Hari ini adalah hari yang telah dinanti-nanti. Momen sakral di mana Gala dan Sasha akan mengikat janji suci pernikahan mereka. Ballroom hotel telah disulap menjadi tempat yang sempurna untuk pernikahan Gala dan Sasha, dengan dekorasi megah dan penuh bunga putih yang mempesona. Tamu undangan juga tampak sudah memenuhi ruangan.
Ya, setelah pertemuannya dengan Karin waktu itu, Sasha memang sempat ragu dengan pernikahan ini. Hanya saja, ia sudah terlanjur menandatangi kontrak perjanjian yang Gala ajukan beberapa waktu lalu.
“Kamu cantik banget, Sha. Gak salah deh Om aku jadiin kamu istrinya,” celetuk Rena dengan senyum lebar, saat menemani Sasha di ruang ganti pengantin.
“Kamu bisa aja sih, Ren. Jadi malu,” jawab Sasha, wajahnya memerah mendengar pujian dari temannya itu.
“Kenapa malu? Emang kamu cantik banget, Sha. Yakin deh, pasti Om Gala langsung klepek-klepek pas lihat kamu nanti. Ah … pasti lucu deh!” ucap Rena sambil cekikikan membayangkan reaksi Gala yang akan terpesona melihat penampilan Sasha.
“Ish, Rena, ada-ada aja,” jawab Sasha, sambil memukul pelan pundak Rena. Meski ikut tertawa, hati Sasha tidak bisa menipu. Ada perasaan cemas yang menyelimuti dirinya. Ia tahu ini adalah momen yang seharusnya penuh kebahagiaan, tapi entah kenapa hatinya terasa berat.
“Aku seneng deh, Sha. Kamu udah jadi bagian dari keluargaku. Bentar lagi aku gak akan kesepian karena ada kamu. Kita bisa ngerumpi kapan pun tanpa perlu janjian buat ketemuan dulu. Pasti seru, deh,” ucap Rena lagi dengan penuh semangat.
“Iya, Ren.” Sasha tersenyum getir. Ia mengangguk, tapi hatinya terasa perih. Ia tahu, Rena tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ia merasa berdosa karena telah membohongi orang-orang di sekitarnya. Namun, apa yang bisa ia lakukan? Ia sudah terlanjur membuat keputusan.
“Eh, kita kok jadi ngobrol sih. Ayok keluar, acaranya udah mau mulai, kan?” Rena segera menggandeng lengan Sasha, untuk keluar dari ruang ganti.
Namun, langkah Sasha tiba-tiba terhenti. “Duh, kenapa aku jadi gugup gini ya, Ren? Bisa ditunda gak ya acaranya?” rengek Sasha, seolah mencari alasan untuk menunda momen yang sudah tidak bisa dihindari.
“Mana bisa, Sasha. Kamu ada-ada aja. Hal baik itu gak boleh ditunda-tunda. Udah kamu santai aja, yuk!” jawab Rena dengan penuh semangat, sambil kembali menggandeng lengan Sasha dan mendorongnya untuk keluar dari ruang ganti.
Saat tiba di ballroom, Sasha menjadi sangat gugup. Bagaimana tidak? Semua mata tertuju pada Sasha dan itu terasa sangat asing bagi Sasha.
Nadia yang menyadari dengan kegugupan Sasha, segera menghampirinya. “Wah … kamu cantik sekali, Sha,” kata Nadia, kagum melihat penampilan Sasha yang begitu anggun. “Pantesan orang-orang pada lihatin kamu terus.”
“Makasih Tante,” jawab Sasha, malu-malu. Ia mencoba tersenyum, meskipun hatinya terasa tertekan.
Di sebelah Nadia, Hendra terlihat duduk di kursi roda. Pria itu tampak tersenyum seolah ingin memeluk Sasha. Namun, tidak banyak yang bisa ia lakukan. Matanya tampak berkaca-kaca saat melihat putrinya mengenakan gaun pengantin putih yang indah. Ada perasaan haru yang begitu mendalam dalam dirinya, mengingat bahwa hari ini adalah saat di mana ia harus melepaskan putri satu-satunya untuk menjalani hidup baru.
Sasha menatap ayahnya dengan perasaan campur aduk. Ia merasa begitu bersyukur ayahnya masih bisa hadir di hari yang sangat penting ini, meskipun dalam kondisi yang kurang sempurna. Namun, di balik rasa syukur itu, ia juga merasa takut. Apakah ini keputusan yang benar?
“Kamu sudah siap?” tanya Hendra, dengan suara pelan, sambil memegang erat tangan Sasha.
Sasha mengangguk, meski ada keraguan yang terus menggelayuti dirinya. “Iya, Pak,” jawabnya, meski suara yang keluar terdengar sedikit bergetar.
Tak berselang lama, Gala datang dengan Pram di sampingnya. Sasha yang melihat seketika terdiam. Dia terpesona dengan Gala. Baginya aura Gala hari ini sangat berkharisma.
Tebakan Rena jika Gala akan terpesona dengannya ternyata salah. Justru dialah yang terpesona dengan Gala hari ini. Sasha sampai ternganga melihat Gala. Dia baru sadar saat Rena menepuk pundaknya.
“Terpesona ya?” goda Rena sambil tersenyum lebar. “Om aku emang ganteng banget, kan?”
“Apaan sih, Ren.” Pipi Sasha seketika memerah. Dia segera memalingkan wajah untuk menutupi salah tingkahnya.
“Udah, udah. Yuk itu pak penghulu udah dateng,” ucap Nadia yang berusaha memecah kecanggungan.
Mereka lantas menuju tempat untuk melangsungkan ijab qabul.
Berbeda dengan Sasha, Gala tampak jauh lebih tenang. Mungkin karena pernikahan ini bukanlah pernikahan pertama kali untuknya. Atau mungkin juga karena dia tidak menaruh perasaan kepada Sasha dan menganggap semuanya hanyalah formalitas. Setidaknya, itu yang dipikirkan Sasha.
“Sudah siap?” tanya penghulu kepada Gala.
Gala mengangguk, tanda mengiyakan pertanyaan penghulu.
“Baiklah kita mulai sekarang.”
Gala menjawab dengan satu tarikan napas dan langsung dijawab sah oleh para saksi yang melihatnya. Setelah itu lantunan doa terdengar memenuhi ruangan dan langsung diamini oleh semua tamu yang hadir.
Terlihat Hendra tersenyum lega dari tempatnya duduk. Sementara Rena sudah lebih dulu menghampiri Sasha sambil mengucapkan selamat. Semuanya berjalan lancar yang Sasha harapkan meski tidak ada tanda-tanda jika Gala akan mencium keningnya, seperti yang pernah dilihatnya di televisi.
Ya, Sasha harus menghempaskan kuat-kuat tentang bayangan indahnya pernikahan. Ia mendadak jadi teringat dengan semua ucapan Karin.
“Kita ganti baju dulu, setelah itu baru resepsi dimulai.” Perkataan Nadia di belakangnya, langsung membuyarkan lamunan Sasha.
Dia lantas berdiri dan mengikuti Nadia untuk kembali menuju ruang ganti pengantin.
Tak lama setelahnya, Gala dan Sasha duduk di kursi pelaminan. Ketika acara sedang berjalan, tiba-tiba seorang anak kecil berlari dan memeluk kaki Gala.
“Erlang?” Gala sangat terkejut dengan kehadiran anak Karin tersebut.
“Papa. Kenapa Papa beldili di cini cama tante ini?” Erlang menunjuk Sasha yang berdiri di sebelah Gala.
“Papa? Jadi … ini anak Om Gala?” tanya Sasha dalam hati. Mulutnya mendadak terasa kering. Anak kecil yang memanggil Gala dengan sebutan "Papa" itu seakan mengguncang seluruh dunia yang baru saja dia coba bangun. Sejenak, matanya berputar ke arah Gala, yang tampak bingung dan cemas. Rasa kecewa membanjiri d**a Sasha, namun dia berusaha tetap tenang meski hatinya terasa nyeri.
Gala sendiri tidak tertarik untuk menjawab pertanyaan Erlang barusan. Ia lebih penasaran dengan hal lain. “Kamu ke sini sama siapa?”
“Cama Mama. Itu Mama.” Erlang ganti menunjuk wanita berbalut busana merah yang tampak anggun dari kejauhan.
“Karin?” Gala spontan menyebutkan nama mantan istrinya, tak peduli jika Sasha daritadi memperhatikannya.
Sasha jelas kecewa. Apalagi sorot yang ditampilkan Gala jelas tunjukkan jika laki-laki itu masih menyimpan rasa untuk mantan istrinya. Sasha seketika menunduk, menahan air mata yang hampir saja tumpah.
Namun, ia tidak bisa lagi menahan pertanyaan yang sebenarnya ingin sekali ia simpan. “Apa maksudnya semua ini, Om? Om Gala dan Tante Karin punya anak?” tanya Sasha pelan. Namun, suaranya cukup untuk didengar Gala yang sedang berbicara dengan Erlang.