Chapter 8 : Segitiga Dalam Kisah Cinta

1065 Words
Ellena tengah mendengarkan sebuah cerita asik dari Sally. Saat dirinya menghela napas menjawab panggilan tersebut, terpikir sesaat bahwa perempuan itu akan meminta maaf. Karena bayangan akan kejadian semalam memang tak urung sirna. Bagaimana perempuan itu mencoba memupuk perasaan cemburu, lalu meninggalkannya sebagai benalu dalam batin. “... pokoknya uwaw! Lagian suasana hati lu kenapa sih? Sampe gak mau angkat vcall gua?” Pertanyaan polos Sally menggambarkan bahwa ingatan tentang semalam tak satu pun berbekas dalam kepala. Ellena membuang napas kasar mendengar lima kali cerita Sally berulang. Kuping serasa panas mendengar kisah perempuan itu terbangun di rumah mewah. Bukan apa-apa, sebab sukma yang ditarik ulur bayangan semalam, membuatnya membiarkan perempuan itu mengulang cerita. “Lo ... Ha ... Ellena?” Sally memastikan lawan bicara masih berada di tempat. “Sal, kerjaan rumah gua banyak. Nikmatin aja masa lu menjadi seorang puteri sendiri. Kita bahkan sudah menelepon lebih dari dua jam.” Ellena langsung menutup telepon. Kesal, begitulah perasaan Ellena saat ini. Bagaimana mungkin sahabatnya itu bisa mendapat keberuntungan saat kondisi memungkinkan seharusnya dia dijahati. Seolah-olah dewi fortune berada mengapingnya, atau mungkin dia memang memiliki ajimat untuk pegangan. “Damn!” Ellena membanting ponselnya pelan. Karena meski dia bisa membeli baru, tetap saja jiwa pengiritan membuatnya sedikit berhati-hati, agar ponsel tersebut tak sampai rusak. “Kenapa harus Sally? Kenapa dia bisa sampai nyasar ke rumah pemilik Titan Group?” Lanjut Ellena berbicara sendiri sambil mengacak-acak rambut. Beberapa saat setelah panggilan ditutup, bunyi chat mengganggu pendengaran. Ellena kemudian mendapatkan pesan gambar dari Sally. Perempuan tersebut memotret ruangan kamar yang sedang didiaminya. Tak lupa, dia juga eksis mengirimkan foto selfie. Betapa menggodanyaaa ... tidak-tidak! Itu seharusnya ekspresi jika gambar tersebut terkirim pada Danika. “Menjijikan!” Beginilah tanggapan Ellena pada pesan gambar tersebut. Kondisi ruangan mewah membuat Ellena penasaran pada pemilik perusahaan Titan Group. Dia kemudian membuka jendela pencarian internet. Didapatilah sosok menawan pada halaman Hokipedia. “Damn! Ini benar-benar kemujuran Sally. Kalau sampai dia beruntung mendapatkan lelaki ini, aku akan menjadi orang yang paling menderita.” Profile lengkap mengenai Ravin terpampang jelas. Dia adalah lelaki single berumur dua puluh delapan tahun. Mewarisi seluruh harta kekayaan menjadi pemilik perusahaan Titan Group. Sekaligus mewarisi harta paling berharga dari orang tua, yakni adiknya. Dia secara otomatis menjadi wali penanggung jawab atas, Ayara. *** “Ayara!” Seorang gadis remaja menghentak lamunan. “Cie ... jangan diliatin terus. Entar bapernya gak ketulungan. Kasihan elu,” ucapnya mengingatkan. “Gak apa-apa kok. Lagian gua juga seneng aja liat dia. Meskipun ... udah nolak.” Ayara tersenyum kecil menundukan paras karena malu. “Yang sabar, Ra.” Gadis di sampingnya menyabarkan sambil mengelus pundak. Panggil dia mawar, ini bukan cuplikan bakso boraks. Tapi memang namanya mawar kalau diartikan ke dalam bahasa Indonesia. Lebih gaulnya, dia adalah Rose. Sekali lagi, Ayara menatap pemuda itu di balik kaca jendela. Nampak kecemasan tergambar dari mimik wajah, membuatnya bertanya dalam benak, ‘siapa orang yang hendak dihubungi?’ Sehingga pemuda itu berkali-kali melakukan panggilan. “Luan kayaknya udah punya cewek, Ra. Mangkanya dia nolak elu, apa sekarang dia lagi nelpon ceweknya?” Rose seperti api kecil yang menyulut kompor agar meleduk. “DUARRR!” Seorang remaja lelaki mengagetkan seisi kelas. “Hari ini gua ulang tahun. Gua mau bikin game sebelum jam istirahat selesai. Ada sepuluh voucher tiket nonton gua sebar di berbagai lima titik area sekolah. Siapa yang menemukan bisa jalan sama pasangannya. Come on, let’s play!” Suaranya terdengar membakar semangat, tapi seisi kelas menanggapi dengan wajah datar. Krik ... krik ... Orang ini memang sering sekali mengadakan game-game konyol. Dalam satu bulan, entah berapa kali dia berulang tahun. Namun, kerap pula dia membagikan hadiah di luar kemampuan anak remaja. Itu karena dia terlahir sebagai anak tunggal dari seorang bintang film. Jadi, apa pun kemauannya selalu terpenuhi. Ayara kembali berfokus pada Luan yang masih duduk di bangku taman sekolah. Matanya kemudian mendapati kertas mencurigakan di salah satu kaki bangku tersebut. Gadis ini biasanya tidak peduli dan tak mau berpartisipasi dalam permainan konyol. Tapi ketidaksengajaan ini seolah memberinya petunjuk. Tubuh Ayara segera bangkit dari tempat duduk, wajah sumringah tak lepas menghiasi. Langkah kaki menuntun diri menjumpai keberuntungan. Dengan begitu, dia akan tahu siapa yang hendak dihubungi Luan sedari tadi. “Ra ...?” panggil Rose ikut mengangkat tubuh. Napas terengah, d**a bergetar, dan kaki gemetar. Tinggal beberapa langkah lagi Ayara akan menguping pembicaraan Luan. Namun, tiba-tiba ... “Ok, bye.” Luan mengakhiri panggilan. Seketika langkah Ayara semakin sulit untuk bergerak. Luan mendapati gadis tersebut berdiri mematung. Tak ayal, dia memicingkan mata disertai kernyitan dahi. Pandangan pemuda ini nampak dihinggapi sebuah tanya. Membuat gadis berjarak beberapa langkah dengan dirinya salah paham. ‘Dia mungkin jijik melihat wajah penuh jerawatku,” batin Ayara melirih. “M‒mau duduk?” tanya Luan gelagapan. Dia juga tidak tahu kata apa yang pantas mewakili basa-basi. Ayara menggelengkan kepala, dia langsung mengucap maksudnya. “Ada tiket nonton di bawah kaki kursi itu.” Luan pun beranjak mengangkat tubuh. Dia akhirnya mampu melihat kertas terselip. Tangan segera mengangkat kaki kursi tersebut, mendapati tiket maksud Ayara. Dengan kikuk, dia mengulurkan tanpa mengucap sepatah kata. “T‒terima kasih,” ucap Ayara tanpa mampu mengatur napas dengan baik. Dia kemudian menelan ludah untuk memberanikan diri. Sampai akhirnya melanjutkan kembali kalimat, “Mau nonton bareng?” “Hah?” Luan terkejut, Rose terkejut, dan seisi kelas yang menonton adegan mereka terkejut. Bahkan perancang skenario pun terkejut. Keterkejutan Luan sama halnya ketidakmungkinan bagi Ayara. Gadis tersebut pun tertunduk layu. Mungkin dua tiket itu bisa dia gunakan untuk menonton bersama Rose. Kaki yang sedari tadi kaku pun seolah mulai bisa diajak bekerja sama. Dia hendak melangkah pergi. “Memangnya, kapan?” Pertanyaan Luan menarik paras Ayara terangkat. Mereka berdua sama-sama gugup. “Sebenarnya kapan pun aku bisa. Ma‒maksudku, aku mau,” ungkapnya membuat daun kering yang berguguran nampak bagaikan bunga-bunga berwarna merah muda. “Oke. Kamu pegang satu tiketnya, biar tidak lupa.” Wajah Ayara berubah merah, bagaikan tomat matang yang siap dipetik. “Oke. Thank’s. Ayara.” Luan menyebut namanya, padahal mereka sama sekali belum pernah berkenalan. “Mmmh ...” Ayara mengangguk. “Sama-sama, Luan,” ungkapnya. Mereka memang belum pernah berkenalan, tapi ada sebuah perkenalan terindah dalam masa remaja. Yakni, ketika dua anak remaja tengah jatuh hati, tiba-tiba mereka akan menjadi detektif dadakan. Mengetahui nama hingga seluk beluk keseharian si doi. Tanpa perkenalan, mereka sudah mengetahui masing-masing diantaranya. Jika memang mereka belum pernah berkenalan, lalu bagaimana Luan bisa menolak perasaan Ayara? Rupa-rupanya, api kecil yang sedari tadi mencoba membuat kompor meleduk, pada akhirnya hanya membakar diri sendiri. Sepertinya teori konspirasi bukan hanya tentang new word order. Cinta mungkin salah satu bagian dari konspirasi juga. Itulah sebabnya dalam urusan percintaan selalu ada konflik segitiga, atau cinta segitiga. . . . TbC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD