Keanan sampai di tangga terakhir ketika tiba-tiba tujuannya berubah. Belum melanjutkan langkah menuju kamarnya, spontan ia melirik ke arah kamar Nadia. Tujuan kaki itu berbelok menuju kamar, dengan hiasan kayu berbentuk bunga sakura di daun pintunya. Bunga yang berasal dari negeri matahari terbit, yang sangat Nadia suka dan tak pernah absen istrinya kunjungi, setiap satu tahun sekali itu.
Bagaimana lelaki itu tahu dengan hal yang disukai oleh Nadia? Tentu Keanan tahu. Karena sejak gadis itu tinggal di rumahnya, dan di asuh oleh keluarga Darmaputra, Nadia selalu berceloteh kalau ia sangat menyukai negara Jepang tersebut.
Usia remaja kala itu, membuat Nadia belum memiliki kontrol dalam bercerita. Tak peduli ia, apakah orang-orang di sekitarnya akan bosan atau tidak mendengarnya berbicara setiap saat, dengan wajah binar bahagia bila sedang membicarakan negara itu.
Hingga Pak Hari membuat impiannya terwujud dengan memberikan tiket liburan ke Jepang untuknya. Salah satu rekan kerja papa Keanan, di bagian agen travel, memiliki paket festival sakura. Sebagai sebuah kejutan untuk Nadia, Pak Hari dan Nyonya Ranti mengijinkan Nadia pergi berlibur dengan ditemani oleh Sean —sang sahabat.
Awalnya Keanan-lah yang ditunjuk oleh Pak Hari untuk menemani Nadia berlibur, tetapi Keanan menolak. Karena saat itu ia tengah gencar mendekati seorang model untuk dijadikannya sebagai kekasih hati —Maura. Dan itu belum Nadia ketahui.
Meski sedikit sedih, tetapi liburan yang akhirnya ia ambil, dapat mengobati kesedihannya. Sean, bisa membuat Nadia melupakan semuanya. Gadis itu bisa menikmati jalan-jalannya ke Jepang dengan perasaan bahagia.
Mengingat hal itu, membuat Keanan tersenyum. Ya, dulu ia memang dekat dengan Nadia. Gadis remaja yang selalu mengikutinya ke mana pun. Yang Keanan tahu karena rasa cinta yang gadis itu miliki padanya. Cinta monyet, Keanan pikir.
Semenjak ia jatuh cinta pada Maura, Keanan sudah tidak terlalu peduli pada gadis itu. Bahkan ia melihat semua yang ada dalam diri Nadia adalah sesuatu yang jelek. Sifatnya yang menurut ia centil dan juga cerewet, lambat laun menimbulkan rasa jijik di hati Keanan jika berada dekat dengannya.
Namun sekarang, ketika Nadia meminta untuk diceraikan jika dirinya ingin menikahi Maura, Keanan seolah tidak rela. Bukan karena ia mulai menyukai gadis itu, bukan. Tapi karena ia tidak mau jika kedua orang tuanya akan membenci bahkan mencoret namanya dari kartu keluarga.
Keanan ragu-ragu untuk membuka pintu. Entah dorongan dari mana, lelaki itu malah ingin masuk ke dalam kamar sang istri, dan bukan kamarnya sendiri.
Pintu kamar ternyata tidak Nadia kunci. Keanan semakin memantapkan langkah kakinya untuk masuk ke dalam. Tuhan seolah menakdirkan dirinya untuk melanjutkan aksi tak terencana itu. Bukankah ia memang suami Nadia, tidak akan ada orang yang menuduhnya sebagai seorang penjahat bukan —dengan kurang ajar masuk ke dalam kamar seorang perempuan?
Pintu kembali Keanan tutup ketika ia benar-benar masuk. Diputar kunci agar tidak ada orang yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar.
Entah setan atau malaikat —Keanan sendiri bingung— yang membuatnya nekat masuk ke dalam kamar sang istri.
Memandang isi kamar yang sedikit berbeda dibanding terakhir kali ia lihat beberapa tahun yang lalu. Tahun terakhir di mana ia masih sering bolak-balik ke sini, yang senang menjahili Nadia remaja.
Tidak ada lagi bingkai poto dirinya sendiri di sebelah poto Nadia yang sedang memakai seragam SMA. Juga tidak ada gambar ia dan gadis itu dalam satu bingkai poto. Posisi itu sudah berubah dengan hiasan dinding besar, bergambar bunga sakura —bunga favoritnya. Selain itu tidak ada yang berubah. Hanya tempat tidur yang sepertinya berganti dengan ukuran yang lebih besar.
Di tengah Keanan mengenang isi kamar Nadia, sang istri keluar dari dalam kamar mandi dalam penampilan yang membuatnya harus menelan saliva kuat-kuat.
Bagaimana tidak, sejak gadis di depannya itu memutuskan menutup aurat di seluruh tubuhnya, tak pernah sekali pun Keanan melihat Nadia memakai pakaian terbuka —walau pun dulu pakaian yang gadis itu kenakan selalu sopan. Tapi sekarang setelah sekian tahun, Keanan seolah mendapat rejeki durian runtuh di depan matanya.
Nadia keluar dengan menggunakan handuk di badan, yang hanya tertutup sampai setengah pahanya saja. Rambut yang basah setelah berendam dan mandi —dengan tetesan air ke pundak dan punggung— tampak seksi di mata Keanan.
Gadis itu tentu saja kaget setengah mati. Dirinya yang belum pernah terlihat seperti saat ini di depan pria mana pun termasuk suaminya itu, terbelalak demi melihat sosok Keanan ada di kamarnya. Tak tahu harus berbuat apa karena syok, Nadia sesaat membeku di posisinya.
Tersadar, Nadia hendak berbalik kembali ke dalam kamar mandi.
"Tunggu!" seru Keanan.
Seketika Nadia menghentikan langkahnya. Masih dalam posisi saling berhadapan, tetapi tak berani menatap, Nadia terdiam.
Keanan maju dengan langkah pelan.
"Mau apa kamu ke mari?" sahut Nadia, dengan tatapan tajam, akhirnya berani melihat ke arah Keanan. Berharap langkah kaki itu terhenti.
Namun Nadia salah, Keanan bergeming. Dan malah semakin mempercepat langkahnya.
Menahan dengan sangat kuat perasaan malu, sebab tubuhnya dilihat oleh seorang lelaki meskipun halal untuknya, Nadia mengepalkan kedua tangan. Satu tangan ia kepalkan di atas handuk tepat di depan d**a —menjaga kain tebal itu tidak melorot jika ia terbawa emosi.
"Keanan, berhenti!" pinta Nadia sedikit berteriak.
"Nadia, apa kamu ingin kedua orang tuaku dan seluruh orang di rumah ini datang ke kamar kamu setelah mendengar teriakan dari mulutmu?"
"Biar saja mereka ke sini, sebab ada lelaki kurang ajar yang tanpa permisi masuk ke dalam kamar perempuan."
"Lelaki kurang ajar yang kamu maksud adalah suamimu, kalau kamu lupa."
"Aku memang selalu lupa kalau punya suami yang masih suka bercinta dengan perempuan lain di belakang!" Nadia tak mau kalah.
"Aku bosan mendengar celotehanmu yang itu-itu saja!" hardik Keanan dengan mata yang terlihat membesar.
"Apa? Kenapa kamu terganggu kalau aku selalu membahas hal itu-itu saja? Aku juga bosan melihat tingkah kamu yang bikin aku ilfeel."
"Kau!" Keanan semakin memajukan tubuhnya mendekati Nadia.
Jarak di antara keduanya sangat dekat. Nadia waspada. Kejadian tadi siang masih segar dalam ingatannya. Ia tak mau jika aksi kurang ajar Keanan terulang lagi sekarang —di kamarnya— dalam penampilan yang membuat Nadia ingin segera lari menghindari.
Mendapati sikap waspada yang terbaca oleh Keanan, membuat ide gila muncul di benak lelaki itu.
Keanan semakin mendekatkan tubuhnya ke arah sang istri. Nadia ikut mundur seiring langkah kaki suaminya yang semakin tak berjarak. Lelaki itu memajukan kepala mendekat ke arah wajah Nadia.
"Keanan jangan macam-macam! Aku minta kamu pergi dari kamarku. Kalau tidak?"
"Kalau tidak apa, hem?"
"Kalau tidak ...?" Nadia semakin terbata, dirinya sudah tidak bisa mundur karena terbentur dinding dekat pintu kamar mandi.
"Apa, Nad? Kalau tidak apa, aku menunggu. Apa kamu akan teriak, hem?"
"Iya, aku akan teriak!"
"Haha, teriaklah sekuat tenagamu!" Keanan membalas.
Kini kedua tangan Keanan diletakan di dinding samping kanan kiri kepala Nadia, mengungkung tubuh sang istri yang tak bisa ke mana-mana.
Nadia tampak panik, sungguh ia tidak mau jika setan merasuki tubuh Keanan saat ini. Kejadian yang membuat ia kehilangan momen ciuman pertama meski direnggut oleh orang yang ia cintai, berharap tidak terulang.
"Kenapa, Nadia? Kamu takut?"
"Untuk apa aku takut!" Masih berusaha tak gentar, Nadia melawan.
"Nadia, Nadia, jangan kamu paksakan sikap sok beranimu itu. Aku tahu hanya dengan melihat wajahmu saja kalau kamu sedang panik."
"Siapa yang panik?"
"Benarkah?" tanya Keanan sangsi.
Tidak menunggu gadis itu menjawab, Keanan malah menempelkan hidungnya di pipi sang istri. Menghirup dalam aroma yang menguar, sebab wangi sabun muka yang istrinya pakai ketika tadi mandi.
"Keanan hentikan!" Dengan suara tertahan, Nadia masih berusaha untuk menghentikan aksi yang Keanan lakukan.
"Shut! diamlah! bisakah kamu nikmati saja?"
***