Sepertinya gak ada salahnya aku coba saran dari si rambut gulali Nana untuk menarik perhatian Sita lagi. Menghujani gadis manis itu dengan ribuan perhatian, lalu tinggalkan. Eh... bukan beneran ditinggalin, tapi maksudnya kasih jeda sedikit dan buat Sita cemburu. Tapi, bikin cemburunya ini lho yang bikin pusing, ya kali si Nana nyuruh aku minta bantuan Ailsa, adik Nana yang nomor tiga yang kini sedang kuliaH di salah satu perguruan tinggi ternama di Surabaya. Ya.. memang sih Sita belum pernah ketemu sama Ailsa, tapi kan mencurigakan ya, apalagi Ailsa mirip banget smaa mbak Ami, kakak sulung Nana. Ahh.. entahlah, gak ada salahnya juga dicoba. Tapi kapan-kapan aja, kalau SIta beneran susah takluk.
"Yakin ini aja Cal?" suara budhe Dewi dari arah dapur besar memecah gelembung lamunanku.
"Eeh ... sudah ya budhe?" aku bangkit lantas menyusulnya yang masih berada diambang pintu penghubung antara dapur bersih dengan dapur besar yang hampir setiap hari sibuk memasak pesanan catering.
"Bayar lho ya?"
Aku tau budhe Dewi hanya menggoda. Lagian mana mungkin beliau tega menyuruhku membayar masakan yang berasal langsung dari tangan ajaibnya.
"Bayar pake menantu boleh ya budhe?" mendengar jawaban ku, budhe Dewi sontak terbahak dan memukuli pundak ku. "Iih.. budhe gak yakin banget sih?"
"Bukannya gak yakin Cal, cuma ya ... tapi piye ya? kamu terlalu grusa-grusu gitu Cal, iya sih udah kenal berbulan-bulan sama Sita. Tapi kan cewek tuh beda-beda, kamu main gass aja, sampe bikin dia ngambek."
"Wes tah budhe, pokoknya yakin aja sama aku ya. Doian usaha kali ini berhasil, biar Bu Sita luluh gak ngambek lagi." aku mengepalkan tangan meninju udara setelah mengambil kotak makanan yang sudah dimasukkan budhe ke dalam paper bag dengan logo cateringnya.
Terakhir kali membawa Sita ke acara tujuh bulanan Nana dua hari lalu, akubmasih masih ingat benar kalau dia menyukai menu kepiting saus mangga buatan budhe. Karena itu pagi ini aku sengaja mampir ke rumah budhe untuk meminta satu kotak kepiting masakannya yang akan aku bawa ke rumah Sita.
"Ya sudah sana berangkat ke rumah Sita, rayu sampai dapet. Buktikan ke budhe kalau kamu bisa jadikan Sita menantu beneran." budhe mengibaskan salah satu tangannya mengusirku.
"Bye budhe cantik. Assalamualaikum" pamitku lantas mengecup kedua pipi perempuan paruh baya itu hingga beliau terkikik geli. Budhe memang nggak punya anak lelaki. Kelima anaknya perempuan semua, jadi gak heran kalau ibu susuku itu sangat sayang sekali padaku yang soleh dan berbakti ini.
"Wa'alaikumsalam. Hati-hati bawa mobilnya." pekik budhe dari belakang punggungku. Aku hanya mengangkat ibu jari sebagai tanda mengiyakan pintanya.
Sampai di rumah besar Sita aku berpapasan lagi dengan papa Rio, ayah Sita. Pasti beliau akan berangkat ke klinik, karena beliau memang dokter spesialis anak di sana.
"Jemput Sita?" tanya papa Rio setelah aku menunduk mengecup punggung tangannya.
Aku mengernyitkan kening sesaat. Menjemput ke mana maksudnya? Aku sengaja mampir untuk memberi kepiting saus mangga buatan budhe tadi. Bukan untuk menjemputnya kemana-mana. Tapi kalaupun Sita hendak pergi ke suatu tempat, aku siap mengantar kemanapun gadis itu kehendaki.
"Hmm.. ya gitu deh Pa. Sita ada kan?" tanyaku berbinar.
"Ada masih sarapan sama Syauki, masuk aja. Papa berangkat dulu ya." pamit ayah Sita setelah menepuk bahuku pelan. Aku mengangguk sambil mengembangkan senyum lebar pada calon mertuaku itu. Eh.. boleh kan berharap dari sekarang sebelum nanti kejadian beneran.
Melanjutkan langkah dengan senyum senyum ceria, aku lansung menuju pintu utama rumah Sita yang terbuka lebar. Ada Bi Ninik- asisten rumah tangga di sini yang sedang menyiram tanaman hias di sekitaran teras. Saat melihatku mendekat, dia hanya mengangguk sambil menyapa singkat.
"Mau sarapan juga mas Ical?"
Ckk.. kayak gak ada pertanyaan lain aja nih si bibi. Iya sih, dulu aku sering banget ikut sarapan di sini, padahal di rumah juga sudah sarapan. Tapi kalau ditawari ya gak boleh nolak kan? Itu dulu.. waktu aku dan Shila masih sering menghabiskan waktu bersama di awal tahun perkuliahan. Tapi sekarang sudah sangat jarang aku lakukan, tapi kalau kali ini harus sarapan sama Sita. Ya otomatis mau lah.
"Udah sarapan sih bi, tapi kalau ditawari lagi boleh lah." jawabku basa-basi.
"Monggo mas, mumpung mbak Sita sama mas Syauki lagi sarapan juga. Bisa barengan." sahut bi Ninik sopan.
Aku hanya mengangkat salah satu ibu jari sebagai jawaban. Kemudia melesat masuk melewatj ruang tamu, ruang keluarga dan berakhir di ruang makan. Ternyata benar di sana masih ada Sita dan adik bungsunya yang belum selesai dengan santapan paginya.
"Morning everyone." sapaku membuat si sulung dan si bungsu menoleh bersamaan ke arahku.
Syauki yang sudah mengenalku lama langsung mengangkat kepalan tangannya untuk toss denganku. Sedangkan Sita, hanya melirik sekilas lantas kembali fokus pada piring yang berisi oat meal dan potongan buah strawberry.
"Morning mas Ical." sahut Syauki ramah. "Tumben udah di sini aja pagi-pagi."
“Bawain ini dong.” jawabku sembari mengangkat paper bag di tangan kanan saat mendekati kedua bersaudara itu. “Tapi buat Sita aja, kamu udah hampir selesai kan makannya.” mataku melirik sekilas ke arah piring yang ada di depan Syauki.
“Pelitnya, astaga.” desis Syauki mengerucutkan bibir. Ekspresi yang berkebalikan dengan apa yang ditampilkan sang kakak- Sita, gadis cantik itu menunduk namun menyunggingkan senyum tipis, tipis sekali. Tapi aku yakin dia tersenyum saat mendengar kalimatku barusan.
Tanpa banyak bicara, aku langsung menarik kursi di sebelah Sita dan duduk tepat di samping gadis cantikku yang pagi ini tampil segar dengan rambut dikuncir tinggi, juga dengan poni model baru yang membuat wajahnya semakin bulat imut menggemaskan. Arrgghh… jadi pengen nguyel-nguyel, sayang aja doi masih mode ngambek dan jual mahal.
“Sita..” panggilku membuatnya mengangkat pandangan dan memaku tatapan padaku.
“Aku sengaja pagi-pagi banget ke rumah budhe Dewi buat bawain kamu Kepiting saus mentega. Aku masih ingat waktu di acara Nana kemarin kamu bilang suka banget sama masakan budhe yang ini kan?” sambungku masih sibuk mengeluarkan kotak tupperware dari paper bag. Membuka tutupnya perlahan dan mengangsurkan menu special penakluk Sita ke tepian piringnya.
“Whoaaah … aromanya mas, bagi dikit napa?” ini suara Syauki yang lagi-lagi kepo dengan makanan yang kubawa. Pemuda dengan rambut cepak itu bahkan sampai bangkit dari kursinya untuk sekedar mengintip kotak makanan yang kubawakan untuk sang kakak.
“Kamu mau dek?” Sita bersuara, menanggapi adiknya. Bukan menanggapiku.
Syauki spontan mengangguk cepat, mana mungkin ia bisa menolak masakan budhe yang sudah terkenal seantero Malang ini. “Mau mbak mau, nambah nasi deh aku.”
“Ambil gih.” sahut Sita datar seraya mengendikkan dagu, namun aku tau ekor matanya sengaja melirikku. Penasaran dengan tanggapanku sepertinya.
“Kamu mau Ki?” aku ikut bertanya dengan nada pelan, setelah mengambil napas panjang menahan perasaan gemas.
“Mau lah mas, enak gitu deh kayaknya.”
Tanganku bergerak ke tengah meja untuk menjangkau sendok, lantas menyendok sebagian kepiting dan ku arahkan ke piring Syauki.
“Niih, segini aja cukup kan? Gak boleh banyak-banyak nanti kamu ngantuk pas kuliah kalau kekenyangan.” seruku membuat seringai kecil di sudut bibir Sita.
“Nah, kalau yang ini khusus Sitaku tercinta.” aku kembali duduk dan mendekatkan kotak berisi kepiting di sebelah mangkuk Sita yang tersisa setengahnya saja. “Ta, makan lagi ya? mana cukup sarapa pake oat meal sama teh mint aja.”
Bola mata Sita bergerak-gerak bergantian menatapku netraku lantas beralih menatap kotak yang kubawa dengan tatapan kelaparan. Aku yakin seribu persen, Sita tergiur dengan masakan ini, karena memang ini menu favoritnya. Hatiku makin bergemuruh riang ketika Sita mulai menarik wadah yang ku dekatkan.
“Boleh deh dikit aja.”
“Banyak juga nggak apa-apa kok, aman. Kalau kurang, besok aku bawain lagi, aku bisa paksa budhe masak kepiting lagi.” sahutku dengan senyum tiga jari.
“Jangan, kalau aku kekenyangan bisa ngantuk kayak Syauki.” jawab Sita menirukan kalimatku tadi. Pintarnya gadis ini membuatku senyam-senyum dengan tingkahnya.
“Kalau kamu ngantuk, aku yang bakal bangunin kamu.” jawabku membuat Sita memutar bola matanya jengah.
“Nggak perlu.” ucap Sita datar lantas mulai menyendok potongan kepiting dari dalam wadah. Satu sendok, dua sendok, tiga sendok. Tak lupa dia tuangkan juga saus mentega yang masih ada di wadah.
Tuuh kan benar tebakanku. Sita kalau sudah ketemu sama makanan favoritnya pasti mudah luluh. Sedetik kemudian aku hanya menopang dagu dengan satu tangan sambil memandangi Sita yang menyantap sarapan keduanya pagi ini. Tanpa nasi, mungkin memang itu usaha Sita untuk menjaga berat badan selama ini.
“I’m done. Aku berangkat dulu ya mbak.” Ternyata Syauki sudah selesai dengan sarapannya. Setelah mengambil ransel di kursi sebelah, pemuda itu bangkit memutari meja untuk berpamitan pada kakak sulungnya.
“Jadi pake motor punya mbak?”
Syauki mengangguk, lantas meraih tangan kanan Sita untuk dikecup. Hmm.. sopan sekali calon adik iparku yang satu ini.
“Nanti kalau mbak udah selesai dari stasiun kabarin aja, biar aku jemput.”
Sita mengangguk pelan lantas menjawab. “Nggak usah dek, mbak bisa pulang pulang pergi sendiri kok.”
Mau ngapain Sita ke stasiun? nggak berniat kabur dariku kan?
Setelah memastikan Syauki berangkat dan menghilang dari ruang makan, aku memberanikan diri membuka percakapan dengan Sita.
“ Stasiun?” tanyaku tak mengutarakan rasa penasaran.
“Mau check tiket ke Jogja. Tuker jadwal sekalian cancel tiket buat Papa.” jawab Sita masih sibuk menyesap bumbu kepiting yang ia santap.
“Kamu mau balik ke Jogja?”
Anggukan pelan yang diberikan Sita mendadak membuat jantungku kelonjotan ketar ketir. Masa iya, Sita ngambek segitunya sampai mau balik ke Jogja? Gara-gara aku bawa ke keluarga besarku kemarin?
“Ngapain?” tuntutku makin penasaran sekaligus gelisah. Pokoknya jangan sampai Sita pergi jauh karena aku.
“Mau beresin project terakhir di Amarilys sekalian ngasih surat pengunduran diri .”
Aku yang tadinya ketar-ketir akhirnya bisa bernapas lega setelah mendengar jawaban Sita barusan. Minggu lalu Sita memang sempat bercerita kalau pekerjaannya semakin menggila, apalagi tuntutan dari bossnya yang semakin di luar nalar. Mungkin karena itu Sita memutuskan untuk keluar dari tempat kerjanya.
“Ouuh…” jawabku singkat setelah membuang napas panjang. “Aku temenin ke stasiun, mau ya?”
Sita melirikku tajam dengan wajah tak yakin. “Hmm.. gimana ya?” jawabnya menggantung sambil memainkan sendok di depan wajahnya. Terilhat sekali kalau gadis itu sedang menarik ulur, menguji kesabaranku.
Tapi bukan sendok itu yang menjadi fokusku. Melainkan sudut bibir Sita yang belepotan dengan saus. Tanpa sadar tangan kananku udah terangkat ke udara. Ibu jariku tiba-tiba saja sudah ada di pipi Sita dan mengusap sudut bibirnya yang belepotan tadi.
“Tinggal jawab iya aja susah banget sih Ta.” gumamku serupa bisik.
Sita mengerjap pelan karena baru menyadari tanganku yang sudah mendarat di wajah mulusnya.
“Apaan sih Ical.” Sita mencoba menurunkan tanganku. “E- em- emang aku ada bilang ‘iya’?” gadis itu berkedip beberapa kali lantas menarik mundur kepalanya, menjauhi tanganku.
“Nggak sih, cuma keliatan banget kalau kamu lagi menguji kesabaranku selama beberapa hari ini.”
“Diih, pedenya ya anda.” cibirnya memiringkan bibir. Lucu.
“Harus dong.” kekehku pelan. “Jadi mau kan aku antar ke stasiun? Aku antar ke Jogja sekalian juga boleh.”
“Hmm.. Aku gak minta lho ya… kamu yang maksa lho ya.” jawabnya dengan ekspresi wajah yang semakin membuatku salah tingkah karena saking gemasnya.
“Iya, iya.. aku yang paksa. Asal kamu udah maafin aku dan gak ngambek lagi ya?”
“Waiitt … kata siapa udah maafin?” sahut Sita masih dengan wajah garang.
***