Chapter 11

1078 Words
Arya berjalan di lorong sunyi tepat jam tiga pagi. Ia masih merasakan sakit pada tubuhnya. Masih teringat olehnya jika tadi ia masih berada di sofa rumah Lidia, tapi kenapa tiba-tiba ia di bawa ke sini? Ke lorong sepi dan sunyi seperti ini. Perpindahan secepat itu? Ia sendiri tak tahu kenapa ia bisa melakukan teleportasi. Bahkan jika ia ingat, jarak dari rumah Lidia sampai ke rumah sakit, cukup jauh. Dan tanpa ia tahu apa penyebabnya, ia dibawa secepat kilat ke sini. Ia melirik kanan dan kirinya. Masih sama, ia selalu melihat wajah-wajah buruk rupa yang sudah sangat terbiasa ia lihat. Dan apa itu? Para perempuan-perempuan berambut panjang dan berbaju putih itu selalu tersenyum melihatnya. "Kenapa kau melihatku seperti itu? Aku punya kekasih, aku tak akan tergoda dengan senyummu." celoteh Arya pada salah satu perempuan tersebut. Ia sudah terlihat seperti orang gila sekarang. Beruntungnya di sini, ia juga seorang arwah, jadi tak ada yang bisa melihatnya berbicara sendirian. Oh, tidak jika Lidia melihatnya. Ia pasti akan ditertawai habis-habisan oleh gadis itu. Bicara soal Lidia, ia masih penasaran kenapa hanya Lidia yang bisa melihatnya. Padahal banyak anak indigo di dunia ini, tapi kenapa hanya Lidia yang bisa melihatnya. Apa gadis itu punya mantra khusus? Memikirkan itu, Arya seketika merinding. Jika benar, itu artinya Lidia adalah dukun. Tapi entah dukun apa, ia hanya menebak saja. Tapi untuk hal yang satu ini, ia akan mencari tahu nantinya. Ia kembali melanjutkan perjalannya melewati lorong sunyi itu. Ia tahu tempat ini. Sangat tahu. Tempat ini adalah tempat di mana tubuhnya terbaring kaku tak bergerak. Tempat di mana air mata selalu terjatuh untuknya setiap hari dari orang-orang terdekatnya, tempat di mana semua luka berkumpul. Tapi apa yang bisa ia perbuat. Semua hanya bisa ia dengar dengan hati yang penuh luka. Ingin rasanya ia menampakkan diri pada mereka, tapi tak bisa. Tuhan tak menghendaki itu. Arya meringis saat lengannya terasa seperti ditusuk jarum. Ia yakin jika ada yang bermain lagi dengan tubuhnya sekarang. Kapan semua ini akan berakhir Tuhan. Jika mati, matikan saja dia. Jangan dibuat tersiksa seperti ini. Langkah Arya terhenti pada sebuah pintu ruang rawat. Ruang rawat? Ya. Ia sekarang berada di depan kamar tempat tubuhnya diobati. Lokasi di mana tubuh kakunya masih terbaring. Dengan bantuan alat yang begitu banyak. Tanpa perlu capek-capek membuka ,Arya memilih langsung menerobos pintu tersebut. Dan untuk kesekian kalinya, ia harus terpaku melihat pemandangan di hadapannya. Di depan matanya kini terbaring seorang pria yang ditubuhnya dipenuhi banyak alat. Mulutnya dimasuki selang yang cukup besar dan suara mesin itu, suara mesin itu tak pernah berhenti ataupun memelan sedikit saja. Mesin petak itu masih sangat nyaring berbunyi. Di sebelah ranjang tempat tubuh kaku itu terbaring, Arya bisa melihat seorang wanita paruh baya tengah tertidur membaringkan kepalanya tepat di lengan pucat itu. Ia merindukan wanita itu. Wanita yang sudah melahirkannya. Ia merindukan mereka semua. Entah kenapa, ia membenci kondisinya saat ini. Ia melirik ke arah sofa. Di sofa yang tak terlalu panjang itu, ia melihat ada Clarisa di sana, Clarisa adalah sahabat terbaiknya. Ia berjalan mendekati Clarisa yang tertidur meringkuk di atas sofa. Ia tahu Clarisa sangat kedinginan. Clarisa tak terlalu suka tidur di ruangan yang dingin seperti ini, tapi gadis itu melakukannya. Dengan mata kepalanya sendiri, ia melihat Icha yang mau tidur dirungan dingin dan di atas sofa yang bahkan untuk menampung tingginya saja tak bisa. Ia duduk berjongkok menghadap Icha, mengusap rambut gadis tersebut walaupun tak bisa tersentuh olehnya. "Terima kasih Cha. Terima kasih lo selalu ada buat gue." "Terima kasih lo nggak pernah ninggalin gue sedetikpun." "Lo sahabat terbaik yang pernah gue punya. Walaupun lo selalu bilang, kalau lo tak peduli sama gue, tapi melihat ini, gue yakin lo sayang sama gue." "Jika Tuhan beri gue kesadaran nanti dan terbangun, gue janji gue nggak akan biarin lo disakiti siapapun. Gue bakal jaga lo Cha." Arya tersenyum manis melihat Clarisa yang selalu ia panggil dengan sebutan Icha itu tengah berkomat-kamit tak jelas. Arya kembali berdiri. Ia berbalik badan dan melihat wanita paling tangguh yang ia punya. Wanita hebat yang tak pernah berhenti berdo'a untuknya. Ingin rasanya ia memeluk wanita tersebut namun ia tak bisa. Ia ingin menyapa wanita baik ini tapi tak mampu. Entah kenapa ia seketika membenci dirinya yang seperti ini. Seolah tak ada gunanya ia seperti ini. Terpisah dari tubuhnya dan tak bisa berbuat apa-apa. Arya menatap tubuhnha. Ia berjalan mendekati tubuh pucat tak bergerak itu. "Kapan lo bakalan bangun Arya?" ucapnya bertanya pada sesuatu yang ia yakin tak akan bisa menjawab. "Gue bingung berkeliaran tak tahu arah seperti ini. Tujuan gue nggak jelas. Gue nggak bisa ngapa-ngapain. Arya. Arwah Arya menatap tubuhnya yang terbaring tak berdaya. Dibantu puluhan alat. "Lo nggak capek? Gue sendiri capek Arya. Gue ngerasa aneh. Apa ini yang dinamakan mati suri? Tapi kalau ini mati suri, gue nggak dibawa makhluk besar seperti yang orang-orang mati suri ceritakan lainnya. Kenapa gue justru tunggang langgang seperti ini." "Dan di sini, gue cuma kenal Lidia. Cuma dia yang bisa lihat gue. Dan cuma dia teman gue di sini, selain makhluk berwajah jelek. Lo nggak mikir apa sesulit itu gue di sini? Gue mau masuk lagi, nggak bisa. Lo mantulin gue lagi. Lo nolak arwah lo sendiri. Kalau mati, jelas semua selesai. Tapi ini?" "Lo nggak kasihan sama gue? Lo nggak mikirin gue gimana? Mikirin nyokap, mikirin dia." Arwah Arya menunjuk Icha yang sedang meringkuk di sofa. "Kenapa lo betah. Bangun woi! Biarin gue masuk lagi." Lagi-lagi Arya merasa terlihat seperti orang bodoh. Bicara pada diri sendiri dan tak tahu harus melakukan apa. Arya melihat ke belakang. Di sebelah Icha, ia melihat ada sofa kecil. Ia berjalan menuju sofa tersebut dan duduk di sana. Berdiam diri sembari menatap tubuhnya yang semakin lama semakin memucat. Mencoba memikirkan apa yang terjadi pada dirinya. Sesuatu yang terjadi begitu cepat tanpa ia sempat melihat rentetannya. Kejadian di mana ia harus rela terbaring di tempat tidur dingin itu dan dibantu puluhan alat untuk terus bertahan. Dan entah sampai kapan alat-alat itu bisa membantunya untuk bertahan. ***** "Di sini ada satu lagi!" samar-samar teriakan itu terdengar. Walaupun suara dengungan lebih mendominasi. Tak terasa, orang-orang mulai mengerubuni. Semua tampak kabur. Tak terlihat jelas sama sekali. Hanya suara yang bisa membantu. "Ambulance ke sini. Cepat ambulan." "Yang di truk juga kritis. Ya Tuhan, kenapa bisa seperti ini." "Banyak korban di sini!" "Truk yang menabrak tadi kabur pak!" "To--tolong." suara itu terbata-bata. "Jangan bicara dulu. Kondisimu tak baik nak, jangan bicara dulu." Setelahnya semua mulai diam dan gelap. apa yang terjadi selanjutnya, Hanya Tuhan yang tahu. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD