Sedikit bingung, dan agak curiga dengan Kak Satria. Kita sudah hampir tiga bulan tunangan. Tapi, dia masih saja belum memastikan kapan mau menikahiku. Padahal dia janji mau mempercepat pernikahan kita. Iya sih, kita sudah fitting baju untuk pernikahan kita, tapi Kak Satria masih saja sibuk dengan pekerjaannya.
Setelah mendapat proyek di Bandung, Kak Satria jadi sering bolak balik ke Bandung. Kata papa sih memang di sana proyek besar. Kata Kak Leo pun seperti itu. Kak Satria memang sedang memegang proyek besar di Bandung, dan Kak Leo sendiri yang mengutusnya.
Meski Kak Satria sering sibuk dengan pekerjaannya, dia tidak pernah absen Video call denganku. Padahal kami dekat, tapi rasanya jauh. Seperti saat aku di Jepang, dia di sini. Setiap pagi juga ada saja sesuatu yang Kak Satria kirim di meja kerjaku. Entah bunga dan cokelat, atau cupcake, dan apa pun itu. Setiap pagi aku menemukannya di meja kerjaku. Juga kartu ucapan yang tertulis ucapan romantis di dalamnya.
Siang ini aku berencana ke Cafe Kak Rana. Aku ingin bertemu Nadia. Kangen dengan gadis kecil itu, yang sekarang beranjak remaja. Kangen Kak Rana juga sih. Kak Rana bilang, Nadia juga ingin ketemu aku. Ya, meski aku pernah punya masa lalu dengan keluarga besar Kak Rana, tapi aku tetap menjalin silahturahmi baik dengan Kak Rana dan Kak Leo. Apalagi calon suamiku kerja dengan Kak Leo, jadi sekarang aku sering bertukar kabar dengan Kak Rana. Tapi, aku sampai sekarang belum ketemu sama Nadia, karena dia sibuk dengan lesnya. Bulan depan Nadia Ujian Nasional, dan dia katanya ingin masuk di SMP favoritnya, jadi dia harus giat belajar, supaya nilainya bagus.
“Eh, papa?” Aku melihat pintu ruang kerjaku terbuka, dan ternyata papa yang masuk.
“Kamu lagi ngelamunin apa, Ca? Wajahnya sampai kaget gitu?” tanya Papa.
“Enggak ngelamun, Cuma lagi kangen sama Nadia, Pa. Setiap Ica ke cafe Kak Rana dia gak ada di Cafe. Mau ke rumahnya, Ica belum ada waktu, Pa. Terus belum pengin aja sih,” jawabku.
“Lho kenapa? Tingga ke sana saja main. Enggak ada salahnya, kan? Toh Satria juga sering bolak balik rumah Leo. Kamu takut ketemu Arkan?”
“Ya enggak gitu, Pa? Ica sudah enggak masalahin itu, Pa. Ya papa tahu sendiri, kan? Arkan sudah bahagia sekarang. Sudah punya anak yang lucu, menggemaskan, ganteng lagi?”
“Oh iya, papa ketemu Om Arsyad kemarin. Dia nanyain kamu, katanya kamu masih belum mau manggil dia abah lagi?” tanya papa.
Apa maunya Om Arsyad? Sudah tahu anaknya nyakitin aku, tapi maksa aku manggil dia abah lagi? Aneh sekali dia? Tahu dong perasaanku. Kek anaknya saja enggak pernah sadar kalau udah nyakitin perasaan orang!
“Gak usah didengerin lah, Pa! Ica tuh dah jelasin berkali-kali. Ica udah bukan siapa-siapanya lagi. Lagian kenapa maksa banget masih mau dipanggil abah?! Gak tahu ya perasaan Ica bagaimana?” jawabku kesal.
“Ya kamu tahu sendiri, kan? Om Arsyad itu sayang sama kamu.”
“Pa, apa karena sayang aku harus tetap manggil dia abah? Enggak, kan?”
“Iya sudah jangan marah-marah gitu dong. Papa kan bilang saja, Cuma nyampein apa yang Arsyad bilang sama papa. Dah, jangan marah. Iya, papa tahu perasaan kamu. Meski kamu sudah bisa melupakan Arkan, kamu masih ada rasa kecewa dengan semua itu.”
“Itu papa tahu, harusnya papa juga ngerti perasaan Ica, dong?”
“Iya, papa minta maaf, Sayang.”
“Lagian papa ketemu Om Arsyad kapan, Pa?”
“Kemarin. Sama papanya Thalia juga sih. Enggak sengaja ketemu di pembukaan Restoran papanya Devan.”
“Devan pulang gak, Pa?”
Mendengar nama Devan papa sebut, aku jadi ingat dia. Tiga bulan dia benar-benar tidak menghubungiku. Jahat sekali dia! Mungkin dia tidak enak dengan aku yang sudah bersama dengan Kak Satria. Tapi, seharusnya enggak seperti itu. Dev harusnya masih mau jadi temanku, enggak gini banget. Diemin aku sampai tiga bulan. Mungkin Dev tidak mau mengganggu aku dan Kak Satria. Lebih tepatnya dia tidak mau ada masalah dengan Kak Satria, karena Kak Satria selalu enggak enak hati kalau aku cerita soal Devan.
“Kamu kangen sama Dev? Kemarin pulang kok sama Aiko. Tapi, dia Cuma pamit mau balik ke Jepang lagi,” jawab Papa.
“Kok enggak ngabarin aku, Pa? Kangen sih. Tapi, aku ngerti kok perasaan Dev. Dev mungkin tidak enak dengan Kak Satria kalau menghubungiku. Dan, mungkin dia juga butuh waktu untuk menghilangkan perasaannya sama Ica,” ucapku.
“Papa enggak tahu, apa yang ada di pikiran kamu, Ca. Kamu kangen sama Devan, tapi kamu gak bisa mencintai Dev, yang jelas-jelas dia punya cinta yang besar untuk kamu. Kamu lebih memilih Satria malahan. Iya Satria juga baik, dia juga pemikirannya lebih dewasa, tapi enggak tahu kenapa, papa lihat Dev dia itu enggak akan pernah bisa melupakan cintanya untuk kamu. Kadang kita tidak suka sama seseorang, tapi orang itu justru lebih baik untuk kita. Ya, papa sih bukan membandingkan Satria dan Devan, tapi papa lihat Satria enggak seperti Devan, yang benar-benar tulus sayang dan cinta sama kamu,” ucap Papa.
Aku gak ngerti, kenapa papa bisa bicara seperti itu, di saat aku sudah menjadi tunangan Kak Satria selama satu tahun, dan beberapa bulan lagi aku akan menikah dengannya. Meski masih sedikit persiapannya. Papa malah kelihatannya klik banget dengan Devan? Aku bingung, apalagi sekarang Kak Satria aneh, sering ke luar kota, dan sepertinya sibuk sekali. Bukan aku curiga, tapi setiap aku tanya soal tanggal pernikahan, dia mengalihkan pembicaraan langsung. Padahal dia sendiri yang awalnya bilang, kalau aku sudah menyelesaikan S2, akan segera menikahiku, tanpa menunda lagi. Dia pun yang bilang, akan segera mempersiapkan pernikahan kita setelah aku pulang. Nyatanya, malah baju udah disiapkan, tanggal pernikahan malah belum.
“Ca, Satria sudah bilang mau kapan bicara soal tanggal pernikahan kalian?” tanya Papa.
Tidak seperti biasanya papa tanya seperti ini dengan wajah yang sangat serius.
“Belum, Pa. Ica juga bingung. Kak Satria sendiri yang bilang setelah aku pulang, mau segera menentukan tanggal pernikahan kita. Tapi, nyatanya? Malah baju udah siap, tanggal belum. Aneh, kan? Aku tahu dia sedang sibuk dengan pekerjaannya, Pa. Tapi, dia kan harus tanggung jawab soal ucapannya juga?”
“Biar nanti papa yang bilang, kalau dia pulang dari Bandung. Papa juga harus dapat kepastian. Papa tidak menentukan tanggal lebih dulu, karena papa hargai pekerjaan Satria yang memang sedang padat. Tapi, papa rasa dia semakin menyepelekan. Papa lihatnya sih gitu, Ca?”
“Sama, Ica pun lihat Kak Satria semakin acuh. Iya sih, dia sering kirim ini, setiap pagi. Video call setiap hari, tapi kalau aku tanya soal menikah, dia langsung mengalihkan pembicaraan, Pa.”
“Kamu gak usah khawatir, papa yang akan bicarakan semua ini dengan Bu Leli dan Satria. Juga papanya Satria.”
Kak Satria memang dari kecil tidak hidup dengan papanya. Papanya menikah lagi, dan meninggalkan ibu begitu saja. Itu semua karena papanya Kak Satria menghamili selingkuhannya. Dan, sekarang beliau hidup di Malang dengan istrinya itu, yang tak lain selingkuhannya dulu.
“Ica juga butuh kepastian, Pa. Ica takut, setelah Ica menerima Kak Satria dengan seperti ini, malah Kak Satria yang semakin enggak jelas.”
“Kamu mencintai Satria?”
“Iya. Meski belum penuh cintaku, Pa. Aku tidak mau terlalu dalam mencintai seseorang. Cukup dengan Arkan aku seperti itu, dan aku sudah salah, karena terlalu mencintai, jatuhnya lebih sakit,” jawabku.
“Kamu yakin dengan perasaanmu pada Satria?”
“Ehm ... yakin, Pa,” jawabku setengah ragu.
“Jangan menikah kalau masih ragu,”
“Enggak ragu, Pa. Tapi, semakin ke sini aku lihat Kak Satria itu aneh, Pa. Mungkin perasaanku saja, Pa.”
“Ya sudah, sembari memantapkan perasaanmu, nanti kita bertemu saja dengan Satria dan keluarganya, kalau Satria sudah ada waktu senggang?”
Benar juga kata papa. Kalau masih ragu ngapain menikah? Lagian, akunya udah bisa nerima Kak Satria, dia malah aneh. Kan bikin aku tambah curiga?
Iya curiga, soalnya dia setiap seminggu sekali ke Bandung. Kadang dia juga bermalam di sana. Anehnya kadang pas weekend? Masa ngurus pekerjaan pas weekend? Gak hari kerja? Ah sudah, aku tidak mau ribet ngurusin orang yang seperti itu. Toh aku juga masih belum terlalu mengenal Kak Satria, dan aku juga harus kenal lebih dalam lagi bagaimana sosok Kak Satria, yang hanya aku tahu covernya saja selama ini.
Meski setahun bertunangan dengan dia, kita menjalaninya dengan LDR. Aku di Jepang, dan dia di sini. Lalu, setelah aku balik, aku ingin tahu seperti apa Kak Satria, dia malah sering sibuk dengan pekerjaannya. Ya sudah, aku diam saja. Mau memaksa untuk bicara soal pernikahan, nanti malah aku disangka yang pengin cepat-cepat nikah? Kalau gini, dia malah kayak slow banget. Sampai papa pun bilang seperti tadi.
“Kamu jadi ke cafenya Rana?” tanya Papa.
“Iya, jadi, Pa.”
“Sendirian berani?”
“Idih, ya berani lah!” jawabku.
“Kalau ketemu Lia atau Arkan?”
“Ya biasa aja sih? Sudah berlalu ngapain masih di inget-inget. Lagian aku mau ke sana juga pengin ketemu Nadia, Pa,” jawabku.
“Bagus, itu baru anak papa!”
“Pa, udah lah. Yang sudah ya sudah. Masa depan Ica masih panjang, kan? Ngapain masih inget masa lalu?”
“Iya, betul! Papa senang lihat kamu seperti ini. Sudah bisa menerima kenyataan dan keadaan. Papa seneng, lihat Ica yang dulu kembali lagi di depan papa. Sekarang, papa mau kamu terus bahagia.”
“Itu pasti, Pa. Makasih, ya? Udah selalu nemenin Ica, dalam keadaan apa pun. Bahkan saat Ica berada di titik paling rendah dalam hidup Ica, sampai Ica bisa mengembalikan hidup Ica lebih baik lagi. Makasih, Pa.”
“Papa akan selalu nemenin kamu, sebelum kamu ada yang nemenin. Dan, papa akan melepaskan kamu dengan laki-laki yang benar-benar bisa menyayangi kamu sampai kalian menua bersama.”
“Makasih, Pa.”
Papa orang yang terhebat dalam hidupku. Hingga aku merasa ada yang aneh dengan Kak Satria pun, papa juga merasakannya. Beliu memang papa yang paling baik dan sempurna di dunia ini.