Bagian 4

1050 Words
Aiden melangkah menyusuri lorong menuju ke arah ruangannya dengan pandangan datar, tidak ada senyum yang terlihat di bibirnya. Membuat seluiruh karyawan yang melihat diam seketika, tidak ada yang berani menyapa atau bahkan hanya mendongak denga bibir tersenyum. Mereka takut dengan atasan mereka yang terlihat kejam pada hari ini. Aiden semakin melebarkan langkah ke arah ruangan yang sudah tidak jauh darinya. Setelah menerima panggilan dari Clarissa, dia segera menuju ke arah kantornya, meninggalkan Vina seorang diri di rumah. Entah mengapa, rasanya tidak rela jika wanita yang menggugat cerai dirinya. “Pagi, Pak,” sapa Sasa—sekretarisnya dengan kepala menunduk. “Rissa dari sini?” tanya Aiden dengan tatapan serius. “Iya, Pak. Nyonya Rissa baru saja pergi dari sini. Beliau hanya meninggalkan ini dan menyuruh saya menyerahkan dengan anda,” jawab Sasa sembari menyerahkan kertas yang diberikan Rissa. Aiden segera meraih kertas tersebut dan menatap lekat. Dengan tergesa, dia mulai membukanya dan membaca surat tersebut. Hingga dia meremas dengan rahang yang kian mengeras. Dia hanya diam dan meraih ponsel di saku celana, menekan nomor seseorang yang sudah begitu dipercaya olehnya. Menunggu. Aiden masih diam dengan tatapan yang kian menggelap. Sampai terdengar sapaan dari seberang yang membuat Aiden menghela napas pelan. “Kamu buat pengajuan perpisahan yang Rissa ajukan ditolak. Kamu buat dia gagal,” perintah Aiden dan langsung mematikan panggilan ketika sudah selesai. “Buang,” perintah Aiden sembari memberikan kertas tersebut dengan Sasa. Sasa hanya mengangguk menurut. Matanya menatap ke arah Aiden yang sudah melangkah menjauh. Perlahan, dia membuka kertas yang sejak tadi membuatnya penasaran, membacanya satu per satu dengan mata mengiba. “Kasihan bu Clarissa. Aku yakin, beliau sudah tidak tahan dengan sikap pak Aiden,” gumam Sasa hampir menitikan air mata. Dia menatap ke arah ruangan Aiden yang sudah tertutup dan menghela napas pelan. Kenapa pak Aiden bisa setega itu melukai wanita sebaik bu Rissa, batin Sasa. Pasalnya, sejak perusahaan Aiden masih kecil, dia sudah bekerja dengan Aiden dan Rissa. Dia tahu bagaimana Rissa selama ini dan bagaimana wanita tersebut begitu hormat dengan sang suami. Aiden yang sudah masuk ruangan segera duduk di bangku kebesarannya dan menatap foto pernikahannya lekat. “Andai kamu mampu memberiku anak, Rissa. Aku tidak akan pernah mendua dengan wanita lain. Aku bahkan bosan hidup hanya berdua dengan kamu,” gumam Aiden dengan tatapan datar. “Aku juga membutuhkan penerus yang akan meneruskan usahaku.” Hening. Aiden hanya diam dengan pandangan yang sulit diartikan. Perlahan, tangannya terulur dan menutup bingkai foto sang istri yang ada di depannya. Dengan cekatan, dia melempar ke sembarang arah. Rasanya enggan menatap wajah wanita yang sudah menggugatnya. “Aku memang akan menceraikanmu, tetapi bukan berarti kamu bisa menceraikanku. Aku pastikan bukan kamu yang meninggalkanku, tetapi aku yang meninggalkan kamu,” desis Aiden dengan segala kesombongannya. Dia enggan kalau Clarissa yang akan meninggalkannya. Dia merasa, jika Rissa melakukan hal tersebut, harga dirinya sudah terinjak dengan wanita tersebut. ***** Clarissa menatap sekumpulan bocah kecil yang tengah asyik bermain di tanah lapang di sebuah panti asuhan. Bibirnya mengulas senyum ketika melihat tawa lepas yang tersa tidak ada beban sama sekali. Bahkan, hatinya perlahan membaik setelah melihat anak-anak panti tersebut. “Kamu dari mana?” Clarissa yang mendengar sapaan tersebut mendongak, menatap wanita dengan rambut yang sudah tersanggul dan sudah duduk di dekatnya lekat. Wanita dengan sudah terlihat menua dengan kacamata bertengger di hidung mancungnya. “Kamu tidak dengan Aiden ke sini?” tanya Rika—pemilik panti asuhan. Clarissa yang mendengar menggeleng pelan dan tersenyum tipis. “Aiden sedang sibuk, Bunda. Jadi, dia tidak bisa datang kemari,” jawab Clarissa berbohong, tidak mau jika wanita di depannya mengetahui semua mengenai masalahnya. Aku bahkan tidak bertemu dengannya, batin Clarissa terlihat santai. Dia memang sudah enggan melihat pria tersebut. Bahkan, dia sudah mengemasi semua pakaiannya dan akan pergi setelahnya. Hanya saja, dia ingin datang ke panti asuhan tempatnya dulu dirawat ketika akan perjalanan pulang, membuatnya mengurungkan niat. “Padahal bunda kangen sama dia. Bunda mau mengucapkan terima kasih karena sudah menjaga anak bunda,” ucap Rika dengan senyum tipis. Dia menyakitiku, bunda, batin Clarissa dengan senyum dipaksakan. Sampai dering ponsel menyadarkannya, membuat Clarissa mengalihkan pandangan dan mengangkat panggilan tersebut. “Halo,” sapa Clarissa dengan suara lembut. Dia hanya diam, memperhatikan apa yang orang tersebut katakan. Keningnya sudah berkerut dalam dengan tatapan kesal dan mematikan panggilan ketika penjelasan dari pengacaranya selesai. “Kenapa, Riss?” tanya Rika penasaran. Clarissa menggeleng pelan dan tersenyum baik-baik saja. “Tidak apa, Bunda. Rissa hanya harus pergi sekarang juga. Ada urusan di rumah,” jawab Clarissa berbohong. Rika hanya mengangguk dan tersenyum tipis. “Baiklah. Kalau begitu kamu hati-hati.” Clarissa mengangguk setuju. Dia segera memberikan salam dan pergi. Kakinya sudah melangkah lebar ke arah mobilnya terparkir dan segera masuk. Dengan tergesa, dia mulai menjalankan mobil. Kembali dia menuju ke arah kantor suaminya. Hanya butuh waktu lima belas menit agar dia sampai di tempat yang enggan didatanginya lagi. Dia mulai menuju ke arah ruangan Aiden dengan langkah tergesa. Amarahnya sudah benar-benar tidak terbendung sama sekali. Bahkan, dia mengabaikan sapaan para karyawan dan juga Sasa. Clarissa membuka pintu keras, membuat Aiden yang tengah duduk menatapnya dingin. “Bisa kamu bersikap sopan kalau di kantorku?” desis Aiden dengan tatapan tidak suka. Clarissa hanya diam dan melangkah masuk. Dengan keras pula dia menutup pintu ruangan Aiden dan menatap dengan penuh kebencian. “Apa mau kamu, Aiden?” tanya Clarissa dengan tatapan dingin. “Bukannya kamu sudah muak denganku? Lalu kenapa kamu menggagalkan gugatanku?” “Sebenarnya apa yang kamu mau, sialan?” teriak Clarissa dengan suara meninggi, tidak mengerti dengan jalan pikiran Aiden yang benar-benar sulit ditebak. Aiden tertawa kecil dan menatap Clarissa dengan pandangan meremehkan. “Kamu itu hanya wanita mandul yang tidak berhak mengajukan pisah denganku, Rissa. Hanya aku yang boleh menceraikan kamu,” desis Aiden dengan tatapan mengejek. “Kalau begitu cepat ceraikan aku. Aku sudah tidak tahan hidup dengan pria b******k seperti kamu. Aku muak hidup dengan b******n seperti kamu,” tegas Clarissa serius. “Bahkan melihatmu saja aku sudah mual, Aiden. Jadi, silahkan ceraikan aku dan hiduplah dengan para jalangmu itu.” “Kamu!” gertak Aiden sembari melayangkan tangan. Namun, tangannya hanya berhenti di udara ketika melihat air mata Clarissa yang turun perlahan, menatap wanita yang terlihat kuat dan tidak takut sama sekali dengannya. “Tampar aku. Pukul aku. Jika perlu, bunuh aku,” ucap Clarissa tidak menunjukan ketakutan sama sekali. “Asal aku bisa berpisah denganmu. Aku akan menerimanya dengan senang hati.” Hening. Aiden yang mendengar hanya diam, menatap Clarissa yang ada di depannya. Sampai dia menurunkan tangan dan menatap dengan pandangan dingin. “Aku akan menceraikanmu saat ini juga,” ucap Aiden tanpa senyum. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD