Bagian 8

1035 Words
Elvina merias dirinya di depan cermin dengan senyum lebar. Sejak tadi dia hanya sibuk merias diri dan berdandan secantik mungkin. Bahkan, malam ini dia sudah menggunakan lingerai tipis yang begitu menggoda. Tujuannya hari ini adalah menggoda Aiden dan meminta pria tersebut menikahinya. Vina masih asyik menggunakan lipstik yang tidak terlalu kentara ketika dering ponselnya terdengar. Dengan cepat, dia menatap ke arah ponsel dan mengambil dengan semangat. Namun, ketika matanya menatap nomor yang tidak memiliki nama, dia berdecak kecil dan meletakan kembali. Vina memilih tidak peduli dan kembali melanjutkan riasannya, membiarkan seseorang di seberang terus menghubunginya. “Tidak berguna,” ucapnya dengan santai. Elvina mendengar bel rumahnya ditekan, membuat bibirnya semakin lebar menampilkan senyum. Dengan semangat, dia mulai bangkit dan siap menuju ke arah pintu ruang tamu. Namun, niatnya terhenti ketika dia teringat dengan ponselnya, membuatnya membalik langkah dan mematikan benda pipih kesayangannya. Elvina kembali melanjutkan langkah menuju ka arah pintu depan. Kakinya terus mengayun, sesekali berlari dan menuju ke arah pintu di depannya. Bibirnya mulai mengulas senyum lebar ketika menyadari seseorang yang datang dan berdiri di rumahnya. “Sayang,” pekik Elvin yang langsung memeluk Aiden erat. “Aku rindu,” bisiknya pelan. Aiden yang mendengar hanya tertawa kecil. Dia mulai menatap wajah Elvina ketika wanita tersebut melepaskan pelukan dan hanya mengalunkan tangan manja. “Kenapa lama?” tanya Elvina dengan bibir dimanyunkan, memasang wajah kesal yang terlihat dibuat-buat. “Jangan marah,” ucap Aiden sembari mencubit pelan hidung mancung kekasihnya. “Aku baru saja dari pengadilan untuk menuntaskan urusan dengan Clarissa. Setelahnya, aku ke kantor karena ada rapat dan ketika aku baru pulang, kamu menyuruhku datang. Itu sebabnnya aku datang dengan sangat cepat,” jelas Aiden agar Elvina tidak marah dengannya. “Jadi, kamu sudah resmi berpisah?” tanya Elvina berpura-pura tidak tahu dan mendapat anggukan pelan. “Selamat,” ucap Elvina semangat. “Jadi, setelah ini kita akan menikah, kan?” Seketika, Aiden yang mendengar hanya diam dengan wajah berpikir. Apa dia akan menikah secepat ini, batin Aiden sedikit meragu. “Sayang,” panggil Elvina ketika tahu bahwa pria di depannya tengah meragu. Tangannya segera diletakan di pipi Aiden dan mengelus pelan. “Kamu kenapa diam? Kamu tidak mau kita menikah?” tanya Elvina dengan tatapan sendu. Aiden membuang napas pelan dan menggeleng. “Tidak, Sayang. Aku hanya berpikir, apa tidak masalah kalau kita menikah saat aku baru saja bercerai?” tanya Aiden masih mencari jalan keluar. Elvina berdecak kecil dan melepaskan dekapan. Matanya menatap kesal ke arah Aiden. “Jadi, kamu memilih mendengar apa yang mereka katakan dari pada aku dan anak kamu?” ucap Elvina sembari mensedekapkan tangan. “Sayang, maksud aku bukan begitu. Maksudku apa tid ....” “Kalau menurut kamu mereka lebih penting, ya sudah. Tinggalkan aku dan biarkan aku hidup sendiri dengan anak kita,” tegas Elvina serius. Seketika, Aiden membuang napas pelan dan mendekap Elvina lembut. Dia mulai mencium pipi wanitanya dan tersenyum tipis. “Baiklah. Aku akan menikahi kamu dalam satu minggu lagi,” ujar Aiden enggan Elvina marah. Elvina segera menatap ke arah Aiden dengan binar penuh kebahagiaan. “Benar?” tanyanya meyakinkan dan mendapat anggukan dari arah Aiden. Elvina segera melepaskan tangan Aiden yang berada di pinggangnya. Dia mulai membalik tubuh dan memeluk Aiden erat. “Terima kasih, Sayang. Aku mencintai kamu,” ucapnya penuh semangat. ***** Clarissa menatap langit dari balik ruang rawatnya, mengamati bintang yang terasa begitu memilukan untuknya. Dia merasa takdir seakan terus mempermainkannya. Dia baru saja kehilangan suaminya. Namun, di lain sisi dia harus menerima kabar mengenai kehamilannya, membuatnyua bingung harus bagaimana dalam bersikap. “Setelah sekian lama aku menikah dengan Aiden, aku tidak memiliki anak sama sekali. Sekarang, aku berpisah dan aku mendapatkan kabar mengenai kandunganku. Aku harus bagaimana, Tuhan? Haruskan aku senang?” gumam Clarissa dengan senyum penuh kepedihan. Sekarang aku harus menjalani semuanya sendiri, batin Clarissa. Clarissa menatap ke arah perutnya yang belum membuncit dan tersenyum tipis. “Aku rasa Tuhan memberikan kamu untuk menghapus air mata yang sudah diberikan Aiden, Sayang,” ucap Clarissa dengan diri sendiri. “Kuat di sana ya, nak. Sekarang kita hanya berdua, jangan buat mama susah. Tetaplah menjadi anak yang baik. Sehat-sehat di sana sampai nanti mama berjuang melahirkanmu di dunia. Mama berjanji akan menjaga kamu dengan baik.” Clarissa menatap dengan air mata perlahan. Bagaiamapun dia tahu, anaknya membutuhkan seorang ayah dalam hidupnya. Namun, mengatakan dengan Aiden bukanlah hal baik, membuatnya memilih diam dan menyembunyikan semua. Clarissa membuang napas pelan dan siap kembali ke ranjang. Hari ini terlalu banyak hal yang harus dipikirkannya, membuatnya terasa lemah dan ingin beristirahat. Namun, ketika dia baru berbaring di ranjang dan menarik selimut, ponselnya berdering, membuatnya menghentikan niat dan menatap ke arah nakas di samping tempat tidur. “Bunda,” gumam Clarissa dan langsung mengangkatnya. “Halo. Bunda,” sapa Clarissa. “Halo, Riss,” jawab Rika dengan suara lembut. “Kamu sedang di mana, Nak?” tanya Rika. Clarissa mentaap ruangan di mana dia berada dan tersenyum tipis. “Di rumah, Bunda,” jawab Clarissa dengan mata yang mulai terpejam. “Syukurlah kalau begitu. Apa bunda mengganggu kamu?” tanya Rika kembali. “Tidak sama sekali. Ada apa, Bun?” “Besok panti asuhan mengadakan syukuran kecil-kecilan. Jadi, bunda harap kamu dan Aiden bisa datang ke sini. Bunda mau kalian bisa menghadirinya,” jawab Rika. Seketika, Clarissa memejamkan mata semakin erat dan membuangnya pelan. Dia mulai menahan air mata yang siap mengalir dan meremas pelan selimut yang sudah menutupi bagian kaki. “Kalian bisa, kan?” tanya Rika kembali. “Clarissa akan usahakan, Bunda. Clarissa akan datang ke sana. Hanya saja, Aiden tidak bisa ikut, Bunda. Aiden sedang ke luar kota untuk urusan pekerjaan,” jawab Clarissa tetap enggan jujur. Terdengar helaaan napas kecewa dari seberang, membuat Clarissa semakin diam dan menahan tangisnya. “Baiklah kalau memang begitu. Titip salam saja buat dia. Katakan jangan terlalu banyak bekerja. Dia juga butuh istirahat,” ucap Rika penuh perhatian. “Kalau begitu bunda tutup ya. Selama malam.” Clarissa hanya bergumam dan mematikan panggilan. Dia mulai meletakan ponselnya lemah. Perlahan, dia mulai menunduk dan menyembunyikan wajahnya di kedua paha, meredam sakit yang dirasakannya. Maafkan aku, bunda. Maaf karena sudah membohongi bunda. Clarissa hanya tidak mau kalau nantinya bunda sedih dan banyak pikiran, batin Clarissa dalam isak tangisnya. Bastian yang mendengar dari balik pintu hanya diam mematung. Awalnya dia akan masuk ke dalam kamar dan memastikan bahwa Clarissa baik-baik saja. Namun, niatnya terhenti karena dia yang mendengar suara tangis dari wanita tersebut. Hingga dia mendengar percakapan yang semakin membuat tercengang. “Pria bodoh mana yang mau melepaskan kamu, Rissa? Pria bodoh mana yang melepas wanita sebaik kamu,” gumam Bastian. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD