9 Petuah Aruna

1534 Words
Sepulang dari rumah Nana aku dibuat kelimpungan sendiri dengan aksi diamnya Sita. Iya aku akui aku yang salah karena mendadak mengajaknya bertemu dengan keluarga besar. Pasti dia merasa tak nyaman karena tiba-tiba berada di lingkungan yang serba tak ia kenal, apalagi tadi aku sempat melihat Sita digoda habis-habisan oleh para sepupu yang dipelopori oleh si rambut gulali Nana. Dan sekarang aku yang kebakaran jenggot dengan sikap acuh gadis itu. "Bu Sita, ngomong dong. Diem mulu dari tadi." pancingku dari balik kemudi. Kami sedang dalam perjalanan pulang kali ini. Sita masih diam seribu bahasa. Setelah menekuri ponsel beberapa saat ia kembali membuang muka ke jendela di sebelah kirinya. Mungkin menganggapku makhluk lintas alam yang tak tampak oleh penglihatannya. "Sita..." panggilku lebih pelan, berharap dia lebih iba. "Bu Sita... Mau mampir-mampir dulu gak? Masih jam tujuh juga nih." gumamku lagi. "Berisik." jawabnya singkat tanpa menoleh. "Maaf, please jangan gini dong. Aku kan sudah minta maaf." cicitku mencondongkan tubuh ke depan dan menoleh padanya yang masih memasang wajah galak bak Suzanna di film-film horor. "Bu Sita, mampir ke Burger Buto yuk kamu kan suka banget sama burger di sana." ajakku kemudian. "Pulang!!!" sentaknya lantas menoleh padaku dengan tatapan menghunus. "Serius nih langsung pulang? Aku beli burger dulu ya buat papa Rio deh kalau kamu gak mau." bujukku tak gentar. "Gak usah." sentaknya sambil menyilangkan kedua tangan di depan dadà. "Kalau bakso Presiden? pasti papa Rio suka. Atau kalau nggak kita ke tahu campur Kalpataru deh, atau rawon Sasa gimana?" seruku berharap Sita akan memilih salah satu tujuan yang aku sebutkan tadi. Respon Sita? Makin melotot seolah aku siap dilahapnya hidup-hidup. Nyaliku seketika ciut, bukan karena takut padanya yaa.. bukan.... Tapi lebih ke perasaan takut kehilangan, takut semua usahaku selama ini semakin membuatku jauh darinya. Aku salah langkah hari ini, dan aku jamin tak akan melakukannya lagi di kemudian hari. Aku takkan lagi memaksakan kehendak pada Sita jika memang ia tak setuju. "Oke.. oke.. kita pulang." jawabku setelah menyerah dengan penolakannya. Di sepanjang perjalanan sisanya, hanya kami habiskan dengan saling diam. Bahkan meski aku berkali-kali mengomentari sesuatu yang aku lihat di sepanjang jalan, Sita tak menggubrisnya sama sekali. Seolah aku ini sibuk sendiri berbicara dengan setir yang berkali-kali aku cengkeram kuat dengan kedua tanganku. Begitu sampai di depan pagar rumahnya yang terbuka separuh. Sita gegas melepaskan sabuk pengaman, tak lupa juga segera ia sambar tas kecil yang ia letakkan di samping tubuhnya. "Sita ak—" "Gak usah ikut turun." potongnya tegas. "Maaf, tapi aku mau ngom—" "Berisik." Sita langsung keluar dan membanting pintu mobil, aku buru-buru ikut keluar dan berniat mengantarnya hingga depan pintu. "Nggak usah ikut." elak Sita saat aku menahan lengannya ketika di ambang pagar. "Aku minta maaf." aku benar-benar menyesal dan memohon maaf padanya. "Iya." jawabnya singkat lantas menepis tanganku. "Jangan didiemin lagi ya." aku mengekor hingga kami sama-sama sampai di teras rumah. "Pulang sana!" Oke, ini pertama kalinya aku diusir oleh seorang gadis. Dan yang lebih menyakitkan lagi, gadis itu adalah gadis yang selama ini aku kejar cintanya. "Aku mau ketemu dan ngobrol sama papa Rio." kilahku setengah merengek. "Papa masih di klinik." "Tapi mobilnya ada di depan." "Ngobrol aja sama mobilnya." Dooong.... (ʘ*ʘ╬) Aku hanya menggeram frustasi karena ketusnya Sita hari ini. Lebih baik aku berhadapan dengan Sita yang cerewet dan sering main pukul dari pada Sita dengan mode cuek dan hobby tutup mulut seperti ini. Repot juga ternyata ya kalau wanita sudah mode marah seperti Sita. BLAMMMM...!!! Selang sedetik kemudian, Sita masuk rumah dan membanting pintu dengan keras tepat ketika aku hampir ikut masuk. Terdengar bunyi ceklek dua kali, tanda ia mengunci pintu utama. Aku berjalan gontai menuju mobil lagi dan berniat kembali ke rumah Nana. Begadang dengan beberapa saudara di sana sepertinya ide yang cemerlang dari pada kepalaku ikut pening karena merajuknya Bu Sita kesayanganku. *** "Lecek amat wajah kamu Cal?" tanya Nana saat melihatku mulai mengacak rambut kasar karena stress mengingat Sita tadi. "Dihajar sama Bu Sita Lo tadi?" sambung mas Gege, suami Nana. "Atau beneran ditolak mentah-mentah sama Sita?" sahut mas Adit, suami dari mbak Ami, yang masih sepupuku juga. Kami berlima sedang bersantai di halaman samping rumah Nana. Mas Gege berinisiatif untuk membakar jagung dan sosis jumbo di sebelah kolam renang, mumpung adik-adik dan iparnya sedang berkumpul katanya. Sedangkan para orang tua sudah pamit pulang dari tadi sore. Tinggal kami yang masih muda-muda yang bermalam di rumah baru Nana. "Sita marah karena mendadak aku ajak ketemu keluarga besar tadi itu. Apalagi mama udah heboh nyebut calon mantu calon mantu. Padahal anaknya diterima aja belum." jawabku lesu membuat semuanya kompak menatapku iba. "Kamu siih, buru-buru banget ngajak mbak Sita ketemu mama Ratna. Gak bilang-bilang pula, jelas shock lah dia. Cewek tuh gak bisa digituin dodol, perlu persiapan lama kalau sudah nyangkut masalah ketemu keluarga besar pasangan. Gak cuma sejam dua jam. Lah kamu?" celoteh Nana sambil membolak-balikkan jagung yang sudah dibakar mas Gege. "Iya iya, aku tau aku salah nyai. Gak usah diperjelas lagi. Sekarang tuh bantuin gimana caranya sita gak diemin aku lagi? Jangan malah ceramah." aku menenggak habis minuman soda yang disiapkan di tuan rumah kali ini. Padahal biasanya aku paling anti dengan jenis minuman kaleng seperti itu. "Ya minta maaf lah Cal." saut mas Gege tanpa mengalihkan fokusnya. "Udah mas Ge, malah dia banting pintu di depan hidungku dong. Masih untung hidungku gak kejepit." "Masih mending Lo gak dapet tendangan setengah lingkaran dari dia Cal." mas Adit terkekeh sambil mengunyah sosis panggang di hadapan kami. "Kata tante, Sita pelatih karate kan?" sambungnya lagi sambil menoleh padaku. Aku mengangguk lemas dan mengikuti gerakan yang lain untuk menyantap hidangan di meja depan kami. "Ambil hatinya pake cara lain lah kalau Sita keras kayak gitu?" Vicko, adik bungsu mas Gege yang masih seumuran denganku akhirnya ikut bersuara. Meski jarang bertemu, aku juga cukup dekat dengannya. "Cara lain maksudnya gimana?" aku mencondongkan tubuh antusias dengan arah pembicaraan Vicko. Meski seusia, pengalaman asmara Vicko jauh lebih kemana-mana dibandingkan aku. Playboy cap buaya dia mah. "Jelasin Na, elo sebagai cewek tulen pasti lebih paham." Vicko malah melirik Nana agar kembali melanjutkannya petuahnya seperti tadi. Duuuh ... Mendadak nggak yakin kalau si Nana ngasih tips. Dia aja sempat salah paham bertahun-tahun sama mas Gege, sok ngasih saran segala. Tapi boleh deh... "Jadi gini ya Cal.." Nana menghentikan kegiatannya membakar sosis di sebelah mas Gege. "Ambil hati cewek itu gak bisa pake taktik sembarangan bro." sambung Nana setelah meletakkan piring berisi sosis bakar lengkap saus sambal dan mayonaise di atas meja. Aku menyimak dengan seksama ketika Nana memperlihatkan raut wajah super serius. Nana menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa sembari mengusap pelan perut bulatnya. Terlihat sekali ia mulai sering lelah karena ukuran tubuhnya yang semakin besar. "Mulai sekarang kamu wajib kasih perhatian tiap hari ke mbak Sita, bodo amat deh mau dicuekin, diusir atau dihajar sekalian. Pokoknya tunjukin semua perhatian kamu se-ti-ap ha-ri. Tanpa jeda." ucap sepupuku itu serius, para lelaki yang lain di sekitarku jadi ikut memperhatikan Nana yang sedang berpidato. "Terus?" kejarku penasaran. "Terus, ketika mbak Sita mulai terlihat melting sama perhatian kamu, kasih sedikit jarak ke dia. Tarik ulur lah. Terakhir..." Nana mengambil nafas berat. "Buat mbak Sita cemburu dan merasa kamu mulai sedikit menjauh." "Caranya?" aku mengangkat sebelah alis. "Masa bikin cemburu aja gak bisa ih dodol." cibir Nana. "Ya gandeng cewek lain di depan dia lah. Noooh ... tanya si Abang. Dulu dia jago banget bikin aku cemburu." Nana menunjuk mas Gege yang masih sibuk dengan alat bakar-bakarnya. "Abang sih gak pernah bikin kamu cemburu diak, kamu aja yang dasarnya cemburuan parah." saut mas Gege lantas terbahak. "Terus aku gimana bikin Sita cemburunya Na, aku bukan playboy yang gampang pindah ke cewek lain lho ya." aku mengangkat telunjuk ke arah Nana. "Sini gue bisikin caranya..." Aku mendekatkan telinga ke arah Nana, dan terbit secercah harapan untuk mencoba petuah dari sepupu ajaibku ini. Semoga saja kali ini berhasil, karena dia juga terhitung lebih berpengalaman dalam hal asmara. "Gitu doang?" ulangku memastikan. "Iya, mbak Sita kan belum pernah ketemu sama dia, manfaatin aja." katanya lalu berdiri. "Eh ... bumil mau kemana? Aku belum selesai nih curhatnya." cegahku. "Siap-siap tidurlah, udah jam segini juga." jawab Nana sambil mengibaskan rambut gulali nya. "Baru juga setengah sembilan buk." sahutku. "Jam tidur nyonya mah beda sama jam tidur rakyat jomblo jelata kek kalian." kelakar Nana sambil menunjukku dan Vicko bergantian. "Anj—.." hampir saja aku mengumpat, andai tak ingat kalau calon keponakanku dalam perut Nana yang tidak boleh mendengar kata-kata kasar dari Om gantengnya ini. "Sayang... sosisnya belum habis nih, katanya ngidam sosis. Gimana sih?" saut mas Gege saat melihat istrinya beranjak menjauh. "Nanti aja aku habisin sosisnya Abang, rasanya lebih ... Aaah.. mantap." saut Nana ambigu sambil mengerling jahil. Sejak menikah memang kadar kecablakan gadis itu tak berkurang sama sekali, bahkan cenderung meningkat drastis. "Woiii ... language please." pekikku melemparkan lap bersih ke arahnya. "Makanya buruan kawin, eh.. nikah, biar gak ngenes amat jadi manusia." saut Nana makin meledakkan tawa sebelum menghilang di balik pintu ruang tengah. Tapi di balik mulut tanpa rem milik makhluk bernama Aruna itu, biasanya sarannya selalu menjadi ide terbaik yang layak dicoba. Jadi, dengan keyakinan penuh aku akan segera mempraktekkannya, tak perlu menunggu besok atau lusa. Karena aku akan beraksi malam ini juga. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD