Bab 3. Perasaan Serba Salah

1173 Words
PERASAAN SERBA SALAH Jujur saja kehadiran Mas Hanif saat ini membuatku sedikit kebingungan harus berbuat apa. Karena pada dasarnya namanya mantan tetap saja mantan tidak mungkin jadi adik dan kakak. Dan pastinya memiliki batasan yang tidak bisa diungkapkan hanya dengan kata-kata. Mau cinta atau tidak tetap saja namanya grogi itu sudah pasti ada. Contohnya sekarang ini, aku dan Mas Hanif masih jalan bersebelahan saat kami turun dari kereta. Mau lari takut di sangka pencuri, mau tetap diam juga tidak enak. Alhasil aku mencoba sedikit netral. Aku yang sedari tadi bingung harus berbuat apa, akhirnya mencoba untuk mengakhiri kebersamaan kami agar tidak terlihat seperti pasangan pada umumnya. "Mas. Aku pulang duluan yah," kataku berpamitan untuk menghilangkan rasa canggung. Mas hanif tersenyum kecil dan mengangguk singkat. "Akhirnya ...." batinku merasa lega. Setelah berpamitan aku pun yang langsung berjalan meninggalkan Mas Hanif seorang diri. Lalu setelahnya menghampiri Taksi yang sudah berjejer rapi di pinggir jalan. Namun saat aku hendak masuk ke dalam Taksi, ku dengar Mas Hanif kembali memanggil namaku dengan begitu lantang. "Ca ...! Panggil Mas Hanif yang membuatku menoleh ke arahnya. "Iya, Mas," jawab ku tetap ramah. Mas Hanif langsung menghampiriku yang berada beberapa langkah dari tempatnya berdiri. "Ca ..., apa tidak sebaiknya kamu bareng sama Mas," ucapnya memberi tawaran. Aku pun menggelengkan kepala dan tersenyum tipis. "Kita beda arah tujuan, Mas. Lagian aku juga mau ke rumah Bunda dulu. Baru setelah itu ke rumah Rara. Memangnya Mas gak istirahat di Hotel dulu, yah," kataku. "Mas gak pergi ke Hotel, kok. Mas mau langsung ke rumah Raina dan Adit. Jadi gak harus menginap di hotel juga, kan? Lagi pula nanti malam udah balik lagi ke Cibubur," kata Mas Hanif yang ku jawab dhaman sebagai tanda mengerti akan ucapannya. "Ya udah kalo begitu Mas bareng kamu aja, gimana?" Belum saja aku menjawabnya, Mas Hanif kembali bicara. "Sekalian Mas pengen banget ketemu sama Bunda. Lagian Mas udah lama juga gak ketemu bunda. Mas kangen sama pepes ikan buatannya." Ucapan Mas Hanif mampu membuatku sedikit terkejut dan menelan ludah. "Kenapa, Ca. Gak boleh yah?" Pertanyaan Mas Hanif jujur saja membuatku bingung harus menjawab apa. Aku takut. Takut akan omongan tetangga saat melihat kebersamaan kami yang tidak disengaja ini. Karena aku tau kebersamaan kami akan berakibat buruk dan menjadi bahan gosip tetangga nantinya. Kadang orang lain itu hanya bisa membicarakan apa yang mereka lihat tanpa mencari tahu terlebih dahulu fakta yang sebenarnya seperti apa. Andai saja Mas Hanif tau apa yang aku pikirkan saat ini. Mungkin aku tidak perlu mencari-cari alasan untuk menghindarinya. "Ca ..., gimana?" Mas Hanif yang kembali bertanya sontak membuat lamunan ku terpecah dan menjawab, Ya. Karena saking terkejutnya. "Ya udah kalo gitu, tunggu apa lagi, ayo!" ajaknya yang saat itu langsung membukakan pintu Taksi. Aku pun sedikit meringis dan merekatkan kedua mata bersamaan, sebelum akhirnya menghela napas pasrah. Tentunya tanpa sepengetahuan dia. Sungguh, yang aku maksud tadi bukan ucapan, iya untuk persetujuan. Tapi, iya untuk panggilannya padaku. "Iya, Mas," Jawabku ragu, dan langsung menaiki mobil. Hampir setengah perjalanan aku dan Mas Hanif berdiam diri tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Aku bingung harus memulai obrolan kami dari mana, lagi. Keadaan dalam mobil saat itu terasa hening dan canggung bagiku. Belum lagi sopir taksi melirik ke arah belakang seperti merasakan keanehan antara kami berdua. Mungkin supir tersebut mengira kami pasangan kekasih yang sedang bertengkar. Aku yang merasa bingung, akhirnya memilih untuk menatap pemandangan dari balik kaca mobil, entah apa yang Mas Hanif lakukan, sepertinya dia juga merasakan kebingungan seperti yang aku rasa. Tak lama ku mendengar Mas Hanif yang seperti menahan tawa, aku yang penasaran akhirnya menoleh ke arahnya. Tak ku sangka yang membuat Mas Hanif tertawa yaitu saat melihat video Keynan dan adik perempuannya. "Lucu deh, Ca," kata mas Hanif memperlihatkan video yang dia tonton. "Aku udah liat, Mas. Emang Key anaknya lucu banget," jawabku yang membuat Mas Hanif menatap ke arahku dan tersenyum. Mas Hanif memang lelaki yang murah senyum, bahkan senyumnya memiliki ciri Khas yang mungkin orang lain tidak bisa lupakan. Dan dia juga orang yang sangat menyukai anak kecil. Dia pernah bilang padaku, kalau suatu saat ingin memiliki banyak anak yang lucu-lucu. Selain itu dia juga lelaki yang baik, tapi semakin lama aku mengenalnya semakin besar juga rasa bersalah ku pada dirinya, itu karena setiap hariku hanya diliputi rasa bersalah padanya. Bagaimana tidak setiap hari aku harus membohongi diriku sendiri dan dirinya akan perasaanku. Bagiku setiap saat adalah keterpura-puraan. Pura-pura mencintai Mas Hanif, namun kenyataannya berbeda. Selama pernikahan yang kami jalani, aku tidak bisa mencintai dirinya sama sekali. Bagiku Mas Hanif itu lelaki yang teramat baik, dia juga penyabar orangnya. Dan dia berhak bahagia. Tapi bahagianya dia bukan dengan ku. Aku ingin Mas Hanif mendapatkan istri yang tepat, yang benar-benar sayang sama dia, bukan aku. "Ca ..!" Panggilnya, yang membuatku langsung menenggelamkan wajahku karena ketahuan menatapnya. "Iii iya, Mas," jawabku kaku. "Caca dekat sama orang mana sekarang?" tanya Mas Hanif yang membuatku semakin bingung. "Maksud, Mas?" "Maksudnya teman spesial." Aku pun tersenyum seraya menggelengkan kepala. "Caca masih pengen sendiri, Mas. Caca gak mau kalo harus nyakitin orang lagi," kataku. Mas Hanif terdiam, seakan mencerna apa yang aku ucapkan. "Lalu mas sendiri?" tanyaku yang membuat dia menggelengkan kepalanya dengan balutan senyum yang tipis. "Caca gak percaya, masa cowok mapan, tampan kaya Mas Hanif belum punya," kataku membuat dia malah mengulum senyum. "Kalo memang aku terlihat seperti lelaki yang kamu pikirkan, sudah pasti cewek-cewek pada antri, Ca. Buktinya satu cewek aja gak mau sama aku." Perkataan Mas Hanif yang membuat ku terdiam malu karena merasa tersindir akan ucapannya. Entah apa yang ada di pikirannya tentang sosok diriku di matanya. Karena saat kami masih menyandang status suami istri. Sering kali aku memintanya untuk menceraikan ku. Itu juga dengan alasan yang membuat dia tidak mengerti. Sejujurnya saat aku menikah dengan Mas Hanif ingin sekali rasanya aku melupakan masa laluku. Namun ternyata Mas Hanif selalu sibuk dengan pekerjaannya dan pergi ke luar kota tanpa memperhatikan perasaanku ku seperti apa saat itu. Semakin hari sikap Mas Hanif semakin nyata dan terlihat olehku, selain sibuk dengan pekerjaannya dia juga tipe orang yang tidak peka akan kemauan pasangannya, dan sering kali bersikap dingin dan acuh. Tanpa mau tau apa yang istrinya mau dan suka. Bahkan saat jarak kami berdua berjauhan, kami berdua jarang berkomunikasi. Mungkin itu termasuk sebagian alasan ku ingin berpisah. Tapi aku sendiri tidak pernah mengungkapkannya pada Mas Hanif atas apa yang aku mau dan inginkan, bahkan ada sikapnya yang aku tidak suka. Tapi biarkan saja dia yang menilai ku jelek di masa lalu. "Mas, jangan bilang begitu, Mas itu cowok yang baik banget. Caca yang gak baik, dan gak bisa jadi istri yang sempurna buat, Mas saat itu," kataku. "Mbak, Mas. Kita sudah memasuki alamat yang dituju. Sekarang saya harus kemana lagi," kata sopir taksi yang menghentikan perdebatan antara aku dan Mas Hanif. "Masuk aja, Pak. Terus belok kanan," kataku yang di jawab anggukan oleh sang sopir. Selang beberapa menit akhirnya taksi yang aku tumpangi pun sampai depan rumah bunda. Sejujurnya kehadiran Mas Hanif bersamaku saat ini membuatku takut, takut akan pertanyaan-pertanyaan yang akan bunda lontarkan kepadaku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD