Raina tak berhenti menatap pria yang tengah menjawab pertanyaan dari salah seorang peserta seminar. Ia tengah mengikuti seminar yang diadakan kampus. Seminar yang diadakan khusus untuk jurusan Bisnis Manajemen kali ini mendatangkan seorang pengusaha sukses, Beryl Narendra sebagai pembicara.
Beryl Narendra adalah CEO S-Browser. Perusahaan pencipta aplikasi penjelajah web untuk telepon genggam. Pria berusia 28 tahun dengan wajah tampan dan berkharisma tentu mampu menyeret wanita manapun bertekuk lutut, tak terkecuali seorang Raina Sivia. Wanita mana yang tak akan menjerit saat melihatnya? Kaya, cerdas, tampan, dengan tubuh proporsional, benar-benar menggoda kaum hawa untuk memilikinya.
Raina masih terpaku tak henti-hentinya menatap Beryl dari tempat duduknya. Bahkan saat moderator kembali mempersilahkan peserta bertanya, ia sama sekali tak memperhatikan. Mungkin, inilah yang dinamakan cinta pada pandangan pertama.
"Hei ... Raina!" Teman yang duduk di sebelahnya menyiku lengannya.
"Ada apa, Grace?" tanya Raina tanpa menoleh.
Grace, nama temannya itu memperhatikan arah pandangnya. "Jangan bilang kau naksir pada Beryl," bisiknya dengan tetap menatap lurus pada moderator.
"A-- apa? Ten-- tentu saja tidak!" kilah Raina yang akhirnya mengalihkan pandangannya pada Grace.
"Kau tidak bisa menipuku, Sayang," goda Grace dengan menaik turunkan alisnya.
"Jangan mengatakan hal yang tidak-tidak, Pigy. Aku hanya kagum padanya, tahu!" Raina mengalihkan pandangannya menatap arah lain. Pigy adalah panggilannya untuk sahabatnya itu.
"Mau kuberi nomor ponselnya?" Grace menunjukkan ponselnya di depan Raina dengan layar yang terpampang jelas foto profil pria itu.
"Darimana kau ...." Raina tak dapat melanjutkan kata-katanya saat suara moderator terulang dengan menunjuk arahnya dan Grace.
"Ada yang ingin kalian tanyakan?" Lagi, moderator menunjuk ke arahnya yang kini terdiam kaku.
Kakinya menendang kecil kaki Grace memberinya isyarat. Namun justru disalah artikan olehnya, atau? Sepertinya wanita itu memang sengaja. Grace berdiri dari duduknya dengan percaya diri.
"Iya," kata Grace dengan tersenyum manis.
"Sebelumnya, perkenalkan dulu nama anda, Nona," ujar sang moderator.
"Namaku Grace Violin, dan yang ingin bertanya adalah temanku, Raina Sivia." Grace menunjuk Raina dan kembali duduk. Grace tertawa dalam hati sementara tubuh Raina sudah banjir keringat dingin.
Ia menoleh kaku pada Grace dan melotot padanya. "Kau gila!" katanya, dengan hanya menggerakkan mulut tanpa keluar suara.
"Hahaha, anda begitu lucu, Nona." Dan ucapan moderator diikuti tawa para peserta seminar. Seminar berjalan santai dengan sesekali selingan kecil untuk merilekskan otak. "Jadi, apa yang ingin anda tanyakan, Nona? Dan silahkan perkenalkan nama anda terlebih dahulu."
Raina mencoba berdiri dengan kaku, ia tidak tahu apa yang harus ia katakan atau tanyakan, perhatiannya sedari tadi tertuju pada pembicara yang tak lain adalah Beryl, yang saat ini menatap ke arahnya.
"Na-- namaku Raina Sivia, mahasiswi semester akhir. Pertanyaan saya untuk Tuan Beryl adalah ...." Keringat dingin kian mengalir deras dari pelipisnya. Ia tidak tahu apa yang harus ia tanyakan sesuai tema yang sebelumnya disampaikan pembicara.
"St ... Raina, ini." Grace memberikan bukunya yang sudah ia tulis sebuah pertanyaan. Dengan segera Raina menerimanya dan kembali mengulangi kata-katanya.
"Yang ingin saya tanyakan adalah." Melirik buku Grace ditangannya dan membacanya dengan cepat. "Maukah anda menjadi kekasih saya?"
"Heeee!" teriakan orang di ruangan itu saling bersahutan.
Raina melotot pada tulisan yang baru ia baca, kemudian pada Grace yang hanya nyengir kuda.
"Bunuh aku sekarang juga!" teriak Raina dalam hati.
***
"Hiks ... Hiks ... Aku tidak mau kuliah!" Raina masih menangis dengan membenamkan wajahnya pada bantal berbulu miliknya. Saat ini ia telah meringkuk di apartemennya. Sejak hari dimana ia mengajukan pertanyaan pada pembicara di acara seminar kemarin, ia jadi aktris dadakan seantero kampus.
"Kau jahat, Pigy. Aku benci padamu!" racaunya.
"Hehehe, maafkan aku, Honey. Aku hanya bercanda." Grace merasa sangat bersalah sekarang. Ia duduk di tepi ranjang dan berusaha menenangkannya.
"Bercandamu sangat keterlaluan!" bentak Raina dengan masih menangis bombay.
"Ayolah Honey, maafkan aku. Aku tidak menyangka akan seperti ini." Grace masih berusaha meminta maaf. Ia tidak bermaksud mempermalukan Raina waktu itu.
"Pergi sana, mulai besok aku akan minta pindah kuliah ke planet lain," kata Raina dengan masih menangis meracau gak jelas. Sebenci apapun ia pada Grace, ia tidak benar-benar ingin memutus persahabatan mereka, hanya saja kali ini Grace sudah keterlaluan, mempermalukannya di depan pria yang ia kagumi dan orang banyak, ia yakin namanya sudah jadi gunjingan sekampus.
Grace akhirnya mengalah, ia memberi waktu pada Raina untuk sendiri dan sebuah ide muncul agar Raina memaafkannya.
Keesokan harinya, seperti yang Raina katakan, ia tidak masuk kuliah, lagi. Matanya masih sembab dan sekarang tengah membasuh muka di kamar mandi.
Ting ... Tong ...
Suara bel apartemennya menghentikan aktivitasnya untuk bersiap membersihkan diri. Ia berjalan ke arah pintu depan guna membukakan pintu untuk tamu yang tidak ia ketahui.
Cklek ...
Matanya melebar seketika melihat siapa yang berdiri di hadapannya dengan melempar senyuman untuknya.
"Hai ...."
Orang itu melambaikan tangan dengan senyum yang tak lepas dari bibirnya. Dan sebuah buket bunga berada ditangan kanannya.
Raina tersenyum miris dan bergumam, "Ini mimpi, sadar Raina ... sadar ...." Raina menepuk jidatnya dan menggelengkan kepala. Ini pasti halusinasinya semata, melihat Beryl Narendra tengah berdiri di hadapannya dengan sebuket bunga dan senyum menawan ke arahnya.
Puk ...
Sebuah tangan mendarat di dahinya dan seketika itu juga matanya kembali melebar.
"Grace bilang kau sakit, apa kita perlu ke rumah sakit?" kata Beryl yang masih menempelkan punggung tangannya pada dahi Raina guna mengecek suhu badannya yang dirasanya memang panas.
Braak!
Raina segera menutup pintu, meraup udara rakus dan kembali membuka pintu secara perlahan.
Beryl terkekeh kecil melihat tingkah konyol Raina.
Lagi, Raina mengulanginya dan tetap melihat Beryl berdiri di depan pintu. Dan saat Raina hendak kembali menutup pintu, Beryl segera mencegahnya.
"Kurasa ... ini tidak akan berakhir," katanya dengan senyuman yang sanggup membuat Raina meleleh.
Bruk!
Dan akhirnya Raina pingsan saat tatapan mata mereka bertemu.
***
Rasanya baru kemarin, nyatanya kejadian memalukan itu sudah terjadi tujuh bulan yang lalu. Raina membersihkan sikat giginya dan meletakkannya kembali ke tempat tinggalnya. Ia menampung air di kedua tangannya dan membasuh wajahnya yang kusut. Kegiatannya terhenti kala menyadari seseorang memperhatikannya.
Saat ini Satya tengah bersandar pada pintu dan menatapnya intens.
Raina mengabaikannya dan kembali membasuh muka. "Kau bisa menggunakan kamar mandi sekarang," ucapnya yang kini berjalan pelan hendak keluar dari kamar mandi. Sebelum mencapai pintu, Raina meraih tas yang teronggok bersama baju kotor dalam keranjang baju kotor di samping pintu. Membuka mini bag itu dan mengambil sekitar 10 lembar uang pecahan seratus ribuan dari dalamnya.
"Ambil ini dan anggap tidak ada apapun yang terjadi," katanya dengan memberikan uang itu pada Satya.
Alis Satya mengernyit, kemudian menatap datar pada lembaran uang yang masih mengudara di depannya. "Kau pikir aku Gigolo?"
"Tidak, anggap saja ini sebagai ucapan terimakasih," jawab Raina dengan suara dingin.
"Bayaranku lebih mahal dari ini," kata Satya dengan menatap Raina dari atas sampai bawah.
"Berapa? Aku akan mengambil uang tambahan." Raina hendak melewati Satya, tujuannya adalah lemari besar tempat dimana ia menyimpan barang-barangnya.
Satya menaikkan kakinya sebagai penghalang membuat Raina menatapnya penuh tanya.
"Biarkan aku lewat, uangku di lemari dan aku akan mengambilkannya, setelah itu kumohon, pergilah," ujar Raina dengan memasang ekspresi wajah tenang.
"Sudah kukatakan, bayaranku sangat mahal," ucap Satya tak kalah tenang dari ucapan Raina.
"Berapa? Sebutkan, aku akan mentransfer ke rekeningmu jika uangku di sini tidak cukup." Raina mengencangkan tali piyama tidurnya dan menatap Satya tajam.
"Kau begitu munafik, Nona. Memaki kekasihmu yang hanya menilaimu karena uang, sementara kenyataannya kau juga sama, menilai sesuatu hanya dari uang," ucap Satya yang sukse membuat Raina tertohok.
"Sudah, katakan saja berapa nominal bayaranmu!" suara Raina mulai meninggi. Ia menatap Satya dengan mencoba meredam amarahnya, karena ucapan pria itu kembali mengingatkannya pada Beryl yang menganggap cintanya hanya karena uang.
Satya mendekatkan wajahnya dan berbisik, "Bayaranku adalah seumur hidupmu."
"Apa maksudmu?!"
"Aku tidak butuh uangmu, aku ingin kau menikah denganku dan mengabdikan hidupmu padaku seumur hidupmu sebagai ganti rugi karena kau telah memaksaku semalam." Seringai kini tercetak jelas di wajah tampannya.
Rasanya Raina ingin terjungkal ke belakang mendengar ucapan gila pria di hadapannya. Meski kenyataannya, memang benar adanya demikian, dialah yang memaksa Satya.
"Jangan bercanda, bukankah sebaliknya? Dan kau tidak bodoh untuk membedakan bahwa ini juga kali pertama untukku." Raina bersedekap d**a dan menatap Satya tak gentar.
"Dan aku tidak akan melakukannya jika kau tidak menggodaku. Dan tentu kau tahu, semua ini kau yang memulainya." Satya menunjuk bahkan menekan d**a kiri Raina dengan telunjuknya.
"Ck." Raina hanya bisa berdecak kesal karena yang dikatakan Satya benar adanya, ia yang memulai dan menggodanya.
"Baiklah, jika kau memaksa." Satya merampas uang dari tangan Raina. "Aku ambil ini sebagai gigolomu pagi ini. Tapi, untuk bayaranku semalam yang telah melayanimu sampai kau puas, adalah yang sudah ku katakan tadi." Satya menarik tangan Raina, menyeretnya kembali ke ranjang dan menindihnya.
"Sialan kau!" teriak Raina marah.
"Kenapa? Bukankah kau yang menganggapku gigolo? Dan bukankah tugas seorang Gigolo adalah untuk melayani sampai konsumen puas?" Seringai mengejek kini terpatri di wajah tampan Satya.
"Baiklah, aku minta maaf," teriak Raina saat Satya mulai mendekat.
Akhirnya, akhirnya kata itu terlontar dari mulut Raina membuat Satya menghentikan aksinya.
"Aku minta maaf, kau puas?" Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Raina namun tak membuat Satya menyingkir dari atas tubuhnya.
Raina tahu, pria di atasnya ini bukan seorang gigolo dan bukan pria yang dapat menghapus ingatannya hanya karena uang.
"Kau tahu rasanya saat perasaanmu hanya dihargai oleh lembaran kertas, bagaimana bisa kau melakukannya pada orang lain?" kata Satya dengan tatapan datar.
"Aku hanya-- hanya tidak tahu apa yang harus aku katakan padamu." Raina menangis dengan isakan kecil yang terdengar. "Aku hanya takut dan berharap kau melupakan kejadian memalukan ini." Menutup wajahnya dengan kedua tangan dan mencoba meredam isakannya.
Tatapan Satya kini sedikit melunak. Ia tahu apa yang Raina rasakan dan ia juga akan melakukan hal yang sama jika berada di posisinya.
Satya bangkit dari atas tubuh Raina dan berjalan menuju kamar mandi.
Raina menurunkan kedua tangannya saat dirasa Satya tak lagi menindihnya. Tatapannya mengarah pada pintu kamar mandi yang baru saja tertutup.
Pikirannya benar, meski Satya hanya seorang pengantar paket dengan gaji tak seberapa namun ia sama sekali tak memilih uang. Justru, hanya dengan kata maaf pria itu menghentikan niatnya menyadarkannya dengan cara kasar. Tapi, masalahnya sekarang adalah ... artinya Satya serius dengan ucapannya. Bahwa ia harus membayar kebodohannya dengan menikah dengannya.