Penolakan adalah hal terberat untuk seseorang. Membuat sebuah tanya tentang apa kekurangan yang ada. Mungkinkah? Mungkinkah ... wajah berjerawat itu? sebuah masa pubertas dari seorang gadis. Ketika hormon memuncak membuat parasnya tak seelok gadis lain.
Di hadapan sebuah cermin dia melihat sosok tiada arti. Bahkan setetes air matanya serasa tak berharga sedikit pun. Rumah bak istana kerajaan seakan menjadi pertukaran setara mengenai kebahagiaannya. Sedangkan wajah tak rupawan bagai sebuah sihir kutukan.
Kemudian atmosfer keheningan mengendapkan sunyi semakin dalam. Hatinya jelas tak kosong, hanya saja dipenuhi dengan segala suasana kepedihan. Bila saja dia tahu bahwa paras begitu penting untuk insan dalam urusan percintaan, maka sedini mungkin dia merawat diri.
Lekaslah kaki kemudian melangkah tanpa sebuah perintah. Sebab, dia tahu arah menuju pintu ke luar. Namun, setiap sudut ruangan ini penuh oleh para pelayan. Sehingga langkahnya kemudian terhambat oleh tanya dari salah satunya.
“Non? Ada yang bisa saya bantu?”
Warna ranum dari mata sembap menghiasi paras pucatnya. Dia kemudian menolehkan pandangan seraya berkata, “Saya ingin ke luar, berjalan kaki. Tolong jangan bilang hal ini pada Kak Ravin!”
“Tapi Non, ini sudah malam,” ucap pelayan tersebut mengkhawatirkan.
“Tidak akan lama, saya juga tidak akan pergi jauh-jauh.” Gadis ini kembali melangkahkan kaki usai mengatakan hal tersebut. Namun, bagaimanapun juga pelayan tersebut tetap khawatir. Apalagi melihat sorot mata kosong, seolah menyiratkan jika dia tengah kerasukan.
Tanpa sebuah alas kaki dan gaun tidur berwarna putih, gadis ini mampu membuat pundak bergidik ngeri. Ditambah dengan rambut panjang menjuntai yang ia biarkan terurai. Lalu, “Jangan bilang hal ini pada Kak Ravin! Atau aku akan membuatmu kehilangan sebuah pekerjaan. Katakan juga pada pelayan lain yang melihatnya.” Sebuah kalimat terucap seraya kaki berhenti melangkah, akan tetapi wajah sama sekali tak menoleh.
“Ba ... baik, Non.” Pelayan itu membungkukkan badan.
Beberapa pelayan lain juga menanyakan hal sama, tapi tentu gadis ini tak menjawab. Biar saja penjelasan diberikan oleh pelayan tadi. Dia hanya perlu melangkahkan kaki menuju pintu ke luar dan melewati gerbang.
Sebenarnya, dia bukan mendapatkan kehancuran pada hati atas penolakan pemuda yang dicintai. Namun, kehancuran akan asa mendapatkan sebuah kebahagiaan. Sejak kecil, kehidupan memang layaknya seorang puteri-puteri dongeng yang diimpikan banyak orang. Hanya saja, dalam setiap dongeng ada satu kata musti dicermati lebih dalam.
... cerita ini hanya fiksi belaka.
Fiksi, ya! Seperti itu kiranya. Segala suasana nampak begitu sempurna, kebahagiaan serta kelengkapan hidup meski kedua orang tua telah meninggal dunia. Ditambah dengan seorang Kakak yang mempunyai paras tampan juga sikap perhatian. Namun, apa yang nampak berbeda dengan rasa sebenarnya.
Malam temaram kemudian membawa langkah gadis tersebut ke luar. Di bawah atap itu dua orang saudara hidup berdampingan tanpa sebuah keharmonisan. Gadis ini tak ubahnya peliharaan yang terpaksa dirawat oleh sang kakak, begitu pikirnya selama ini. Sebab perhatiannya hanya sebatas menanyakan makan dan memberikan segala keperluan.
Lelaki bernama Ravin itu sama sekali tidak pernah bertanya mengenai perasaannya. Apakah adiknya kesepian, bahagia, takut? Bahkan ketika tengah patah hati seperti ini, gadis itu tidak memiliki seorang pun untuk berbagi rasa, begitu dingin seperti suasana malam setelah hujan ini. Jarang sekali ada kehangatan tercipta dari semacam obrolan kecil.
Pandangan sempitnya tentang dunia membawa diri ke sebuah jembatan. Di bawahnya air sungai begitu deras sebab hujan tadi sore. Seraya sebuah tangisan pecah, terdengar suara seorang perempuan meracau. Sang gadis kemudian beralih ke sumber suara dan mendapati seorang perempuan mabuk. Tentu saja dia terkejut dan yang lebih mencengangkan ....
“Ayo kita mati sama-sama,” katanya.
***
Embusan angin dingin kemudian membawa kedua pandangan terjatuh saling menatap. Paras mereka terlihat sama, seolah diri hanya sedang bercermin. Mereka urung melakukan aksi untuk mengakhiri hidup. Sally tersenyum kecil seolah bertemu dengan sosoknya di masa lalu.
“Lu bukan hantu, tapi bukan juga manusia. Dari tadi lu cuma diem aja, apa lu sosok dari masa lalu gua? Hah ...” Sally mengembuskan napas seraya berkata-kata. Dia kemudian membawa langkah menuju tepian pembatas jembatan.
Gadis yang sedari ketakutan melangkah mundur secara perlahan. Mungkin malam bukan waktu tepat untuknya mengakhiri hidup. Namun, sebelum langkah semakin menjauh, terdengar kembali sebuah tanya dari Sally.
“Kenapa lu mau bunuh diri?” tanpa membalikkan tubuh dan tetap berfokus pada aliran sungai deras. Sekarang dia memperlakukan gadis itu layaknya orang lain kembali dengan menanyakan sebuah alasan. Orang mabuk memang aneh-aneh saja tingkahnya.
Sally memperkirakan kemungkinan hidup atau mati meskipun keadaannya mabuk. Dibandingkan dengan kematian, hal mengerikan dari dunia ini ada lah kehilangan asa. Sebab ketika asa telah sirna, maka sejatinya kematian sudah lama merenggut hidupnya.
“Jika kita melompat sama-sama ke sungai ini, apa kita akan mati bersama? Bagaimana kalau kita berbagi cerita saja mengenai masalah kita.” Sally memberikan sebuah tawaran menarik.
Berbagi cerita? Orang bilang kondisi seseorang ketika mabuk adalah kejujuran. Apakah tidak apa baginya membagi cerita pada orang asing seperti ini. Langkah kaki sang gadis tiba-tiba terasa berat untuk melangkah.
“Kakak sendiri, kenapa ingin bunuh diri?” tanya sang gadis terbata-bata.
Gelak tawa lepas dari bibir Sally, konyol memang mengatakan alasan sebenarnya. Kemudian parasnya menatap langit hitam tanpa riasan bintang bahkan cahaya rembulan. Langit sudah usai menangis, akan tetapi tetesan kesedihan kemudian luruh dari pelupuk mata.
“Akhirnya lu mau ngomong setelah gua tawarin berbagi cerita. Gua terharuuu ...” Sally melepaskan suara panjang disertai tangis sesenggukkan.
Melihat sikap Sally yang berubah-ubah, sang gadis menyesali tindakan sesaat lalu. Tubuhnya bergidik membawa langkah kembali mundur menjauh. Namun, perempuan yang sedari tadi memunggunginya kemudian berbalik badan.
“Eh, siapa nama lu?” Tiba-tiba paras Sally berubah serius, meski pipinya telah dihujani air mata kesedihan.
Mata tajam, pipi kemerahan, dan bibir tak mengembangkan senyum membuat gadis di hadapannya merasa terancam. Langkah pelan sedari tadi sesaat terhenti. Hingga kemudian dia berlari tanpa aba-aba.
“Hei!” teriak Sally mengejar dengan langkah sedikit cepat. Karena pengaruh alkohol membuatnya tak bisa berlari. Bahkan langkah tersebut juga diiringi bayangan kabur sehingga tubuhnya sempoyongan.
Kedua orang tersebut sama-sama menapaki tanah tanpa alas kaki. Sehingga membuat langkah sang gadis terhambat karena kesakitan. Sedangkan indra perasa Sally seolah lenyap. Itulah sebabnya jarak mereka tak terlalu jauh.
Sally masih terus meneriaki gadis yang mencoba menghindar darinya. Hingga gadis tersebut sampai di depan rumah besarnya.
“Cepat tutup gerbangnya! Ada wanita gila mengikuti saya,” ucap sang gadis pada seorang penjaga.
Sementara kaki tetap melangkah, nampak Ravin sudah berada di depan pintu menyambut kedatangan adiknya. Di balik parasnya terpendam sebuah amarah besar. Untuk pertama kalinya dia memasang raut seperti itu. Namun, teriakan Sally ketika sampai di depan gerbang kemudian menarik pandangannya.
“Woi! Kenapa lu lari? Gua cuma pengen tahu siapa nama lu. Dan ...” Sesaat perkataan Sally tersenggal. Tubuhnya serasa lemas hingga memeluk gerbang mencoba untuk tetap bertahan. Dia kemudian melanjutkan kalimat terakhirnya, “Alasan lu pengen bunuh diri.” Pandangan pun seketika sirna menjadi kegelapan.
.
.
.
TbC