Bagian 6

1035 Words
Satu bulan sejak pertengkarannya dengan Aiden, Clarissa harus menerima kenyataan pahit yang menghampiri. Dia dan suaminya benar-benar berpisah. Dan hari ini, dia harus duduk di persidangan, menatap sang hakim dengan penuh ketegaran. Matanya menatap ke arah Aiden yang terlihat begitu bahagia. Membuat senyum miris langsung terukir begitu saja. Apa aku sebegitu tidak berharganya untukmu, Aiden. Apa sekarang aku harus benar-benar kehilanganmu, batin Clarissa dengan pandangan datar. Tidak mau terlihat lemah di depan Aiden dan Vina. Hingga sebuah ketukan keras terdengar, membuatnya memejamkan menahan rasa sakitnya. Habis sudah, batin Clarissa pasrah. Setelah dirasa sudah selesai, matanya menatap ke arah Aiden yang sudah melangkah dan berhenti tepat di depannya dengan senyum sinis. “Aku sangat senang karena sekarang aku bisa terpisah darimu, Rissa. Aku harap setelah ini kamu akan menemukan pria lain yang mau menerimamu apa adanya,” ucap Aiden dengan tatapan datar. Clarissa yang mendengar hanya diam dan memilih berdiri, menatap ke arah Aiden dengan tampang yang tidak kalah datar. “Aku harap kamu akan bahagia dengannya, Aiden. Aku harap anak yang dikandungnya adalah anakmu dan bukan dari pria lain,” sahut Clarissa. “Aku tahu kamu iri dengannya, Rissa. Sudah enam tahun kita bersama dan kamu masih tetap saja tidak hamil. Jadi, aku rasa sekarang aku tahu dimana kesalahannya. Semuanya ada di kamu,” kata Aiden dengan pandangan mengejek. Clarissa baru akan menjawab ucapan mantan suaminya, tetapi terhenti karena Vina yang sudah mendekat ke arah Aiden dan menggandeng tangan pria tersebut manja. Membuat Clarissa semakin menatap muak dengan perilaku dua orang tersebut. “Sayang, bisa kita pergi sekarang? Aku rasa kita perlu mempersiapkan untuk pernikahan kita nantinya,” ucap Vina dengan suara manja. Clarissa yang mendengar hanya berdecak kecil dan mengabaikan ucapan Vina. Rasanya masih saja kesal karena Aiden yang mempermainkan cintanya. Membuat rasa yang dulu pernah ada kini menghilang sempurna. Aiden menatap ke arah Clarissa dengan pandangan mengejek. Kakinya segera melangkah meninggalkan wanita tersebut tanpa sepatah katapun. Mengabaikan seluruh kebencian yang sudah Clarissa tunjukan. Dia hanya melangkah santai dan keluar dari ruang persidangan, meninggalkan Clarissa yang juga hanya diam. Aku teramat sangat membencimu, Aiden. Aku berharap tidak akan bertemu denganmu lagi, batin Clarissa dengan rahang mengeras _____ “Nyonya mau pergi ke mana? Nyonya tidak memiliki keluarga sama sekali,” ucap Mbok Mina, seorang wanita paruh baya yang sudah lama bekerja di rumah Aiden. Clarissa yang mendengar menatap ke arah mbok Mina dan mengulas senyum tipis. “Clarissa akan pergi ke tempat yang jauh, Mbok. Rumah ini bukan lagi rumah Rissa. Akan ada wanita lain yang nantinya merawat Aiden dengan lebih baik,” sahut Clarissa sembari mengecup pelan wanita di sebelahnya. Mbok Mina semakin menitikan air mata ketika Clarissa menurunkan koper dan menatapnya lekat. Clarissa yang melihat hanya mampu mengulas senyum tipis. Menatap ruangan yang sudah enam tahun menemaninya, menyimpan semua ceritanya. Membuat rasa sesak kembali menyerang. Clarissa hanya diam dan memiluh segera keluar. Berhenti mengagumi ruangan yang membuatnya semakin sakit. Kakinya terus melangkah, meninggalkan mbok Mina yang masih terisak karenanya. Hingga dia keluar dari rumah tersebut dan mendapat tatapan iba dari seluruh karyawan Aiden. Namun, Clarissa hanya mengulas senyum tipis sebagai salam perpisahannya. Mengabaikan tangis yang terasa memilukan. “Aku akan pergi, Aiden. Saat aku sudah memutuskan pergi, aku berjanji tidak akan kembali lagi denganmu. Aku akan benar-benar meninggalkanmu,” gumam Clarissa sembari melangkah semakin jauh. Terik matahari bahkan tidak menyurutkan langkah wanita tersebut. Meski sesekali kakinya berhenti dan menahan rasa mual yang sudah dirasakan selama beberapa hari. Namun, Clarissa hanya diam, hingga rasa mual yang teramat sangat mulai menyerang, membuatnya terpaksa mengeluarkan semua isi dalam perut. “Astaga, kenapa lagi dengan Tubuhku? Aku benar-benar merasa lemah dan pusing,” gumam Clarissa. Matanya mengamati jalanan yang terasa sepi, mencari tempat teduh yang dapat digunkaannya beristirahat. Sembari memikirkan kemana akan pergi selanjutnya. Sampai matanya menatap sebuah halte bus di seberang jalan, membuat bibirnya mengulas senyum tipis. Clarissa segera mempercepat langkah dan berniat menyeberang. Namun, niatnya terhenti karena mual dan pusing yang tidak tertahan sama sekali. Hingga pandangannya mulai berkabut, berganti dengan gelap yang menyapa. Membuatnya tidak sadarkan diri. Clarissa pingsan. _____ Clarissa memijat pelan keningnya, merasakan sakit yang masih dirasakan. Hingga indra penciumannya mulai mengendus bau obat yang begitu menyengat. Membuat Clarissa membuka mata pelan dan menyesuaikan dengan ruangan tersebut. “Aku di mana?” tanya Clarissa sembari mengamati seluruh ruangan. Mencoba mengingat apa yang baru saja terjadi dengannya. Hingga ingatannya mulai kembali, membuat Clarissa menghela napas pelan. “Siapa yang membawaku ke sini?” gumam Clarissa masih merasa lemah. “Kamu sudah siuman?” Clarissa yang mendengar segera menatap ke asal suara dan mendapati seorang pria dengan kulit putih, hidung bangir dan mata sipit tengah terseyum ke arahnya. Membuatnya semakin menatap lekat dan penuh tanya. “Aku Bastian. Aku menemukanmu tergelatak di jalan. Jadi, aku membawamu ke rumah sakit terdekat,” jelas Bastian dengan wajah bersemangat. “Kamu yang menolongku?” ulang Clarissa dengan wajah lemah. “Terima kasih.” “Tidak masalah,” sahut Bastian santai. “Aku akan memanggilkan dokter untuk memeriksa kondismu.” Clarissa yang mendengar hanya mengangguk mengiyakan. Dia juga merasa penasaran dengan kondisinya saat ini. Hingga Bastian mulai pergi dari ruangannya dan meninggalkan seorang diri. Namun, semua tidak berlangsung lama karena setelahnya Bastian datang bersama dengan seorang wanita berjas putih. “Kamu sudah siuman?” ucap sang dokter dengan suara lembut. Clarissa yang ditanya hanya mengangguk pelan dan membiarkan sang dokter memeriksanya. Merasakan dingin dari alat yang digunakan sang dokter. Hingga wanita tersebut mengulas senyum tipis dan menatap Clarissa lekat. “Apa yang terjadi dengan saya, Dok? Selama beberapa hari ini saya merasa lemas, mual dan pusing,” tanya Clarissa dengan pandangan lekat. Sang dokter mengulas senyum tipis dan memberikan selembar kertas kepada Bastian, membuat pria tersebut menatap dengan pandangan bingung. “Selamat atas kehamilan ibu,” ucap sang dokter membuat Clarissa membelalakan mata tidak percaya. “Saat ini kandungan ibu masih berusia empat minggu. Jadi, saya harap Ibu bisa menjaganya dengan benar. Saya sudah menyikapkan resep sebagai pereda rasa mual,” jelas sang dokter dengan wajah berbinar. “Anda tolong tebus di apotik rumah sakit dan jaga istri serta kandungannya ya, Tuan.” Bastian yang mendengar hanya mengerutkan kening bingung dan mengangguk pelan. Membuat sang dokter melangkah pergi dari ruangan tersebut, meninggalkan Clarissa dan Bastian yang hanya berdiam. “Jadi, kamu sudah memiliki suami?” tanya Bastian dengan pandangan lekat. “Aku baru saja berpisah dengannya, Bas. Bahkan sekarang aku bingung harus pergi ke mana. Aku tidak memiliki tempat tinggal,” jawab Clarissa bingung. “Bagaimana kalau kamu tinggal di rumahku saja?” _____
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD