Chapter 7

1527 Words
Sebuah Rumah minimalis dengan pekarangan cukup luas berada di antara perumahan komplek yang bisa dikatakan cukup elit. Rumah ber cat putih itu terlihat begitu Nyaman. Ditambah lagi di sebelah kanan ada taman bunga kecil warna warni yang dulunya hanyalah sepetak tanah tak terawat. Saat kita mengarahkan kepala ke sebelah kiri, sebuah kolam ikan kecil memanjang cukup memanjakan mata. Tembok yang lebih dominan dengan batu pualam dan sedikit bunga yang menempel di dinding membuat rumah terlihat begitu minimalis dan enak dipandang. Melangkah semakin ke dalam menuju samping rumah menunu taman belakang, mata akan kembali dimanjakan dengan kebun sayur. Lebih tepatnya konsep kebun tersebut sama dengan kebun milik kak ros di belakang rumahnya. Lima buah gundukan tanah memanjang dan tiap-tiap gundukan diisi dengan tumbuhan yang berbeda. Di sudut taman, ada sekitar lima puluh polybag berisikan tanaman cabai yang hampir siap panen. Selain sayur dan cabai, ada juga pohon jambu biji dan pepaya. Dan semua itu adalah hasil karya Dian, ibu tercinta dari Lidia. Sebenarnya tujuan Dian membangun kebun kecil ini hanya untuk mengembangkan ilmunya yang memang seorang sarjana pertanian. Bahkan saat masih kecil dulu, ia sangat suka berkebun. Jadi saat ia menikah, wanita itu ingin memiliki rumah dengan halaman yang luas. Khususnya halaman belakang. Tujuannya tak lain dan tak bukan adalah untuk mempertahankan ilmu yang ia dapatkan. Jam sudah menunjukkan pukul tiga sore dan sore itu langit juga terlihat mendung. Beruntung Lidia sudah sampai di rumahnya. Gadis itu baru saja selesai mandi. Ia masih melilit rambutnya dengan handuk. Berjalan menuju lemari pakaiannya, ia mengeluarkan sebuah pengering rambut di sana dan berjalan kembali menuju tempat tidurnya. Ia mencolokkan kabel alat tersebut pada colokan yang ada di samping tempat tidurnya dan mulai mengeringkan rambutnya setelah mesin ia nyalakan. Sambil mengeringkan rambutnya, pikiran Lidia seketika kembali pada kejadian saat ia pulang tadi. Soal Arya. Arya yang tak mau melihat ke arahnya. Ia tak yakin kalau Arya tak sadar jika itu dirinya, dan ia tak yakin kalau Arya tak mengetahui bus yang lewat di dekatnya. Tapi kenapa Arya seperti tak mengenalinya. Apa ada yang salah dengan pria itu? Entahlah. Yang jelas Lidia dibuat sangat penasaran. ****** Esok harinya, Lidia baru saja sampai di sekolahnya. Seperti biasanya, kelasnya tak pernah sepi oleh suara candaan teman-temannya. Mulai dari kehebohan saat meminjam PR, sampai kehebohan gosip terbaru. Sedangkan Lidia, gadis itu hanya tersenyum menyambut kehebohan tersebut. Ia berjalan menuju mejanya dan langkahnya seketika terhenti saat ia bisa melihat Arya duduk di bangku sebelahnya. Ia melotot tak percaya. Keberadaan arya yang tiba-tiba nyaris membuatnya ingin berteriak kesal. Ia sangat ingin menanyakan kenapa kemaren saat ia pulang, Arya seolah tak mengenalnya. Lidia menatap Arya kesal, sedangkan pria itu malah tersenyum sambil melambaikan tangan padanya. Sembari menuju ke arah mejanya, tatapan Lidia tak pernah terputus dari Arya. Ia seolah tak ingin jika pria itu menghilang kembali. "Tumben lo nongol?" sindir Lidia kesal saat ia sudah duduk di kursinya. "Aku tak ke mana-mana.' 'Cih! Jangan sok nggak paham deh lo! Trus kenapa lo bisa di sini sekarang? Tahu dari mana kalau gue sekolah di sini?" Arya mengangkat bahunya, "Tak tahu. Tiba -tiba angin bawa gue ke sini." Jawaban Arya berhasil membuat Lidia tertawa, "Sok jadi pujangga. Basi!" "Lagian kenapa kamu marah? Mau aku sapa atau tidak, itu juga hak aku. Kenapa kamu harus marah?" Lidia terdiam. 'Iya ya! Knapa ia harus marah? Memangnya Arya siapanya dia?' pikir Lidia membatin. Pikiran itu dibaca oleh Arya membuat pria itu tersenyum tipis. "Sorry." "Buat apa?" "Buat aku kemarin tak melihat kamu pergi dari perkemahan itu." "Tak ada artinya juga." jawab Lidia ketus. Arya memperhatikan gerak-gerik wajah Lidia. Dan untuk kedua kalinya ia dibuat tersenyum karena ulah Lidia. "Kenapa senyum-senyum?" tanya Lidia kesal. Arya menggeleng. Ia lalu melipat satu tangannya di atas meja dan satu tangannya lagi ia gunakan untuk menopang kepalanya dna menatap Lidia. Sambil tersenyum manis, Arya terus saja menatap Lidia yang semakin lama justru membuat Lidia salah tingkah. "Ngapain sih lo!" kesal Lidia. "Lo cantik juga kalau marah." Lidia menata Arya. Ada yang aneh dengan panggilan arya padanya. Biasanya Arya akan memanggilnya 'kamu', tapi tadi ia memanggil dengan kata 'lo'. "Gue baru tahu kalau seorang Lidia bisa secantik ini kalau sedang marah." gombal Arya lagi. Lidia mengangkat satu sudut bibirnya sambil menatap Arya tajam. "Kalau mau merayu, bukan di sini tempatnya." "Hahaha. Tak ada yang merayu. Gue cuma--" "Pagi anak-anak!" Suara sapaan dari arah pintu masuk menghentikan percakapan tak berfaedah antara Lidya dan Arya. Arya melirik siapa yang masuk dan ternyata guru yang akan mengajar dikelas tersebut. Sambil duduk manis, Arya melirik beberapa siswa yang masuk ke dalam kelas dan menanti siswa tersebut akan duduk di mana. Ia memperhatikan per siswa yang berjalan menuju tempat duduk mereka masing-masing. Ia menatap Lidia sejenak lalu kembali menatap kursi-kursi yang tadi kosong kini sudah diduduki oleh siswa. Setelah tak ada lagi yang masuk, Arya kembali melirik ke arah Lidia. "Kenapa? Ada yang aneh?" tanya Lidia sedikit tersunggung. "Lo nggak punya teman di sekolah?" tanya Arya dengan nada sedikit mengejek. "Gue punya teman, banyak malahan." "Terus mana teman lo? Ini bangku dari tadi gue lihat kosong. lo nggak punya teman sebangku.?" Lidia menghela nafas kesal, "Terserah gue kek mau duduk sama siapa. gua mau duduk sendiri kek, gua mau duduk sama siapa kek, itu bukan urusan lo. kalau lo nggak suka ya udah keluar! gua udah nyaman duduk sendirian. di sini gue nggak butuh teman." Arya menatap gadis di sampingnya dengan tatapan aneh. "Lah jangan marah. gue kan cuma nanya." "tapi nanya lo itu bikin gue mumet. Jadi mendingan kalau lo enggak penting-penting amat di sini, bagusnya lo pergi deh. jangan gangguin gue lo Paham?" Arya menggeleng menolak usiran Lidia padanya. Ia juga punya hak untuk duduk di mana saja. "sorry, gue nyaman Disini! jadi mulai hari ini, ini kursi gue.!" Lidia berdecak kesal. "Terserah lo deh.!" Lidia kembali sibuk dengan karet gelang di tangannya. Sesekali sudut matanya memperhatikan tingkah Arya. Pria itu ternyata sedang memperhatikan di sekelilingnya. Dan ia selalu menatap Siswa yang angkat tangan saat di absen. Entah kenapa, Arya mendadak merindukan suasana seperti ini. Ia merasa seolah ia kembali pada masa sekolahnya. "Oke baiklah! absen sudah selesai. Sekarang simpan semua buku kalian di dalam tas dan letakkan tas di depan." kehebohan langsung terjadi begitu saja. jika sudah seperti itu, bisa ditebak kalau akan ada ulangan harian. Dan satu hal yang paling dibenci siswa saat masuk kelas adalah, guru yang mengadakan ulangan dadakan. "Yah buk! Masa gini sih buk caranya. nggak ada aba-aba terlebih dahulu Bu." protes Andra. "Iya nih Buk! Mana belum belajar. kasih waktu setengah jam deh buk." saut salah satu dari yang lainnya. "Nggak ada bantah bantahan. Emang kalian nggak belajar di rumah?" "Ya bukannya gitu Bu. belajar sih, Tapi---" "Tak ada tapi-tapian!! sekarang kumpulkan semua tas kalian di depan!! Ingat! tidak ada yang boleh mencontek.!" Arya nyaris tertawa saat ia melihat wajah panik Para siswa yang ia tebak tak belajar sama sekali. Arya juga melirik Lidia yang ada di sebelahnya dan ekspresi wajah Lidia sama paniknya dengan siswa yang lain. Arya menatap lamat gadis di sebelahnya itu, "Jangan bilang lo enggak belajar juga?" tebak Arya membuat Lidia salah tingkah, "bukannya enggak belajar! Lo tahu kan kalau gue baru pulang kemah kemarin. capek gue! ucap Lidia membela diri. Arya menggelengkan kepalanya sambil mendecak decak. pria itu melipat tangannya ke d**a lalu menatap Lidia dengan tatapan sedikit meremehkan. "Dasar anak sekolah sekarang begini ya." ucap Arya membuat Lidia langsung menoleh kepadanya. "Contohnya nih, di sebelah. anak sekolah tapi nggak belajar." "Eh jaga ya tuduhan lo Arya. Udah gue bilang ,gue Bukannya nggak belajar. semalam itu nggak sempat. gue kecapean." "Ya harusnya lo tahu, Kalau kegiatan seperti itu bisa membuat sekolah lo terbengkalai, ya jangan diikuti dulu." "Ada hak apa lo ngatur-ngatur gue?" tanya Lidya kesel. Arya menggeleng santai ,"gue nggak ada hak sama sekali. gue ngelakuin ini karena gue peduli sama Lo! Kita kan teman." "Kapan gue jadi teman lo?" "sejak di perkemahan." "ada gitu gue bilang kita teman?" "ada.!" "Kapan? jangan ngaco.!" "Yaudah kalo lo lupa. ditetapkan lagi hari ini. Mulai hari ini, lo temen gue. udah titik. gue duduk di sini. Dan kursi ini sudah gue patenakan." Lidia menatap Arya dengan tatapan horor. Sebenarnya ia heran dengan Arya. dari mana makhluk seperti ini berasal dan Kenapa pria ini sekarang jadi mengikutinya. Dan sampai kapan Arya akan mengekorinya. ***** Arya memperhatikan saat wakil ketua kelas dari kelas Lidia membagikan kertas ulangan yang diperintahkan oleh guru. Arya menatap gadis itu dengan seksama. Cantik! Batinnya memuji. Ia menatap Lidia lalu menyenggol lengan gadis tersebut. Lidia melirik Arya tajam namun Arya tak peduli sama sekali. "Itu cewek siapa? Cantik banget." ucap Arya sambil menunjuk murid yang sedang membagikan kertas. Lidia menatap Anggrek yang sedang membagikan kertas, "Kenapa? naksir lo?" Spontan Arya mengangguk, "cantik." pujinya terang-terangan. "Cih! Cowok semua memang begitu." gumamnya. Berharap kenalan?" "Ya siapa tahu aja." "dih! jan ngadi ngadi! dia nggak bisa lihat lo!" "ya kan gak harus bisa lihat gue." "jadi maksud lo, dia jadian sama sesuatu yang enggak bisa dilihat, gitu?" "Gua kan nggak bilang jadian." "Iya Apalagi coba kalau hubungannya tak mengarah ke sana." Arya menatap Lidia aneh, "kenapa? Merasa tersaingi ya neng? Takut lo ya, kalau gue berpaling?" Horror. Tatapan itulah yang Lidia berikan pada Arya. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD