Bab 7

1308 Words
Mobil sedan berwarna putih yang Nadia kendarai, melewati pagar tinggi —masuk ke dalam sebuah rumah yang terlihat besar dan mewah. Rumah yang Nadia tempati sejak remaja itu, kembali mengingatkan kenangan saat ia pertama kali tinggal di sana. Masa-masa di mana ia dengan berani dan genitnya —menggoda Keanan— yang terlihat di usianya yang masih remaja itu —tampan dan berkarisma. Mengingat hal itu, hanya sebuah senyum sinis yang terpatri di bibirnya. Seolah merutuki betapa bodohnya ia dulu. Nadia keluar dari mobil yang ia parkirkan berjejer dengan mobil mewah, yang Nadia tahu adalah milik Pak Hari —papa Keanan. "Non Nadia!" seru Mbak Nina, salah seorang asisten rumah tangga keluarga Darmaputra, melihat menantu keluarga itu datang. Mbak Nina masih saudara dengan Bi Darmi, yang saat ini diperbantukan di kediaman Nadia, atas permintaan dirinya. "Selamat sore, Mbak Nina. Papa sama mama ada?" Berjalan menghampiri wanita dewasa itu, yang menyambutnya dengan senyuman hangat. "Tuan dan Nyonya ada di kamarnya. Apa mau Mbak panggilkan?" Mbak Nina menawari. "Ehm, apa papa baru pulang?" "Iya, tuan baru sampai lima menit yang lalu." "Begitu. Ya sudah, tidak usah dipanggil kan, Mbak. Biar papa istirahat dulu. Saya masuk kamar saja. Nanti kalau papa dan Mama udah turun, tolong Mbak panggilkan saya yah?" "Baik, Non." Nadia berjalan menaiki tangga, menuju kamarnya yang ada di lantai dua. Menatap daun pintu berwarna coklat tua, kamar yang dulu sering ia masuki —kamar Keanan. Ada perih yang terasa di d**a hadir tiba-tiba, mengingat hubungan baiknya merenggang saat lelaki itu jatuh hati pada seorang model seksi —Maura— yang kini menjadi kekasihnya. Kini meski statusnya telah menjadi istri Keanan, tapi Nadia merasa jika dirinya hanyalah seorang istri bayangan karena sejatinya pria itu malah masih menjalin cinta dengan Maura. Menyembunyikan hubungan terlarangnya di belakang semua orang, termasuk kedua orang tuanya. Tubuh gadis itu direbahkan di atas ranjang berukuran sedang, yang selama ini ia tempati sebelum pindah ke rumah, yang sekarang ia tinggali bersama Keanan. Aroma kamar itu masih sama. Asisten rumah tangga, sangat apik memelihara dan mengurus semua yang ada di dalam rumah itu. Nadia menghirup dalam-dalam aroma yang menyeruak masuk ke dalam hidungnya. Rangkaian memori yang ingin ia lupakan, malah berseliweran hadir di dalam otak dan pikirannya. Tok! Tok! Tok! Suara ketukan pintu mengagetkan Nadia yang tiba-tiba melamun. Melonjak kaget, gadis itu beranjak dari tempat tidur dan berjalan ke arah pintu. "Ada apa, Mbak Nina?" "Maaf, Non, Mbak lupa. Non Nadia mau dibuatkan minuman atau ada kebutuhan lain yang harus Mbak siapkan?" "Oh, enggak usah, Mbak. Nanti aja, saya pingin istirahat dulu. Kerjaan di kantor cukup melelahkan tadi. Lagipula papa dan mama belum turun kan?" Mengintip pintu kamar yang masih tertutup rapat. "Belum, Non. Biasanya 'kan tuan sama nyonya akan turun setelah maghrib nanti." "Ya sudah, nanti Mbak Nina panggil saya kalau papa dan mama turun aja yah?" Sekali lagi Nadia mengingatkan. "Oh iya, Non. Maaf yah, Mbak ganggu?" Dengan wajah menyesal, wanita itu menunduk. "Enggak kok, Mbak. Saya malah makasih banget, Mbak Nina masih perhatian sama saya." "Ya iya dong, Non. Walau pun Non Nadia udah enggak tinggal di sini, tetep aja Non Nadia harus Mbak hormati juga sebagai anggota keluarga di rumah ini." "Hehe, iya deh, iya. Ya udah, saya masuk dulu yah, Mbak." "Iya, Non. Selamat istirahat." Nadia menutup pintu, setelah asisten rumah tangga itu pergi dari kamarnya. Mengurungkan niatnya yang ingin pergi tidur sebelum membersihkan diri, akhirnya gadis itu malah melangkahkan kakinya ke lemari. Mengambil bathrobe di sana, tersusun rapi bersama pakaian miliknya yang sengaja tidak ia bawa ke rumah baru. Akan ia pakai sewaktu-waktu jika ia datang atau menginap seperti hari ini. Nadia menuju kamar mandi, menyalakan keran air di dalam bathtub dengan air hangat. Sepertinya berendam adalah ide yang sangat bagus. Meregangkan otot-otot yang tegang karena seharian bekerja, hanya duduk dan kedua mata menatap layar komputer. Melepaskan semua pakaian yang menempel di tubuhnya. Tercium aroma tak sedap, perpaduan sisa parfum tadi pagi dan —meski tidak bau— mengeluarkan aroma keringat. Masuk ke dalam air yang sudah penuh, duduk dan bersender. Memejamkan kedua matanya, menikmati aroma dari pewangi essential yang ia teteskan. Sangat melegakan dan membuat seluruh tubuhnya rileks. *** [Sayang, aku malam ini enggak ke rumah kamu yah?] Suara Maura di seberang bluetooth earphone yang Keanan pasang, saat ia tengah di jalan hendak pulang ke rumah. "Kenapa? Memang kamu ada acara?" protes Keanan pada kekasihnya itu. [Ada meeting dadakan, ngebahas pemotretan besok. Oh iya, aku mungkin enggak ada di Indonesia seminggu ke depan.] "Kamu mau ke mana?" [Kamu lupa? Besok 'kan aku ada pemotretan di Singapur.] "Oh iya. Aku lupa, Sayang. Ya, enggak apa-apalah. Lagian besok pagi juga aku mesti ke Bali." [Ke Bali? Mau ngapain? Sama siapa?] "Urusan kerjaan, ketemu klien, papa yang nyuruh." [Sendiri?] "Papa nyuruh Nadia nemenin aku." [Apa? Sama istri kamu itu? Awas yah kalo kamu macam-macam!] "Hehe, macam-macam gimana. Lagian apa yang kamu khawatirin sih. Setiap hari juga 'kan aku tinggal sama istri aku, tetapi enggak terjadi apa-apa tuh." [Iya, aku tahu. Tapi 'kan Bali itu tempatnya romantis. Mana tahu kamu kepincut sama Nadia dengan suasana yang ada di sana.] "Haha, kamu ada-ada aja. Mana mungkin aku bisa kepincut cuma gara-gara suasana yang apa kamu bilang tadi, romantis? Enggak mungkin lah. Aku itu kepincut kalo udah liat tubuh kamu yang menggoda, Sayang. Cuma kamu doang." [Gombal! Pokoknya awas aja!] "Iya, Sayang. Kamu bisa pegang omonganku kok." [Ya udah kalo gitu, udah dulu yah, Sayang. Aku udah ditungguin nih sama yang lain.] "Iya, Sayang. Bye." Mendengar jika sang kekasih tidak jadi datang ke rumahnya dan menginap, membuat Keanan sedikit lemas. Moodbooster-nya di malam hari, yang biasa menghangatkan tubuhnya itu, membatalkan kedatangannya tiba-tiba. Entah kenapa, Keanan malah membelokkan mobilnya ke arah lain, berlawanan dengan jalan menuju rumahnya sendiri. Jalan yang tanpa Keanan sadari, malah mengarah ke rumah kediaman kedua orang tuanya. "Kenapa aku jadi belok ke sini? Ini 'kan jalan ke rumah papa!" Keanan bicara sendiri. "Ah, bukankah kata papa, Nadia sore ini akan ke sana juga? Biarlah, aku pun ke sana, aku ingin tahu ada apa papa memanggil perempuan itu. Walau aku yakin, pasti tidak akan jauh dari urusan pekerjaan." Dengan segera Keanan melajukan kendaraaannya semakin kencang, menuju rumah kediaman Darmaputra —orang tuanya. Jalanan yang macet, membuat ia sampai lebih lama. Tiba di depan gerbang rumah, Keanan menyalakan klakson, berharap petugas satpam membukakan pintu gerbang tanpa harus ia yang keluar mobil. "Eh, Tuan Keanan!" seru petugas satpam yang sedang berjaga. Pintu gerbang terbuka. Dari kejauhan nampaklah oleh kedua mata Keanan, mobil silver milik sang istri sudah terparkir di sana. Mobil Keanan parkir di belakang mobil Nadia. Menekan tombol remote kunci mobil, kemudian masuk ke dalam rumah besar. Waktu menjelang maghrib, dengan lampu penerangan yang sudah asisten rumah nyalakan, membuat suasana di dalam semakin terasa sunyi. Keanan yakin jika penghuni rumah berada di dalam kamar masing-masing, termasuk istrinya. Papa dan mamanya akan terlihat saat akan makan malam nanti. Keanan bertemu dengan Mbak Nina, saat wanita itu hendak menuju dapur untuk menyiapkan makan malam. "Tuan Keanan? Datang ke sini juga. Kok enggak bareng sama Non Nadia tadi?" tanya Mbak Nina heran. "Iya, Mbak. Saya masih ada kerjaan tadi, jadi datangnya belakangan deh." "Oh gitu. Apa ada yang Tuan Keanan butuhkan, biar Mbak siapkan." "Enggak ada, Mbak. Makasih. Semua orang pada ke mana?" "Di kamar masing-masing, Tuan." "Oh, ya sudah kalo gitu. Saya juga masuk masuk kamar aja." Keanan beranjak meninggalkan Mbak Nina, yang memandangnya heran. Entah apa yang dipikirkan asisten itu, melihat Keanan dan Nadia datang di hari yang sama namun di waktu yang berbeda. Mbak Nina tahu apa yang terjadi dengan kehidupan rumah tangga Nona dan Tuan Mudanya itu. Saudaranya —Bi Darmi— yang memberitahu jika rumah tangga Nadia tidaklah seperti yang diharapkan kedua majikannya, Pak Hari dan juga Nyonya Ranti. Namun, wanita itu tidak berada dalam ranahnya untuk turut campur. Ia cukup merasa iba pada nona mudanya itu, seperti yang Bi Darmi juga rasakan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD