Tidak ada yang mampu menasehati orang yang cintanya masih menggebu-gebu dari ujung kaki sampai puncak kepala. Meskipun tahu, cintanya tak pernah terbalas. Cinta yang tak diikuti logika dan rasa sadar, serupa dengan api yang berkobar dalam diri yang perlahan akan membakar dan menghabisi ambisi yang mulai pudar. Tapi siapa yang sanggup menakar rasa? Cinta tumbuh seperti kuku yang meskipun sudah terpotong, akan tetap tumbuh dengan sendirinya. Meskipun sudah berkali-kali tertolak dan ditampar oleh kenyataan. Namun tuannya pun tak sanggup untuk menghentikannya.
Alih-alih mencari yang lain, ketidakpastian hidup akan selalu membawa harapan-harapan kepastian seperti ; mungkin ia akan berubah pikiran. Atau mungkin ; kita pasti bisa menjalin sebuah kemesraan.
Bukankah cinta memang serumit dan sekeras kepala itu, kawan?
Aku masih tetap menyimpan rasa pada Artemesia.
Meskipun sudah lama tidak berjumpa, setidaknya aku masih bisa melihat dirinya di sosial media. Dia bagaikan senja yang kulihat saat sore, yang indah ku pandangi, yang lelah ku tunggui. Dan akan tenggelam bersama malam tanpa aku sadari.
Mungkin rasa ini juga akan pudar bersama malam yang menenggelamkan si sandyakala.
Setelah lulus sekolah, aku kembali memperjuangkan angan yang masih berkeliaran di atas kepala.
Mengharap kehidupan perkuliahan seperti sinetron di televisi merupakan pembodohan. Banyak yang aku ketahui melalui mulut beberapa orang yang menceritakan bagaimana lika-liku kehidupan setelah terjun dalam perkuliahan. Ada yang mati-matian bekerja part time untuk membantu orang tua, membayar uang kuliah tunggal, atau lebih biasa disingkat UKT. Ada yang bersusah payah menyelesaikan skripsi yang kebetulan mendapatkan dosen pembimbing cukup sulit untuk diajak konsultasi. Ada yang tidak banyak memiliki teman sebab ia tak pandai berinteraksi. Ada yang terlalu sibuk mengikuti banyak organisasi hingga lupa kalau ada SKS (Satuan Kredit Semester) yang belum terpenuhi. Dan masih banyak kisah lain yang aku dengar maupun yang aku baca dari sosial media pula.
Sebenarnya alasanku ingin masuk ke dunia perkuliahan adalah aku ingin jauh dari rumah.
Kala itu ibu tengah dekat dengan seorang pria yang ku dengar dari tetangga dekat rumah kalau pria itu tidak baik, malas bekerja, dan suka main perempuan. Entah setan apa yang berbisik padaku untuk menjauh dari ibu, hanya karena hal sepele itu.
Aku marah.
Itu jelas.
Ayah baru meninggal beberapa bulan yang lalu, sementara ibu sudah menaruh hati pada pria lain yang sebenarnya aku kenal betul siapa orang itu.
Pria itu adalah seorang duda yang ditinggal wafat oleh istrinya 6 tahun yang lalu. Pria yang ku kenal memiliki watak kasar dan garang. Siapapun akan menganggap pria itu ringan tangan saat mendengar nada bicaranya yang ketus. Oleh karena itu, aku pun tidak merestui hubungan ibu dan pria itu.
Aku bukanlah tipe orang yang mudah mengekspresikan rasa marahku. Aku lebih suka mendiamkan orang lain saat aku tidak menyukai tindakannya.
Termasuk ibu.
Aku kerap mendiamkan ibu ketika aku mengetahui kalau ibu masih sering berteleponan hampir tiap malam seperti ABG jaman sekarang. Bukan cemburu. Tapi kalau boleh berkata jujur, di lubuk hati yang paling dalam, aku merasa kalah dengan kemajuan percintaan ibu.
Aku masih sendiri.
Aku terlalu takut memulai hubungan. Padahal aku belum mencobanya. Aku hanya menganalisa, menganalisa, dan menganalisa. Aku mencari pertanda kalau-kalau ada yang berbeda. Sehingga aku bisa berjaga-jaga saat ada hal buruk yang datangnya tidak dapat ditunda. Aku belajar bahwa memulihkan kepercayaan dan keberanian tidak semudah membalikkan telapak tangan. Aku mulai menaruh keraguan pada setiap orang yang hadir dalam hidupku.
Aku berpikir bahwa semua orang berpotensi menjadi pengkhianat. Bahkan orang yang menurut hati kecil kita sangat yakin bisa dipercaya. Yang perlu kita lakukan hanya percaya dengan kemampuanmu sendiri.
Setelah kepergian ayah, ternyata ada banyak kisah kelam yang disembunyikan dariku.
Aku pikir selama ini keluargaku baik-baik saja. Aku pikir, aku adalah anak yang beruntung berasa dalam keharmonisan keluarga. Akan tetapi, semenjak ibu menceritakan semua itu. Kini aku mengerti, aku hanya tumbuh dari pilu, aman yang ternyata palsu.
Mungkin sejak itu aku sulit mempercayai orang lain.
Aku menjadi seseorang yang memilih melangkah mundur apabila segala yang di depan tidak terkesan cukup aman. Ada terlalu banyak hal yang aku takutkan. Ada terlalu banyak hal yang masih berantakan.
Sekali lagi, aku memilih untuk sendiri. Menutup semua jalan dan kemungkinan untuk ditemani. Aku hanya perlu mencintai orang dalam diam dan bersembunyi. Atau mungkin aku harus berhenti sebelum memulainya kembali.
***
"Bubur ini hancur seperti keluargaku, ya?" Aku bergurau pada Dyah, teman masa kecilku.
Dyah tertawa kecil meskipun agak bingung dengan pertanyaanku. "Emangnya kenapa sama keluargamu?"
"Nggak ada apa-apa sih. Cuma asal nyeplos aja." Sahutku tersenyum getir.
Ada terlalu banyak pertimbangan untuk menceritakan keluh kesah diri ini pada orang lain. Mereka pasti memiliki masalah sendiri, aku tidak ingin membebani. Toh, pernah sesekali aku bercerita pada temanku, "aku capek banget, keluargaku sekarang—
"Mending kamu, lah aku?"
Dan saat itu aku berhenti mengeluh. Karena setiap kali ku pinjam telinga— katanya lukaku tak seberapa.
Kini rutinitasku menjadi pengangguran yang banyak acara. Tiap hari hanya pergi keluar rumah. Asalkan bensin selalu ada, aku akan pergi kemana saja dan mengajak siapa pun yang berkenan. Alasanku tidak terlalu betah di rumah karena desas-desus kedekatan ibu dan pria itu semakin menyebar luas ke seluruh desa. Tidak keseluruhan sih, akan tetapi berhasil membuatku cukup jengah dengan bisik-bisik tetangga.
"Ibumu deket sama orang itu ya?"
"Ihh kok ibumu mau sih?"
"Heh! Dia itu ringan tangan. Awas, nanti ibumu jadi korbannya."
Dan masih banyak lagi bisikan yang lainnya.
Mungkin karena aku masih remaja yang menuju masa pendewasaan. Aku kerap terpancing emosi saat gosip tentang keburukan pria itu sampai ke telingaku. Maka dari itu, aku tetap tidak merestui hubungan mereka walau aku belum tahu betul kebenarannya.
Tapi namanya remaja yang mudah terpengaruh omongan orang lain. Aku bisa apa selain mempercayainya?
Aku menghela napas panjang. Sorot mataku tertuju pada jalanan yang ramai lalu lalang kendaraan. Kisah manusia itu beragam ya? Ada yang tumbuh dari badai marah riuh yang berisik. Ada yang lahir dari nyaman yang ternyata palsu. Ada yang berkembang tanpa kasih sayang orang tua. Ada pula yang tersenyum menahan rasa sedihnya.
Malam menua sekali lagi, aku selalu ingin menghabiskan malam dengan melihat kisah manusia di jalan yang aku lewati.
"Kamu yang nyetir, atau aku?"
"Aku aja." Sahutku cepat.
"Yakin? Katanya minusmu nambah." Dyah menunjuk kacamataku yang melekat di wajah.
Aku mengernyit saat Dyah meragukan kemampuanku dalam menyetir motor. "Aku cuma rabun jauh, bukan buta."
Meskipun aku baru belajar naik motor saat memasuki SMA, tapi aku sudah mahir menyalip kendaraan seperti bis, truk, dan sejenisnya. Jangan ditiru ya. Karena aku masih belum punya surat izin mengemudi yang seharusnya dimiliki pengendara motor.
Dyah akhirnya menyetujuinya. Toh, dia juga tidak terlalu bisa mengendarai motor dengan baik.
Malam selalu menyuguhkan angin dingin yang menembus sampai tulang terdalam saat memasuki jam 10 ke atas dimana jalanan sudah mulai sepi pengendara karena di sini bukanlah ibu kota. Di sini hanyalah kota kecil yang kebetulan memiliki banyak wisata.
Aku memelankan laju motor sambil mengamati tiap kegiatan manusia di sana.
Mataku tertuju pada orang dalam gangguan jiwa yang mendekati seorang pengemis. ODGJ itu memberikan beberapa kepingan uang receh pada si pengemis. Hal tersebut berhasil membuat hatiku terenyuh. Bahkan seorang yang dianggap gangguan jiwa, masih punya rasa kemanusiaan pada yang lainnya, entah itu dihitung kebetulan atau takdir.
Aku hanya tersenyum kecil.