DUA

1641 Words
"RANGGA NGGAK MAU PUNYA MAMA TIRI, PA. RANGGA BAKAL JAMBAK RAMBUTNYA JUGA SAMPAI RONTOK!"Teriak Rangga keras diambang pintu dengan pandangan yang nyalang kearah Pian. Supir yang berada di belakang Rangga, mengkeret takut melihat tatapan tajam Pian yang mengarah kearahnya. "Gara-gara kamu, Sha "desis Pian pelan pada Shasa. Shasa membuang wajahnya kearah lain. Pian terlihat mengacak rambutnya frustasi. Dalam hati, laki-laki yang berusia 29 tahun itu menghitung mundur sampai tiga. Lihat saja kelakuan anaknya, sangat melelahkan. BRUK Rangga mengeluarkan semua isi tasnya dan melemparnya asal ke lantai. "Jangan, sayang!"Shasa melangkah dekat kearah Rangga yang tengah kalap mengeluarkan isi tasnya, dan melemparnya di atas udara dan bertebaran dilantai putih rumahnya. "No, Mama. Rangga kesal sama papa."Ucap Rangga tanpa memandang kearah Shasa yang berada di sampingnya. "Papa harus dihukum, Ma. Papa sering bolos datang ke rumah. Kayak teman Rangga yang sering bolos di sekolah di hukum juga sama Pak Yoga. Papa harus, Rangga hukum."sungut Rangga sungguh-sungguh dengan raut wajah yang kesal dan serius. "Papa sibuk kerja."Beritahu Shasa lirih. Mata Rangga semakin memanas mendengar suara lirih mamanya. Anak yang berusia delapan tahun itu tau kalau mamanya berbohong. Ada jejak air mata yang telah mengering di mata kedua pipi mamanya. Mamanya habis menangis. Pasti karena papa. Simpul anak yang berusia delapan tahun itu dalam hati. "Rangga sayang, Mama."Ucap Rangga penuh cinta. "Rangga benci, Papa. Papa jahat!"pekik Rangga dengan mata yang memicing kearah Pian. Air mata Rangga, perlahan mengalir dalam diam. Anak itu menyimpan amarah dalam hatinya untuk papanya. Papanya jarang berada di rumah, jarang bermain dengannya, sering buat mamanya nangis diam-diam juga. Rangga yang kecil selalu mengintip dalam diam apa saja yang di lakukan oleh papanya terhadap mamanya. Sedang Pian saat ini? Hati Pian sakit melihat air mata anaknya yang mengalir dalam diam. Ia juga sering memberi harapan palsu pada Rangga tentang bertemu nenek dan kakek. Pian melangkah dengan lebar kearah Rangga. Ia ingin memeluk dan menenangkan anaknya. "Jangan nangis. Wajah Rangga jelek kalau nangis."Ucap Shasa sambil menghapus lembut lelehan air mata anaknya. Rangga menggeleng pelan, dan memberi senyuman manis pada mamanya, dan ikut membantu mamanya menghapus kecil air matanya. "Papa mau di hukum sama, Rangga. Hukumannya apa, sayang?"Tanya Pian lembut dengan tangan yang tengah mengelus lembut kepala Rangga. "Benaran papa mau di hukum sama, Rangga?"Tanya Rangga semangat dengan raut wajah yang jail. Pian mengangguk wa-was. Ia tau begaiman nakalnya anaknya di sekolahnya. Ini semua salahnya. Terlanjur basah, dan ia akan memperbaiki semuanya nanti. "Rangga penasaran sama rasa air kencing. Rangga lihat ada lomba minum air kencing di youtube kemarin. Rangga mau papa minum air kencing, dan kasih tau Rangga rasanya seperti apa."Ucap Rangga dengan senyuman yang tersungingg indah di wajahnya. "Rangga! Yang sopan, sama papa, sayang."Ucap Shasa dengan nada yang sedikit keras pada anaknya. Ia tidak ingin anaknya memiliki karakter dan sifat tak sopan seperti ini. Rangga mematung di tempatnya dengan kepala yang menunduk dalam. Melihat anaknya yang menunduk sedih, Pian mengarahkan pandangannya kearah Shasa, tajam. "Jangan bentak anakku."bisiknya geram. "Hukuman di ganti."Ucap Rangga serak. Ia begitu dendam pada papanya yang jarang pulang ke rumah. Rangga membuka kancing bajunya tergesa dan melemparnya asal ke lantai. Setelah itu, anak itu terlihat menarik turunkan resleting celananya. Rangga melepaskan celana seragam merah hatinya tergesa. Hanya dalaman saja yang tersisa. "Kenapa di lepas? "Tanya Pian bingung. Supir yang berdiri diambang pintu sedari tadi perlahan melangkah mundur. Ia tidak ingin dapat bentakkan dari atasannya Pian. "STOP, SAYANG."Pekik Pian keras melihat Rangga yang membuka celana dalamnya dengan gerakan slow motion. "Balikan badan kamu, Sha. Kamu nggak boleh lihat punya, Rangga."pekik Pian kalang kabut melihat anaknya Rangga yang telah telanjang bulat di depannya. Lebay! Rutuk Shasa kesal dalam hati. "Rangga udah besar."Pekik pian lagi geram. "Gila!"Umpat Shasa pelan. Shasa tidak menggubris ucapan Pian. Shasa ingin meraih anaknya tapi keburu oleh Pian. "Nggak boleh lihat. Mata kamu ntar ternodai."Pian menggendong anaknya dari depan, dan menutup rapat p****t Rangga yang terekspos dengan kedua tangan kekarnya. Cuurrrrr..... Mata Pian melotot. Dia merasa hangat dan basah di bagian perutnya. "Aahhhhh...lega! Rangga nahan kencing dari tadi, Pa"Ucap Rangga tanpa rasa dosa. Rangga sangat hapal, papanya begitu cemburuan. Walau Rangga sendiri belum paham dan tau apa itu cemburu. Intinya papanya tidak suka kalau ia begitu manja, dan mamanya melihat ia yang telanjang, sejak ia berumur tujuh tahun. Papanya aneh dan jahat juga. Shasa tertawa geli melihat raut wajah masam Pian. Bodohnya dia! Sudah berapa kali ia di bodohi dan dijaili anaknya dengan cara mengompol, sial! "Kita baca bismillah, nggak, si dulu saat kita bikin Rangga, Sha? "Ucap Pian pelan dengan nada ambigu, takut otak Rangga semakin ternodai. ***** Pian tidur dengan resah di ujung ranjang. Bagaimana tidak? Mamanya tengah menunggu ia di kantor bersama papanya. Pian mengutuk sekolah anaknya yang mengadakan rapt dadakan dan memulangkan anaknya cepat. Ia rindu dengan anaknya tapi mamanya telah menunggu di sana, di kantornya. "Papa kayak cacing, gerak-gerak terus."rutuk Rangga kesal. Kepala kecilnya, yang ia tenggelamkan di d**a papanya, diangkat seketika di kala ia merasa papanya begitu resek dan rusuh. "Ish! Kalau tidur itu tutup mata, Pa. Kayak mama, tuh!"Ucap Rangga kesal sambil menunjuk lembut kearah Shasa yang terlelap. Lebih tepatnya hanya tidur bohongan. Shasa lama-lama gerah melihat kejailan anaknya pada papanya. Ikut siapa, anak hamba, Ya Allah? Resenya... "Sayang, ini masih pagi. Jam 10 lagi. Gimana mau tidur, coba?"Ucap Pian mencoba sabar dengan tangan yang menekan bibir Rangga geli melihat bibir anaknya yang memoncong kedepan bagai bebek. Rangga berdecak. Ia kan hanya ingin merasakan tidur bareng lagi, mengingat papanya yang tidak pulang seminggu penuh kemarin. Rangga mau merasakan pelukan hangat papanya lagi walau ia kesal, dan marah pada papanya yang jarang pulang. "Rangga nggak mau tau, Pa. Kita harus tidur bareng pokoknya."Ucapnya keras kepala dengan nada final. Mata Rangga telah memerah. Anak itu menahan tangisnya kuat. Jujur saja, ia nakal disekolahnya, dan bersifat rusuh pada papanya hanya berniat ingin mencari perhatian papanya. Tapi selalu saja gagal di akhir walau di awal ia sudah menang. Selalu saja ada hal yang membuat papanya pergi tiba-tiba di kala ia telah merasa seru apabila tengah bermain dengan papanya. "Huuuufffttt...Oke-oke, kita bobo bareng, sayang. Apapun untuk anak papa yang ganteng"Nyerah Pian pasrah dan kembali menjatuhkan kepalanya diatas bantalnya yang empuk. "Auwhhh!"pekik Pian sakit. Rangga menduduki perutnya tiba-tiba. Membuat ia merasa geli sekaligus sakit. "Rangga kaget, Pa. Rangga ternyata ganteng, ya."Rangga bagai orang dewasa. Kedua alisnya di naik turunkan oleh anak yang berumur delapan tahun itu. Mungkin, situs yang Pian jelajahi di google untuk mengatasi anak yang nakal dan keras kepala, akan Pian gunakan. Nama Rangga akan di ganti. Fix ! "Bobo! biar gantengnya nambah."Pian gemas dengan anaknya. Dengan lembut laki-laki yang berusia 29 tahun itu menenggelamkan kepala anaknya di ketiaknya membuat Rangga menjerit tertahan. "Kayak bau tai ayam, Pa. Bau! Hoek!"Ucap Rangga bohong dengan lidah yang menjulur keluar. Ia hanya ingin membuat kesal papanya sebagaimana ia kesal karena papa sering nggak pulang. Mata Pian melotot mendengarnya. Pian melirik dengan ekor mata pada wajah Shasa yang tengah terlelap pura-pura. Ada senyum samar di wajah isterinya. Sial! Harga diri Pian jatuh di depan wanita yang ia cintai. "Kamu, ya. Bisa aja, ketek papa harum tau."Pian menggelitik perut Rangga tanpa ampun. Rangga bagai belut, seluruh tubuhnya bergetar karena geli sekaligus menahan tawa. "Ahhh...mama bantu Rangga, Ma. "Pekik Rangga tertahan. Mata tertutup Shasa seketika terbuka lebar. Shasa memberi tatapan tajam pada Pian. "Nanti perut Rangga sakit. Sini mama yang peluk."Shasa mengambil lembut tubuh Rangga dan membawa tubuh Rangga ke dalam lingkaran hangat di tangan dan tubuhnya. "Nanti dia tindis breast-ku. "Ucap Pian resah. Laki-laki itu bahkan menggunakan bahasa inggris untuk kata payudara. Ia tidak ingin anaknya menindis miliknya. Rangga sudah besar, ya , ampun. Shasa tidak menggubris, wanita itu malah menguatkan pelukannya pada tubuh anaknya, pelipur laranya selama delapan tahun berlalu. Rangga adalah hidupnya. Yang menemani sepinya di kala sang suami meninggalkan dirinya bahkan berbulan-bulan lamanya dulu. Untung saja, sekarang ini Pian bisa dikatakan sering mengunjunginya. "Nyaman, Ma. I love you forever, Ma. Rangga sayang bangat sama mama. Cuman mama yang bisa kasih Rangga kasih sayang dan main sama Rangga setiap hari."Ucap Rangga penuh cinta dengan suara lantang di saat ia mengucapkan rasa sayangnya pada Shasa. Dan suaranya melirih untuk kalimat akhirnya. Hati Shasa bergetar sakit medengar suara lirih, dan terluka anaknya di akhir ucapannya. Pian? Pian membatu di belakang punggung anaknya. Hatinya iri melihat anaknya yang sangat menyayangi mamanya. Ini semua salahnya. Ia berjanji akan segera membawa anak, dan isterinya untuk bertemu dengan kedua orang tuanya. "Mama juga sayang, kamu, sayang."bisik Shasa lembut. "Papa juga, sayang bangat sama Rangga. Papa janji mulai besok, papa akan menemani Rangga bermain dan kita akan sering-sering tidur bareng."Janji Pian yakin dengan nada sungguh-sungguh. Shasa menatap nanar kearah suaminya. Ia takut Pian akan melanggar janjinya, dan semakin membuat perasaan anaknya terluka. "Mama..."Panggil Rangga tegang. Membuat Shasa, dan Pian yang tengah menunggu balasan ucapannya dari Pian, menegang mendengar panggilan Pian dengan suara khawatirnya. "Ya, sayang. Ada apa?"Serempak Pian dan Shasa bertanya dengan suara khawatirnya. Rangga tidak langsung menjawab. Anak itu bangkit dulu dari baringannya, dan merapikan rambut mamanya lembut. Mata bulat jernihnya memandang intens kearah leher Shasa. "Ini...ini..ini...merah? Astaga...leher mama di santap sama semut rong-rong!"jerit Rangga khawatir. Rangga tidak ingin mamanya gatal-gatal. Seperti ia tadi pagi, ia di santap sama semut rang-rang kakinya di sekolah. Membuat kakinya bentol bentol merah. Pian terpaku mendengar ucapan anaknya. Sepertinya mengganti nama anaknya akan ia lakukan besok. "Rangga juga di gigit, Ma. Ini kaki Rangga merah."Tunjuk Rangga kakinya horor. Jijik sekali di gigit sama semut, gatalnya minta ampun sama sakit. Shasa, dan Pian serempak masih diam. Mereka terlalu shock, Oh astaga...anaknya? "Bentar, ada sofel yang di kasih bu guru di tas, Rangga."Rangga melompat dengan mudah diatas kasur melewati tubuh tegap Pian dengan mudahnya. "Biar semut rong-rong nggak gigit leher mama lagi."Teriak Rangga panik dengan tubuh yang telah menghilang di balik pintu. BUKKK Satu lemparan bantal mendarat mulus di wajah Pian. "Jangan main hisap lagi. Hisap dot sana." Pian tercengang melihat tingkah anak dan isterinya. Astaga.... untung sayang dan cinta! Tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD