Rintihan

1024 Words
9 Malam itu Zein menghabiskan waktu dengan menonton film horor di televisi. Duduk bersila di atas sofa sambil menyantap makan malam dengan santai. Bunyi ketukan di pintu sontak membuatnya menoleh. Meletakkan piring ke atas meja dan beranjak ke pintu. Mengintip melalui lubang kecil di pintu sebelum membuka benda itu dengan sedikit tanya dalam hati. "Hai, ganggu nggak?" tanya perempuan berparas cantik dengan penampilan yang sangat menarik. "Nggak, Mbak. Ayo, silakan masuk," sahut Zein sambil memundurkan tubuh untuk memberi ruang lebih agar Eva bisa lewat. "Hmmm, dekorasinya minimalis sekali," ucap Eva seraya tersenyum. Zein menunduk dan menggaruk belakang kepalanya dengan rikuh. Seulas senyuman miring tercipta di wajahnya yang tampan. "Maklum, rumah bujangan," tukas Zein sembari mempersilakan Eva untuk duduk. Perempuan yang mengenakan dress selutut berwarna hijau tua itu menatap Zein sejenak setelah duduk di sofa tunggal. "Ada yang bisa kubantu?" tanya Zein sambil duduk di tempat semula. "Lagi makan, ya? Dilanjutkan aja, Mas." Eva mengalihkan pembicaraan. Zein menaikkan alis, berusaha menebak-nebak tujuan Eva datang. Namun, setelah berpikir cukup lama akhirnya dia menyerah. Mengambil piring dan melanjutkan acara makan yang tertunda. Kembali fokus menonton film sambil menghabiskan makanan. Kemudian, berdiri dan jalan ke kulkas. Membuka pintu dan mengambil satu botol besar minuman teh kemasan. Mengambil dua buah gelas dari rak dan membawanya ke meja. Membuka tutup botol dan menuangkan isinya ke dalam dua gelas tersebut. "Diminum, Mbak," ujar Zein sambil meraih segelas dan meminumnya sampai habis. Eva pun melakukan hal yang sama. Sejenak hening. Zein tetap berusaha menyabarkan diri untuk menunggu Eva memulai bercerita. "Ehm, gini, Mas. Aku ke sini untuk mengabaikan. Kemarin, pemilik unit sebelahku itu datang," ujar Eva memulai pembicaraan. Zein memajukan tubuh untuk bisa mendengarkan dengan lebih baik. "Dia memang jarang sekali untuk bertegur sapa dengan penghuni lainnya. Orangnya sangat tertutup. Yang aku tahu itu namanya Yoga." "Ini fotonya," lanjut Eva dengan menunjukkan sebuah foto dari ponselnya. Zein bergerak lebih dekat dan memandangi foto tersebut. Ada rasa aneh dalam hati saat melihat foto orang yang bernama Yoga. Sosok pria bertubuh kurus itu mengingatkannya pada sosok seorang pria yang pernah ditemuinya. Dulu. "Setiap datang itu, Yoga akan mengurung diri di unitnya. Hanya sesekali ke luar dan kembali dengan seorang perempuan yang berganti-ganti." "Mereka akan bersama sampai perempuan itu ke luar keesokan harinya dengan wajah yang tampak lebih tua dari saat datang." "Aku tahu soal hal ini, karena tiga unit lainnya juga mengatakan hal yang sama. Bahkan, yang paling dekat posisi kamarnya pernah bercerita, dia mendengar rintihan suara perempuan bila ada Yoga di unitnya." "Rintihan, ya, Mas. Bukan erangan!" tegas Eva saat menyadari Zein tersenyum lebar. "Iya, iya. Lanjut aja ceritanya," sahut Zein setelah terkekeh pelan. "Ehm, gini, Mas. Menurut Priscilla, yang kamarnya berdekatan itu, kadang suara rintihan itu masih terdengar saat Yoga tidak berada di tempat." Hening kembali. Zein menegakkan tubuh dan mengusap tengkuknya. Mendelik ke kiri untuk memberi kode pada Rima untuk berpindah duduk. Hantu centil itu seolah tidak peduli dengan delikan sahabatnya. Rima tetap duduk dengan santai di sandaran sofa, dan menumpangkan tangan ke pundak Zein. *** Keesokan harinya, setelah membersihkan diri dan berganti pakaian, Zein dan Adi segera bertamu ke lantai tiga. Eva dan kedua penghuni lainnya, yaitu Bimo dan Anwar sudah menunggu di unit milik Priscilla. Setelah bersalaman dan berkenalan, mereka segera mengatur posisi untuk menunggu kedatangan Yoga. Menurut Anwar, penghuni unit di seberang unit Yoga, pria bertubuh kurus itu sudah sejak sore hari telah keluar dari unit. Detik demi detik menunggu kedatangan Yoga, sedikit meresahkan Zein. Entah kenapa dia seperti merasakan ada sesuatu hal yang akan terjadi. Adi yang melihat perubahan wajah sahabatnya itu, menepuk-nepuk pundak Zein untuk memberikan ketenangan. Bersahabat sejak sepuluh tahun yang lalu membuat Adi sangat paham dengan sifat dan perilaku Zein. Demikian pula sebaliknya. Tidak ada satu hal pun yang bisa lepas dari pantauan. Setiap Zein merasakan sesuatu, Adi juga bisa merasakan hal yang sama. Zein yang merasakan kehadiran makhluk astral di lorong depan, segera melesat dan mengintip dari lubang kecil pada pintu. Pria berambut cepak itu sedikit tertegun saat melihat sosok yang melintas di lorong. Tangannya bergerak hendak membuka gagang pintu, namun tertahan oleh cekalan tangan Adi di lengan kanannya. "Jangan langsung ke luar. Bahaya, Zein. Takutnya makhluk itu tiba-tiba menyerang. Kalau ke kita berdua pasti bisa ditangkal. Tapi gimana dengan mereka?" tanya Adi dengan suara rendah. Zein berdiam diri sejenak, memikirkan perkataan Adi. Harus diakuinya bahwa kali ini sahabatnya itu benar. Dia tidak boleh gegabah. Suara orang mengobrol dari lorong membuat Zein mengintip lagi. Kembali tertegun saat melihat sosok pria yang tadi dilihatnya di foto itu ternyata sudah kembali. Bersama pria itu, tampak seorang perempuan muda berambut sebahu, yang mengenakan dress tanpa lengan berwarna merah. Mereka berdua saling berpandangan dalam diam. Mencoba menebak-nebak peristiwa apa yang akan terjadi. Tiba-tiba terdengar suara Eva memanggil mereka untuk masuk ke kamar Priscilla. Zein dan Adi bergegas masuk dan berdiri di dekat dinding pembatas. Zein menempelkan telapak tangan kanan ke dinding. Memejamkan mata dan berusaha menangkap getaran dari unit sebelah. Setiap makhluk itu mempunyai getaran tersendiri. Semakin kuat getaran, maka bisa dipastikan makhluk itu memiliki kemampuan yang besar. Detik demi detik menunggu sesuatu yang masih belum jelas itu benar-benar membutuhkan kesabaran ekstra. Keenam orang itu sesekali saling berpandangan. Priscilla yang sangat tegang, tak henti-hentinya berjalan mondar mandir di dalam kamar. Saat suara rintihan mulai terdengar, keenam orang itu semakin merapatkan diri ke dinding. Memasang telinga lebar-lebar untuk bisa mendengar lebih jelas. Rintihan yang bersambung dengan tangisan, membuat Zein merasa yakin telah terjadi sesuatu hal yang tidak baik di unit sebelah. "Eva, lapor security. Priscilla, lapor RT. Anwar dan Bimo, kalian ikut kami," perintah Zein yang langsung bergerak cepat ke luar kamar. Membuka pintu unit dan lari ke unit sebelah. Menekan bel beberapa kali untuk memancing agar Yoga mau keluar. Tindakan Zein berhasil. Yoga membuka pintu dan memandangi keempat pria itu dengan raut wajah dingin. "Kalian siapa?" tanya Yoga dengan nada menyelidik. Bimo yang hendak menjawab, segera dicegah oleh Anwar dengan gelengan beberapa kali. Keempat pria itu terlibat adu mulut dengan Yoga. Beberapa penghuni lain akhirnya ke luar dan ikut menonton peristiwa pertengkaran itu. Tak berapa lama kemudian pihak security telah tiba. Disusul dengan pengurus RT dan staf pengelola apartemen.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD