Seorang lelaki dengan tubuh proposional mengendarai moge dengan kapasitas mesin 600cc. Dia membelah jalanan padat ibu kota, menelusuri setiap jalan alternatif untuk menghindari kemacetan. Suara gaungan knalpot membuat siapa saja yang mendengarnya melihat sosok menawan, meskipun parasnya tertutup helm.
Saat motornya memasuki area khusus parkir, sosoknya akan semakin menarik. Apalagi ketika tangan menarik helm, dilanjutkan dengan adegan mengibas rambut. Jika saja dia bukan pemilik perusahaan, semua kalangan wanita dengan percaya diri mendekati.
Ravin berjalan memasuki gedung perusahaan bernama Titan Group. Meskipun dengan penampilan santai celana jeans dan jaket kulit, dia tak luput dari rasa hormat karyawan. Karena sejatinya, jiwa pemimpin tak pernah luruh bagaimanapun penampilannya.
Ravin memasuki ruang kerja pribadi miliknya. Dia sudah mendapati setelan jas yang sudah disiapkan oleh ajudannya. Itulah ritual setiap pagi, sebab orang ini lebih suka datang ke kantor dengan motor. Menggunakan mobil hanya akan membuatnya membuang waktu banyak karena kemacetan.
Namun, alasan penting sebenarnya dia tidak pernah merasakan seperti orang lain. Menikmati masa muda dengan menghabiskan waktu di tongkrongan, atau menikmati indahnya belaian kasih sayang kekasih. Setiap waktu sudah berlalu sebagai dedikasi penerus perusahaan.
Jika saja sang ayah memiliki waktu lebih lama di dunia ....
Ah, memakai moge adalah satu-satunya cara agar dia tampak lebih muda. Menyembunyikan suatu hal kehilangan dengan cara keren. Ravin menciptakan masa muda dengan caranya sendiri.
“Ravin.” Seorang lelaki paruh baya memasuki ruangan tanpa mengetuk pintu.
“Mr. Ravin! Seharusnya kamu memanggilku seperti itu, dan lagi, aku ini atasanmu. Kenapa tidak mengetuk pintu?” ucap Ravin kesal sambil tetap merapikan dasi miliknya.
“Butuh waktu berapa lama kamu merapikan dasimu? Sini biar om bantu.”
Ravin memang tidak pernah becus sedari dulu setiap kali memakai dasi. Orang inilah yang selalu membantunya memakai dasi setiap pagi. Jika tidak, maka dia akan melewatkan satu atribut penting dirinya sebagai pemimpin.
“Om Jev, sebenarnya tanpa memakai dasi pun aku tidak akan kehilangan reputasiku di perusahaan ini.” Begitu kata Ravin pada seseorang dengan nama, Jev.
“Aku tahu, tapi setidaknya ini akan menambah nilai plus untukmu.” Jev mengatakannya sambil merapikan dasi Ravin.
Jev memiliki kedudukan di bawah Ravin dalam perusahaan, tapi di lingkungan keluarga dia memiliki posisi sebagai seorang paman. Di lain sisi, dia juga sudah seperti ayah kedua bagi keponakannya.
“Umurmu sudah mau menginjak dua puluh sembilan. Apa kamu tidak mau mencari seorang istri?” Pertanyaan klise yang selalu terlontar dari mulut Jev.
“Aku masih dua puluh delapan, Om. Emh, sudah ‘kan? Ok, terima kasih.” Ravin mengelak dan berjalan menuju kursi kerja.
Sementara itu, Jev masih berdiri mematung memandangi keponakannya.
“Apalagi?” tanya Ravin. Seharusnya obrolan mereka sudah selesai, karena jelas bahwa Ravin tidak mau membahas tentang istri.
“Hari ini Listy dipindahkan ke Titan plan empat, dan akan ada karyawan baru yang masuk.” Jev memberikan laporan secara langsung.
“Kenapa dia dipindah?” Ravin memasang raut kesal.
“Ada karyawan yang baru saja habis masa kerja. Jadi, kupindahkan dia untuk menggantikkan. Dan ...”
“Kenapa tidak karyawan baru saja yang kamu taruh di sana?”
“Itu karena Listy sudah berpengalaman. Jadi, plan empat membutuhkan orang seperti dia.”
Ponsel milik Ravin yang tergeletak di atas meja bergetar. Matanya melirik sejenak, wajah dari foto pemanggil itu sudah lama tak menyapa. Tumben sekali rasanya dia tiba-tiba menghubungi. Bersama kernyitan dahi dan tekanan nada tanya, panggilan tersebut dijawab.
“Hallo, Za. Ada apa?” tanya Ravin.
“Woii, bro. Apa kabs?” Berbeda dengan Ravin yang selalu formal, orang di balik panggilan tersebut lebih santai.
“Gak usah basa-basi. Ada apa?” Sekali lagi Ravin menekankan sebuah pertanyaan.
“Sans dong bro, jadi gini, gua mau adain acara reuni kampus kecil-kecilan. Gua berharap sih lu dateng, dan ada sedikit peraturan yang mungkin agak gak enak dikit. Emh, lu harus bawa pasangan lu nanti,” ucap seseorang yang dipanggil Za tadi.
Ravin sesaat terdiam, sedari tadi dia tak memperhatikan sang paman. Kedua matanya mendapati seringai dari paras Jev. Untunglah bahwa cerita ini bukan seri dari tayangan ikan terbang, jadi Ravin dengan segera mendapati jawaban. Bahwa semua ini sudah tersusun sebagai bagian dari rencana sang paman.
“Oke gua gak dateng!” Ravin segera menutup panggilan.
Mata tajam mengunci seorang pria paruh baya di depannya. Ravin menaikan sebelah bibir sambil berkata, “Ini rencana Om ‘kan? Memindahkan Listy dan memasukan karyawan baru. Biar kutebak, karyawan itu pasti cewek dan memiliki tubuh seperti biola (selera Jev sekali). Ayolah Om, tidak perlu memikirkan hal seperti itu untukku. Aku juga tidak ada masalah dengan kesendirianku.”
“Semuanya kembali padamu. Yah, mau bagaimana lagi, karyawan itu mulai masuk hari ini. Barangkali berubah pikiran. Lagi pula cewek yang kali ini berbeda, dia itu cantik, berwawasan luas dan ...”
“Dan biasanya memang itu yang kamu ucapkan.” Ravin menyambung kalimat Jev. Dia kemudian menghela napas panjang, berkata, “Haaah ... kasihan sekali. Gara-gara keegoisanmu mengenalkan cewek padaku, seseorang harus kehilangan pekerjaannya dari Titan Group.”
***
“Titan Group?” Sally begitu terkejut ketika mendengar cerita pelayan. “Oh iya, nama lu siapa?” Setelah keterkejutannya, dia baru ingat bahwa sedari tadi dia tidak tahu. Siapa nama dari orang yang sedang bercengkrama dengan dirinya.
“Nama saya Rini,” katanya tersenyum.
“Sally, nama gua Sally. Meskipun lu ga bertanya, gua tahu kalo lu pasti butuh tahu nama gua. Emh, ok! Kita kembali ke topik pembahasan tadi, Ravin pemilik Titan Group?” Sally melanjutkan ekspresi terkejutnya setelah beberapa saat terjeda oleh ekspresi perkenalan.
Rini terdiam menunggu Sally melanjutkan kalimatnya. Namun, yang terlihat justru perempuan itu nampak begitu asik menyantap sarapan kesiangan miliknya. Rasanya seperti mimpi bisa dilayani bak seorang puteri.
“Lu tahu ga?” Perkataan Sally kemudian mendapat jawaban berupa gelengan kepala. Tentu saja, kalimat tersebut sudah sangat klise dalam perbincangan. Mempertanyakan sesuatu yang tidak jelas, apa pertanyaannya dan lawan bicaranya pun tak mengetahui jawaban. Umumnya terjadi dibanyak lingkungan masyarakat.
“Haish, bukan gelengan kepala. Harusnya lu jawab, ‘tentang apa?’ gitu. Ya sudah, gua Cuma mau bilang kalo gua pernah bekerja di Titan Group.”
Seolah tak mempercayai, dengan gelagapan Rini berkata, “Be‒beneran, Mbak?”
“Jangan panggil gua mbak, panggil aja Sally. Hah! Ya benar lah, memangnya muka gua keliatan bercanda apa? Gua baru berhenti kemaren sore.” tutur Sally sedikit kesal.
Rini menggelengkan kepala tidak enak. “Berhenti kenapa?” mimik penasaran tergambar jelas.
“Habis kontrak,” jawab Sally singkat, tapi dia sedikit bergumam. “Aih, gua jadi penasaran wajah Ravin kaya apa,” begitu katanya.
Semua makanan di atas nampan sudah habis, Sally kenyang. Dia kemudian memberikan kembali nampan tersebut pada Rini. “Thank’s, ya. Oh satu lagi, sebelum keluar, bisa ga lu bawain ponsel gua? Kayanya baterainya sudah lumayan terisi.”
“Baik, Mbak.” Rini melupakan kalau Sally memintanya jangan memanggil seperti itu. Namun, Sally juga bahkan tidak sadar atas ucapan Rani.
Hal penting dari semua kejadian ini hanyalah rasa ingin berbagi. Sally begitu ingin cepat-cepat menghubungi Ellena. Menceritakan nasib hoki yang baru dia alami. Tanpa ingat bahwa semalam dia sudah membuat kegaduhan.
“Hallo, El?” ucapnya memulai panggilan.
.
.
.
TbC