“Kamu yakin tidak mau akau bantu?” tanya Bastian sembari menatap Clarissa yang tengah bersiap keluar dari rumah sakit.
Clarissa menggeleng pelan dan tersenyum tipis. “Tidak perlu, Bas. Aku bisa sendiri. Lagi pula aku sudah cukup sehat untuk berjalan ke rumah bunda,” jawab Clarissa kembali melanjutkan aktivitasnya.
Bastian yang mendengar hanya mampu diam dan memperhatikan gerak Clarissa. Ada perasaan aneh setiap dia melihat wajah Clarissa yang terlihat bahagia dan menyembunyikan luka. Membuatnya selalu bergumam ‘wonder woman’ ketika melihat Clarissa.
Clarissa menegakan tubuh dan menatap ke arah Bastian lekat. “Terima kasih karena sudah mau menolongku, Bas. Terima kasih untuk semuanya,” ucap Clarissa sembari mengulurkan tangan.
Bastian hanya tertawa kecil dan menjabat tangan Clarissa. “Bisakah kita bertemu lagi? Aku merasa melihat sosok ibuku di dalma diri kamu,” sahut Bastian dengan penuh harap.
Clarissa yang mendengar tertawa. “Apa aku setua itu?” tanya Clarissa di sela tawanya.
“Bukan. Kamu masih sangat cantik,” celetuk Bastian tanpa sadar.
Seketika, ruangan tersebut hening, tidak ada suara dari keduanya. Bastian bahkan merutuki mulutnya yang tidak berbatas sama sekali. Sampai Clarissa mengulas senyum tipis dan menarik tangannya pelan.
“Aku pergi,” ucapnya lirih.
Bastian yang melihat Clarissa akan mengambil koper segera menghentikannya. Dia segera meraih koper di atas ranjang dan menatap Clarissa dengan senyum lebar.
“Biar aku yang membawa,” ucap Bastian cepat.
“Tidak perlu, Bas. Aku masih bisa membawanya,” tolak Clarissa enggan merepotkan.
Bastian yang melihat Clarissa akan meraih koper di genggamannya segera menjauhkannya dan menatap wanita tersebut lekat. “Sekali saja. Biarkan aku membantu kamu,” ujar Bastian dengan wajah memelas.
Clarissa membuag napas pelan dan mengangguk kecil. Dia memiliih membiarkan Bastian membawakan koper berisi pakaiannya. Kakinya mulai melangkah ke arah pintu ruangannya dan menuju keluar, beriringan dengan Bastian yang ada di dekatnya.
Bastian terus melangkah, sesekali menatap ke arah Clarissa yang tidak menatapnya sama sekali. Kenapa aku merasa tidak mau dia pergi, batin Bastian sembari menggelengkan kepala.
“Kenapa, Bas?” tanya Clarissa dengan tatapan lekat.
Bastian yang sadar sedang diperhatikan mulai menatap Clarissa dan menggeleng pelan. “Bukan apa-apa. Hanya terpikir hal lain saja,” jawabnya cepat.
Clarissa hanya tersenyum dann berdecak kecil. Dia mulai melangkah ke arah pintu keluar. Pasalnya, Bastian sudah menyelesaikan semua administrasi di rumah sakit tersebut. Dia terus melenggang keluar rumah sakit dan berhenti tepat di depan taksi pesanananya.
Clarissa menatap ke arah Bastian dan membuang napas pelan. “Sekali lagi, terima kasih. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi kalau bukan kamu yang menolongku,” ucap Clarissa dengan senyum tipis.
Bastian mengangguk dan menghela napas lirih. “Clarissa. Bisa kita bertemu lagi?” tanya Bastian dengan penuh harap.
Clarissa berhenti sejenak dan melempar senyum manis. “Jika Tuhan menghendaki, aku tidak masalah dengan itu,” jawab Clarissa.
Bastian hanya diam ketika melihat Clarisaa yang sudah masuk taksi dan meninggalkannya. Dia hanya menatap kepergian mobil yang sudah melaju cepat dan tidak terlihat sama sekali.
“Aku harap Tuhan akan mempertemukan kita, Rissa,” gumam Bastian dengan senyum melebar.
*****
Clarissa menatap bangunan sederhana di depannya lekat, mengamati para bocah kecil yang tengah bermain dengan senyum lebar. Rasanya hatinya tercubit melihat pemandangan tersebut. Matanya mulai turun, menatap perut ratanya dan tersenyum tipis.
Mama tidak akan pernah membiarkan akmu seperti mereka, sayang. Mama akan menjaga kamu, batin Clarissa.
“Nyonya,” tegur sopir taksi dan membuat Clarissa mendongakan kepala.
“Kita sudah sampai. Anda mau saya menunggu atau tidak?”
“Bisa tunggu sebentar, Pak? Saya akan tambah bayarannya,” jawab Clarissa.
Sopir taksi tersebut hanya mengangguk patuh dengan perintah Clarissa. Clarissa mulai membuka pintu dan turun. Wajah yang sejak tadi menunjukan kesedihan mulai berubah ceria dengan senyum menghias di bibir. Dia mulai melangkah dan menyembunyikan wajah sedih yang mulai melekat di wajahnya.
“Kak Rissa,” teriak semua anak di sana ketika melihat Rissa ada di depannya,
Rissa yang melihat anak-anak berhambur segera menghentikan langkah dan diam. Bibirnya semakin tersenyum lebar dan tidak terlihat sedih sama sekali. Dia mulai membalas dekapan yang terasa menghangatkan untuknya.
Rika yang sedang memasak mulai menghentikan aktivitasnya dan segera menuju ke arah halaman depan. Dia semakin mengulas senyum ketika melihat anaknya datang.
“Clarissa,” panggil Rika lembut. Dia mulai mendekat dan menyuruh anak-anak panti untuk meninggalkannya berdua. Dia mulai mendekap putrinya dan menatap lembut. Matanya mengamati wajah Clarissa yang terlihat pucat.
“Riss, kamu baik-baik saja?” tanya Rika dengan tatapan cemas.
Clarissa mengangguk dan menatap bundanya lekat. “Iya, Bunda. Memangnya kenapa?”
“Kamu seperti sakit. Wajah kamu pucat dan sepertinya kamu kurusan. Padahal baru beberapa bulan yang lalu kamu ke sini,” jelas Rika.
Clarissa tertawa kecil dan mendekap bundanya. “Jangan cemas, Bunda. Aku baik-baik saja. Lebih baik kita masuk dan menyiapkan semuanya. Bunda pasti belum selesai, kan?”
Rika yang mendengar hanya mengangguk kecil, sesekali menatap mata Clarissa yang bengkak. Dia yakin, ada hal yang disembunyikan putrinya. Hanya saja, Clarissa enggan mengatakannya. Membuat dia memilih diam dan tidak banyak bertanya.
Clarissa mulai mengerjakan semua tugas yang belum selesai, menahan perut yang sesekali terasa mual. Namun, dia memilih menghindari pekerjaan berat. Bagaimanapun, dia harus menjaga bayi dalam kandungannya. Sampai semua persiapan selesai dan Clarissa memilih berpamitan. Sebenarnya Rikia sudah melarang, tetapi Clarissa menolak dengan alasan takut Aiden pulang.
Clarissa mulai masuk ke dalam mobil dan membuang napas pelan. “Ke terminal, Pak,” perintahnya tegas.
Sopir taksi tersebut hanya menurut dan menjalankan mobil.
Hening. Clarissa hanya bungkam dan menatap jalanan yang terlihat ramai. Rasanya dia enggan melakukan apa pun saat ini. Dia hanya mau ke tempat di mana dia ingin tinggal. Kali ini hanya dengan anaknya saja.
Satu jam perjalanan membuat Clarissa merasa lelah. Dia bahkan sudah tidur di kursi penumpang dengan begitu nyenyak. Sopir taksi yang membawanya mulai berhenti di terminal bus dan menatap Clarissa kembali.
“Nyonya, sudah sampai,” ucap sang sopir pelan.
Clarissa yang mendengar tersentak kaget dan menatap sekitar. Dia mulai menyesuakan dengan pandangan sekitar dan membuang napas pelan. Tangannya mulai membuka tas dan mengambil beberapa uang ratusan.
“Terima kasih,” ucap Clarissa dengan senyum tipis.
Sang sopir menerima dan berterima kasih. Clarissa mulai turun dan membawa kopernya keluar. Matanya menatap deretan bus dengan senyum tipis. Perlahan, dia menarik koper menuju ke arah salah satu bus, memilih tempat tenyaman untuk dia duduk. Setelah menemukan, dia mulai duduk dan membuang napas pelan.
Clarissa mengelus pelan perut ratanya dan tersenyum tipis. “Kita mulai semuanya dari awal, sayang. Di mana hanya ada kamu dan mama,” gumam Clarissa bersaha tabah dengan semua takdirnya.
Clarissa mengalihkan pandangan dan membuang napas pelan. Selamat tinggal Aiden. Selamat tinggal bunda. Selamat tinggal luka, batin Clarissa mencoba melepas semuanya, termasuk cintanya.
*****