TENTANG AKU
Tarikan napas dalam-dalam, membiarkan udara yang sejuk pagi ini masuk ke rongga pernapasan ku. Kulihat jam sudah menunjukan pukul setengah tujuh dini hari. Aku yang menyadari kalau ini bukanlah hari libur, langsung membangunkan tubuh ku dan bergegas ke luar kamar. Bukan untuk mandi, melainkan untuk menyegarkan kerongkongan yang sedari tadi terasa kering.
"Selamat pagi Bunda," sapa ku sembari mengikat rambut secara asal.
"Ca, Bunda udah siapin nasi goreng buat sarapan kamu, nanti dimakan yah!" kata Bunda yang saat itu sedang merapikan jilbabnya di depan cermin gantung yang tak jauh dari tempat aku berdiri.
Sering kali Bunda biasa memanggilku dengan sebutan Ca, terkadang juga Caca. Memang tidak nyambung dengan nama Claudia Ilona, yang dipanggil Caca. Tapi itulah kenyataannya. Mungkin itu sebutan sayang keluarga untukku dari kecil, atau bisa saja sebutan itu lebih simpel dari nama aslinya, dan aku sudah terbiasa dengan sebutan itu sampai sekarang ini. Beda halnya dengan sahabat-sahabatku yang terbiasa memanggilnya dengan sebutan, Claudia.
"Pagi-pagi gini Bunda udah rapi saja, memangnya mau kemana?" tanyaku heran karena tidak biasanya bunda sudah berpakaian serapi ini di pagi hari.
"Bunda itu mau jemput adek kamu si Rara. Lagian Bunda tuh khawatir banget sama dia, udah hamil besar kok masih di tinggal ke luar kota sama suaminya. Gimana kalo dia tiba-tiba kontraksi, siapa coba yang mau ngurusin dan mau tanggung jawab.
Apalagi si Rara itu punya anak kecil yang harus di urus dan di perhatikan juga, mana bisa seperti itu." Kata Bunda yang membuat aku menarik napas berat, dan mencoba tersenyum saat mendengarnya.
Rara yang tidak lain Raina, anak kedua bunda. Dan anak yang ketiga Mela. Kami itu tiga bersaudara, dan Ayah sudah hampir tiga tahun lalu meninggal dunia, jadi bunda hidup dari
hasil pensiunan Ayah. Meski terkadang anak-anaknya juga membantu memenuhi kebutuhan Bunda. Sedangkan Mela tinggal bersama suaminya di Solo. Dia baru menikah dua bulan lalu.
Oh iya, aku belum bercerita tentang asal usulku. Jadi bunda sama ayah itu asli orang Bandung. Kota yang biasa dengan julukan kota kembang.
Aku dan kedua adikku dibesarkan di kota kelahiran mereka. Tapi sudah dua tahun ini aku menetap di ibu kota Jakarta. Kota tempat aku mengais rezeki. Sebulan sekali aku pulang ke bandung, untuk bertemu bunda. Sedangkan Raina memilih tinggal di bandung bersama keluarganya, karena memang suaminya juga orang bandung. Jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat tinggal bunda, kira-kira dua puluh lima menit dari sini.
"Kamu juga, bukannya nikah lagi, masa iya mau hidup sendirian terus. Inget umur kamu sudah berapa, Ca. Lihat adik kamu itu umurnya masih muda sudah mau punya dua anak. Terus kamu mau sampai kapan sendirian?" tanya bunda seakan mendelik ke arahku. " Bunda juga pengen punya cucu dari kamu."
Perkataan Bunda mampu membuatku kembali terdiam.
Selalu saja Bunda membahas masalah yang sangat teramat sensitif untukku. Bukan hal mudah untuk memulai kembali sebuah pernikahan yang pernah gagal sebelumnya.
Butuh pemikiran yang matang untuk kembali memulai sebuah ikatan suci, karena aku tidak mau kalau pernikahan yang aku jalani nanti gagal untuk kedua kalinya.
Lagi dan lagi Bunda selalu saja membandingkan diriku dengan Raina. Anak kesayangan bunda plus kebanggaan Bunda.
Hidup aku memang tidak berjalan mulus seperti kehidupan Raina, tapi tidak seharusnya juga Bunda membandingkan anak satu dan lainnya.
Andai Bunda tau betapa sakitnya aku ketika kehidupan ku selalu menjadi pusat perbandingan dengan anak yang lain yang memang kehidupannya berjalan mulus.
Raina memang wanita yang beruntung, di usianya yang masih muda sudah di pinang oleh lelaki yang dia sukai, dan cintai. Bahkan kehidupannya terbilang mendekati sempurna menurutku. Mempunyai
suami baik, mapan, dan juga dianugerahi anak lelaki yang kini berusia dua tahun dan satu lagi anak perempuan yang akan lahir ke dunia ini.
Terkadang aku juga merasa iri dengan Kehidupan kedua adikku dan sahabat-sahabat ku. Mereka itu bisa menikah dengan orang yang mereka cinta, sedangkan kehidupan ku tidak seindah cerita dalam dongeng.
"Ya sudah, kalau begitu bunda pergi dulu, dan jangan lupa nanti pintu di kunci!" bunda berpamitan.
"Bund!" panggil ku mencoba menghentikan langkah bunda yang hendak melangkah ke luar. Dan saat itu juga Bunda kembali menoleh ke arahku.
"Mau di anter Caca, gak?" tawarku tak yakin.
Bunda tersenyum kecil dan menggelengkan kepalanya. "Nggak usah, Ca. Yang ada kamu telat kalau harus antar Bunda," katanya yang membuat aku mengangguk pelan.
Belum sempat bunda melangkah jauh, tiba-tiba ponsel ku berdering. Dan tak disangka Raina lah yang menghubungiku.
"Bun. Rara telepon," kataku yang membuat Bunda kembali berjalan ke tempat di mana aku berdiri.
"Coba angkat," pinta bunda yang aku balas anggukkan singkat, lalu men-slide layar ponselku dan men-loudspeakernya agar terdengar Bunda.
"Hallo ka Caca. Ka Caca cepetan kesini sama bunda. Rara kayaknya mau lahiran ka. Cepetan ka...!" Seru Raina yang membuatku dan Bunda terkejut saat mendengarnya.
Aku yang saat itu panik langsung berlari mengambil kunci mobil yang tergantung di pintu kamar, itu pun tanpa berganti baju terlebih dahulu. Padahal saat itu aku masih menggunakan piyama dan sandal khusus kamar.
"Ra, kamu jangan panik yah. Bunda sama ka Caca lagi mau jalan kesana," kata bunda mencoba menenangkan Raina yang masih panik karena air ketubannya sudah ke luar lebih dulu.
Karena tidak mau terjadi apa-apa pada Raina dan anak dalam kandungannya, bunda menyuruh Raina untuk segera memesan taxi dan pergi ke rumah sakit lebih dulu. "Kita ketemuan di rumah sakit yah, Nak," kata bunda.
Untungnya jalanan saat itu belum terlalu macet, jadi mobil yang aku kendarai bisa melaju sedikit cepat.
Meski aku belum pernah merasakan hamil dan melahirkan itu seperti apa, tapi saat mendengar Raina panik, aku juga ikut panik. Yah meski aku sering merasa iri pada Raina, yang namanya adik tetap saja adik. Orang yang kita sayangi.
Lebih dari tiga puluh menit jarak dari rumah ke rumah sakit, kami yang saat itu baru turun dari mobil langsung disambut teriakan Keynan, yang tak lain anak Raina. Di situ aku melihat Keynan di temani Mba Eni, asisten rumah tangga Raina.
"Bu, ditunggu sama ibunya Keynan di ruang persalinan," kata Mbak Eni membuat Bunda langsung berpamitan dan menitipkan Keynan padaku.
Saat itu juga bunda bergegas pergi untuk menghampiri Raina.
Di tengah kepanikan, Aku baru menyadari kalau ternyata hari ini ada rapat penting dan tidak bisa ditinggalkan.
"Sayang, maafin Bunda Caca yah gak bisa nemenin Key lama-lama. Soalnya bunda harus berangkat kerja," kataku yang di jawab anggukan Keynan sebagai tanda mengerti.
"Iya Bunda, Caca," katanya sembari tersenyum. Keynan memang di biasakan memanggil ku dengan sebutan Bunda oleh Raina.
"Mba, aku titip Keynan. Sampaikan salam dan maaf ku sama Raina." kataku pada Mba Eni.
"Sampai ketemu minggu depan jagoan tampan!" Seruku sambil tos tangan pada Keynan.