Aku sudah sampai di cafe Kak Rana. Kak Rana langsung menyambutku dengan dua jagoan kecilnya yang bernama Alif dan Alzam. Lama tidak melihat Kak Rana, dia semakin terlihat muda sekali. Padahal sudah memiliki empat anak, tapi Kak Rana masih terlihat sangat muda sekali.
“Kamu lama sekali, Ca? Nih Alif sama Alzam nungguin kamu dari tadi,” ucap Kak Rana dengan menyambutku.
“Nungguin tante, ya? Kamu ganteng banget sih? Tadi sekolah?” tanyaku.
“Sekolah dong, Tante ....”
Aku berjongkok mengajak Alif dan Alzam bicara. Mereka sangat lucu sekali, menggemaskan. Padahal mereka belum genap tiga tahun, tapi Kak Rana sudah memasukan mereka di taman belajar. Seperti itu Kak Rana dan Kak Leo, untuk masalah pendidikan anaknya itu nomor satu. Seperti Nadia, dia baru saja berusia sepuluh tahun, tapi dia sudah mau lulus SD. Dia memang cerdas sih, dan akhirnya dia masuk jalur akselerasi. Dari usia belum genap enam tahun dia sudah masuk SD, Nadia Sekolah di sekolahan yang khusus jalur akselerasi bersama dengan Kayla dan Kiara.
Kata Kak Rana, Nadia benar-benar ingin jadi dokter, dari kecil dia sudah menunjukkan kalau Nadia memang cerdas, dan Kak Leo hanya menuruti kemampuan Nadia. Ternyata Nadia mampu dengan jalur akselerasi.
“Kamu sendirian, Ca?” tanya Kak Rana.
“Iya lah kak, memang harus sama siapa lagi?” jawabku.
“Ya kali saja sama Satria?”
“Kan dia di Bandung. Katanya ada pekerjaan di Bandung. Bukannya sama Kak Leo?” tanyaku.
“Leo tidak di Bandung, ini sedang jemput Nadia dan Zifa kok?” jawab Kak Rana.
Tidak dengan Kak Leo? Ini yang benar yang mana? Kok Kak Satria bohong? Bilangnya ada pekerjaan dengan Kak Leo di Bandung? Kok kak Leo malah di rumah?
Apa mungkin Kak Satria diutus Kak Leo saja? Kak Satria kan orang kepercayaannya, ngapain Kak Leo harus ikut? Toh semua pekerjaannya sudah ditanggung Kak Satria semua?
Aku tidak boleh berpikiran macam-macam terhadap Kak Satria, dia bekerja juga kan untuk aku nantinya. Kalau pun dia macam-macam, itu urusan dia.
“Ca?” Kak Rana menyentuh bahuku, dia sepertinya tahu kalau aku sedang memikirkan Kak Satria.
“Iya, Kak?”
“Masuk, yuk? Sambil menunggu Nadia sama Zifa pulang? Paling sebentar lagi kok, sudah di jalan kata Kak Leo,” ajak Kak Rana.
“I—iya, Kak,” jawabku dengan gugup.
Aku masuk ke dalam. Semua sudah berubah, sudah banyak perubahan di Cafe Kak Rana. Seperti hidupku sekarang sudah banyak sekali perubahan. Hidup memang harus ada perubahan, tidak mungkin untuk berhenti di satu titik yang disebut masa lalu.
Dulu di sini aku sering main dengan Nadia dan Devan. Ya lebih sering dengan Devan dibandingkan dengan Arkan. Enggak tahu kenapa lebih sering dengan Devan. Itu semua karena kadang kita menunggu Arkan yang lama kalau sedang kumpul. Arkan selalu datang paling akhir, kalau sedang kumpul bareng anak-anak komunitas touring saat kuliah dulu.
Devan, dia sama sekali belum memberikan kabar padaku. Padahal kata papa, kemarin Dev pulang saat ada acara pembukaan restoran papanya di sini. Tapi, dia sama sekali tidak memberitahuku. Mungkin dia punya alasan tersendiri. Dev memang seperti itu, dia lebih bisa menghargai keadaan. Keadaan aku sekarang sudah jadi tunangan orang, jadi mungkin Dev tidak mau mengganggu aku dengan Kak Satria. Tapi, menurutku tidak usah seperti ini juga sih?
“Kamu mau minum apa, Ca? Matcha atau cokelet?”
“Matcha saja, Kak. Kakak masih tahu kesukaan aku itu?” jawabku.
“Iya dong, kakak masih ingat. Kamu enggak pernah berubah, masih suka matcah dari dulu.”
“Untuk satu itu, enggak akan berubah mungkin, Kak. Tapi, aku yakin hidupku ini sudah banyak perubahan, kan?” tanyaku.
“Iya sudah, sudah berubah sekali,” jawab Kak Rana.
“Harus, Kak. Enggak mungkin aku terpuruk terus dalam keadaan yang membuat aku semakin hancur. Meski harus sekuat tenaga aku membenahi semuanya, dan akhirnya aku bisa move on dari semua kejadian yang menyakitkan dalam hidupku.”
“Aku salut dengan kamu, Ca. Kamu sudah dibuat jatuh, tapi kamu masih bisa bangkit seperti ini.”
“Aku jatuh belum sampai ke dasar jurang, Kak. Meski sakit, tapi aku sadar, di depanku masih banyak jalan yang terang untuk aku lewati, mencari titik kebahagiaan lagi.”
“Kakak boleh tanya?”
“Tanya apa, Kak?”
“Kok kamu menerima Satria? Bukan Devan, yang usianya jauh lebih muda, dan tentunya kalau dibandingkan dengan Devan, Satria kalah dong.” tanya Kak Rana.
“Ehm ... memang ada yang aneh, atau ada yang salah kalau aku menerima Kak Satria?” tanyaku balik.
“Ya enggak salah sih, tapi aneh. Kamu hampir tiga tahun di Jepang dengan Devan, tapi sama sekali enggak ada perasaan baper atau apa? Malah menerima orang yang di sini, jauh dari kamu? Ya, Kak Rana sih ngerasa aneh saja. Umur kamu juga terpaut jauh dengan Satria, Kan?”
“Iya emang aneh sih, Kak? Dari dulu aku anggap Dev itu kek kakakku sendiri, temanku, saudaraku. Ya gitu, Kak. Enggak bisa aku jatuh cinta sama dia, meski setiap hari selalu bareng Dev. Tapi, sekarang Dev menjauh, Kak.”
“Dan, kamu kesepian gitu? Ngerasa ada yang kurang?” sambung Kak Rana.
“Ya gitu lah, Kak? Satelah aku dengan Kak Satria. Dia jadi menjauh. Kemarin saja dia pulang, ada acara pembukaan Restoran Om Andre. Dia gak ngasih kabar aku sama sekali, padahal dia ketemu sama papa?”
“Kak Rana juga hadir kok, sama Kak Leo? Iya Dev pulang, dia juga mampir ke sini sebentar dengan perempuan dari Jepang, terus sepupunya dia yang katanya selama ini ikut orang tua Dev, karena kedua orang tuanya sudah meninggal karena kecelakaan.”
“Siapa, kak? Keenan? Terus cewek itu namanya pasti Aiko?”
“Iya betul, cewek jepang itu namanya Aiko, dan sepupu Devan namanya Keenan. Ketemu Nadia juga kemarin. Agak lama malah di sini, ngobrol sama kakak, Kak Leo, dan Nadia. Kakak malah tahunya dia ngabarin kamu juga, Ca?”
“Enggak sama sekali, Kak. Kejamnya dia ...?”
Aku paham, Dev mungkin tidak enak kalau ingin ketemu aku. Apalagi, kalau ada Devan, Kak Satria jadi lebih diam, dan menunjukkan tidak suka dengan Devan. Padahal Devan sikapnya biasa saja denganku.
Tapi, biarlah. Mungkin Dev punya alasan tersendiri tidak menemuiku. Kata papa juga Dev tidak sampai selesai di acara pembukaan Restoran papanya. Dia katanya ada urusan yang lain dengan Aiko, jadi mungkin dia memang sedang sibuk.
“Mungkin Dev sibuk kali, Ca?” ujar Kak Rana.
“Mungkin saja, Kak,” jawabku.
Tak lama aku mengobrol dengan Kak Rana, ada suara memanggilku dari kejauhan. Nadia, dia baru saja pulang dari sekolah. Dia langsung berlari dan berhambur memelukku. Aku sangat kangen sama Nadia. Menginjak remaja Nadia semakin cantik saja.
“Tante Ica ... kangen ih ....” Nadia erat memelukku, dan menciumi pipiku.
“Tante juga kangen sama kamu, Nad. Gimana sekolahnya? Bener udah siap masuk SMP nih?”
“Siap dong? Mau ambil akselerasi lagi malah?” jawab Nadia.
“Wow ... pinter banget sih keponakan tante ini?” ucapku dengan mengusap kepalanya dan mencium keningnya.
“Zifa sini, Sayang, Tante Ica juga kangen kamu.” Aku memanggil Zifa yang sedang berdiri di belakang Nadia.
“Aku kira tante enggak kangen Zifa?” jawabnya.
“Ih kata siapa? Sini peluk tante. Keponakan tante sudah besar ya sekarang?”
“Nadia ganti baju dulu sana?” ucap Kak Leo.
“Ih bentar ayah, Nadia kan masih melepaskan rindu sama Tante Ica?” jawab Nadia kesal.
“Nurut sama ayah, sana ganti baju dulu, tante nungguin kok, masih lama di sini,” ucapku.
“Oke, jangan pulang dulu ya, Tante? Nanti temani Nadia beli buku mau?” pinta Nadia.
“Boleh, sana ganti baju, bersih-bersih dulu, nanti tante temani kamu beli buku,” ucapku.
“Nadia? Kamu kalau ada tante Ica maunya aneh-aneh? Tadi ayah tanya mau ke mana lagi, kamu malah enggak mau?”
“Kan Nadia pengin sama Tante Ica? Udah lama enggak ketemu tante Ica, terus sekarang Nadia enggak mau nyia-nyiain kesempatan ini dong?” jawab Nadia.
“Iya, Nanti tante antar kamu kok? Nurut sama ayah, ganti baju, bersih-bersih, kamu juga belum shalat dzuhur, kan?”
“Siap, Tante!” jawabnya dengan semangat. Bahagia dan bangga melihat Nadia sekarang. Dia tumbuh jadi gadis cantik, pintar, cerdas, dan di usinya yang baru mau sepuluh tahun dia mau masuk SMP.
Aku menggeleng dan tersenyum melihat Nadia yang sepertinya rindu berat dengan diriku ini. Aku pun sangat merindukan dia. Mungkin dengan aku jalan sama Nadia ke toko buku, bisa melepaskan rinduku dengan Nadia, dan dengan Dev, karena Dev dan aku yang dulu sering jalan dengan Nadia, menemani Nadia beli buku atau makan es krim. Eh kenapa Devan? Bukannya kangen sama Kak Satria yang sudah dua hari di bandung, malah kangennya sama Dev? Aku memang kangen dengan Devan, kalau sama Kak Satria ya kangen juga, tapi enggak tahu kenapa, di Cafe Kak Rana aku malah ingatnya dengan Devan?
“Ca, bagaimana kabarmu?” tanya Kak Leo yang duduk di samping Kak Rana.
“Baik, Kak.”
“Kok enggak sama Satria?” tanya Kak Leo.
Pertanyaan Kak Satria membuat aku bingung lagi. Kenapa tanya Kak Satria? Bukannya Kak Leo yang sedang menugaskan Kak Satria di Bandung?
“Bukannya di Bandung? Kak Leo yang menugaskan dia ke Bandung, kan? Sudah dua hari dia ke sana, Kak?” jawabku.
“Bandung? Bukannya sudah selesai proyeknya? Kok ke Bandung sih? Dia memang izin dengan kakak, katanya mau ... ah iya, dia memang ke Bandung. Kakak yang lupa, kakak yang menyuruh dia menuntaskan proyek yang belum selesai. Kakak lupa, memang ada dua proyek di sana.”
Ucapan Kak Leo sepertinya menutup-nutupi sesuatu. Aku yakin Kak Leo menyembunyikan sesuatu denganku. Aneh juga dengan ucapan Kak Leo dan raut wajah Kak Leo yang gugup. Aku yakin ada sesuatu yang Kak Leo tutupi soal Kak Satria.
Aku pun merasa ada yang aneh dengan Kak Satria, kalau dia habis mengirim chat, pasti di telfon tidak pernah di jawab. Aku memahami dia saja, mungkin dia sibuk. Tapi, karena ucapan Kak Leo tadi yang sepertinya mencurigakan, membuat aku semakin curiga dengan Kak Satria. Entah hanya perasaanku saja, atau apa aku gak tahu.
Setelah menerima proyek di Bandung, Kak Satria semakin beda, dia tidak lagi intens menghubungiku. Seperti waktunya semakin padat, dan jadinya dia tidak sempat menghubungiku. Apa ada yang lain di sana? Masa lalunya mungkin? Masa sih? Apa aku tanya saja sama Kak Leo dan Kak Rana? Mungkin mereka tahu soal ini? Ah, tapi rasanya enggak etis aku tanya soal ini.