain, asal jujur!’
Bimbang…
Adalah kata paling ringan diucapkan untuk sebuah pembenaran atas sikap diri yang tak tenang dalam mengambil sebuah keputusan.
Bimbang, menimbang, dalam gamang…
Lalu.. dunia tersenyum menatap kita yang terus saja menuhankan kata bimbang sebagai alasan menunda masalah terpecahkan.
Mengapa harus bimbang jika Tuhan menyediakan begitu banyak hamparan untuk kita senantiasa bersujud memasrahkan.
Panggil nama Tuhan maka pasti bimbangmu terpecahkan.
Karena tak ada kehebatan melainkan atas kuasaNYa.
Berundinglah padaNya.
Serahkan seluruh jiwa, dalam kepasrahan padaNYA.