8
Triska melepaskan pelukan Zein dengan hati yang sedih. Susah payah menahan air mata, namun akhirnya tumpah juga.
Tangan Zein bergerak mengusap wajah kekasihnya untuk menyeka sisa anak sungai di pipi perempuan pemilik hati.
Kedua insan itu saling beradu pandang dengan penuh rasa haru. Mengungkapkan rasa cinta lewat pancaran mata yang seolah sulit untuk dialihkan.
Zein memajukan wajah dan mengecup dahi Triska. Berdiam diri selama beberapa detik di posisi itu. Berusaha menahan gejolak dalam hati yang menginginkan untuk kembali mencumbui kekasih.
"Abang berangkat, ya," ucap Zein pelan sambil memundurkan tubuh.
Triska hanya mengangguk. Menahan rasa ingin menangis dengan memundurkan tubuhnya sedikit. Memberi jarak antara mereka agar dia bisa menata perasaan dengan lebih baik.
Zein menggamit lengan Triska dan mengajaknya untuk ke luar, bergabung bersama teman-teman yang sudah berkumpul di ruang tamu.
"Ayo, Di, kita berangkat," ajak Zein pada Adi yang sedang mengobrol dengan teman-teman.
Adi mengangguk dan berdiri. Berpamitan pada teman-teman pria dengan salam tinju dan pelukan hangat. Bersalaman dengan ketiga perempuan lain dengan sopan.
Pria bertubuh tinggi besar itu berhenti di depan Triska. Menarik tubuh gadis itu dan memeluknya dengan erat.
"Sabar, ya. Tenang aja, si gurita itu akan kujaga baik-baik," seloroh Adi yang disambut senyuman Triska.
"Titip, ya, Bang. Kalau dia macam-macam boleh ditabok," balas Triska.
Seketika teman-temannya tertawa menanggapi ucapan Triska. Sementara Zein hanya mesem-mesem sambil memasukkan tas bawaannya ke dalam mobil.
Beberapa menit kemudian pria bertubuh tinggi itu mulai memundurkan mobil dari tempat parkir rumah kontrakan teman-temannya.
Melambaikan tangan pada semua orang dan mulai melaju ke jalan raya. Meninggalkan orang-orang terkasih untuk kembali ke dunianya sendiri.
Perjalanan dari Bandung menuju Jakarta kali ini mengalami sedikit kemacetan. Orang-orang yang baru selesai berlibur di kota kembang itu, seakan berlomba-lomba untuk bisa cepat sampai di tujuan.
"Mau gantian nyetir?" tanya Adi.
"Ehm, nggak usah," jawab Zein pelan.
"Sepertinya hatimu masih tertinggal di sana," seloroh Adi yang dibalas Zein dengan senyuman.
"Masih kangen," sahut Zein.
"Aku juga." Adi menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan.
Zein mengusap pundak sahabatnya itu dengan pelan. Sangat paham dengan kegelisahan dalam hati Adi.
"Ajak rujuk aja kalau memang masih sayang," ucap Zein.
Adi menggeleng. "Percuma. Syifa kan nggak mau pindah ke Jakarta lagi. Sedangkan aku nggak mau tinggal di sana. Nggak akan bisa rujuk kalau masing-masing dari kami nggak ada yang mau mengalah."
Zein manggut-manggut.
"Dulu, kamu dan bang Ramli pernah nasehatin aku untuk nggak menikah muda. Ternyata nasehat kalian itu benar," lirih Adi.
"Aku terlalu gegabah dalam mengambil keputusan. Harusnya bisa sedikit lebih sabar untuk menyakinkan hati," lanjutnya.
"Tapi kalau nggak gitu kan nggak akan ada Elang," sahut Zein.
"Iya. Hanya Elang satu-satunya hal yang tidak kusesali dari pernikahan kami. Hadeuh, baru juga ketemu tapi aku udah kangen lagi sama Elang."
"Bohong! Pasti kangen mamanya!"
Saling melirik, sejurus kemudian tawa mereka pecah bersamaan.
***
Hari Senin pagi yang sangat hectic. Zein mengendarai mobil sambil menggerutu.
Bertambah kesal karena penumpangnya yang mungil itu terus menerus mentertawakannya sepanjang jalan.
"Berisik, Rima!" ketus Zein.
"Habisnya Abang ngomel mulu dari tadi. Lucu," sahut perempuan bergaun cempaka itu dengan tawanya yang terdengar berdengung.
Gerutuan Zein pun berhenti setelah mereka tiba di tempat parkir kantor. Pria berwajah tampan itu bergegas keluar. Mengambil tas kerja di bagian tengah mobil dan mengunci pintu sebelum melangkah masuk ke lobby kantor.
Rima yang ditinggalkan di mobil, mempergunakan kesempatan itu untuk keluar dan melayang mengelilingi gedung kantor.
Melihat Zein dan karyawan lainnya di ruang rapat, Rima berhenti dan masuk ke ruangan yang sangat dingin tersebut.
Melayang pelan di bagian kiri sambil memperhatikan wajah-wajah para peserta rapat. Tersenyum lebar saat bersirobok dengan sepasang mata bermanik hitam milik Zein yang sedikit membeliak.
Rima menjulurkan lidah untuk meledek sahabatnya itu yang langsung menunduk sambil menggerutu.
Hantu bertubuh kecil itu beralih memandangi Adi. Pria berwajah tampan dengan rahang keras itu balas memandanginya dengan mata membola.
Rima mengedipkan sebelah matanya untuk menggoda Adi, yang langsung menutup mulutnya dengan tangan untuk menahan tawa yang hampir keluar.
Pandangan Rima beralih pada seorang perempuan dewasa berwajah cantik. Setelan blazer berwarna ungu tua yang dikenakannya tampak sangat bagus.
Hantu centil itu melayang mendekat dan menyentuh punggung perempuan tersebut untuk merasakan halusnya bahan setelan itu.
Tammy mendadak merinding. Tangannya terulur mengusap belakang kepala. Akan tetapi, dia seakan merasa menyentuh sesuatu yang dingin.
Zein sontak berdiri dan berpindah duduk ke sebelah kiri Tammy. Memelototi Rima yang membalasnya dengan mengerucutkan bibir.
"Zein, apa ada sesuatu di belakangku? Karena tiba-tiba saja aku merinding," bisik Tammy.
"Nggak ada apa-apa, Mbak. Mungkin pendingin udaranya terlalu minus," jawab Zein sambil berusaha memfokuskan diri dengan pemberi materi rapat.
Tammy memandangi Zein sejenak, sebelum akhirnya mengalihkan perhatiannya pada Pak Dirga, pria dewasa yang sedang memberikan materi.
Ingatannya melayang pada peristiwa beberapa hari yang lalu. Saat Pak Dirga tiba-tiba saja berlutut di hadapan dan melamarnya dengan suara yang lantang.
Seusai rapat, Tammy meminta Zein untuk masuk ke ruangan pribadinya. Mereka duduk di sofa sambil berbincang dengan santai.
Zein sempat terperangah sesaat, sebelum akhirnya tertawa menanggapi cerita Tammy.
"Terus, gimana, Mbak? Lamaran mas Dirga diterima?" tanya Zein setelah berhenti tertawa.
"Aku tolak. Masih belum ada keinginan untuk menikah saat ini," jawab Tammy.
"Kenapa? Ntar keduluan sama aku."
"Entahlah. Mungkin aku belum menemukan orang yang bisa mengerti diriku apa adanya. Bisa mencintai tanpa embel-embel nama papa," jawab Tammy pelan.
"Ehm, mungkin bisa dicoba dulu, Mbak. Sepanjang yang aku lihat, mas Dirga itu orang yang cukup baik. Ibadahnya rajin. Kami sering ketemu di musala. Sepertinya dia memang lebih betah di sana daripada di ruangannya sendiri," sahut Zein seraya tersenyum lebar.
"Orangnya juga gagah, tampangnya cukup oke walaupun masih kalah ganteng bila dibandingkan sama aku," lanjut Zein yang langsung disambut tawa Tammy.
"Iya, dia memang baik. Sopan banget. Tapi, Zein, aku sedikit ngeri. Karena kami pernah mengobrol panjang lebar soal jodoh. Dia menginginkan perempuan soleha, dan aku bukan tipe yang seperti itu," tukas Tammy.
"Maksudnya, gimana?"
Tammy bergerak mengambil gelas berisi teh hangat di atas meja. Menyesapnya dengan perlahan sebelum menjawab pertanyaan Zein.
"Dia ingin seorang istri rumahan. Mengenakan pakaian muslimah. Benar-benar sosok perempuan sejati," jawab Tammy sambil tersenyum lemah.
"Sepertinya aku ketinggalan banyak cerita ini. Sejak kapan kalian memutuskan untuk berpacaran?" tanya Zein dengan rasa penasaran di titik tertinggi.