(5) Bab Empat

1620 Words
                                            ***                                 Selamat membaca.                                             *** People say your smile can make your life happier, but not with me, your smile makes my life full of wounds.                                             *** "Hay, boleh gabung?" Gita yang baru saja reda dengan batuk dan keseleknya pun mendadak menatap kearah kanan, di mana ada Gilang, bukan, bukan Gilang yang kini ditatap oleh Gita, tapi perempuan yang beridiri di samping Gilang, perempuan yang meminta izin untuk bergabung dengan Gita dan Gilang. Perempuan itu Meisya Asita, Gita hanya tahu saja dengan Asita ini, tidak berteman akrab tapi, karena katanya Asita ini sering ikut lomba, mata Gita terpejam sedikit, mencoba mengngat lagi tentang perempuan ini, otaknya mulai berpikir, siapakah perempuan yang tadi melemparkan senyum kepadanya, kenapa jadi ia mau bergabung  dengan Gita, kan mereka tidak terlalu dekat, kenapa Asita malah mencoba sok kenal dan sok dekat seperti ini. Satu detik Dua detik Hingga detik ke tiga, akhirnya Gita ingat. Ah! Gita ingat dia pacarnya Gilang kan? Oh. Tapi dari tatapannnya sih ada yang mengganjal dari dua orang ini, kalau Asita berada di tempat ini juga, kenapa ia tidak bersama dengan Gilang, dan kenapa malah Gilang bersama dengan dirinya. Gita memilih berdiri setelah mengingat tentang Asita ini, ia memeriksa ponselnya saat melihat ada telpon yang tidak terjawab dari Lidia. "Em, Gilang, Sita gue duluan ya." Gita segera berdiri, pamit diantara dua orang yang sama sekali tidak melempar kata itu, akhirnya Gita bisa keluar dari suasana yang tiba-tiba canggung saat Sita datang. Gita menarik resleting jaketnya hingga ke lehernya saat ia mulai melintas pintu masuk stadion, berniat untuk keluar dan mengambil motornya, tangannya juga tiak tinggal diam, berkali-kali perempuan itu menelpon balik Lidia, tapi hasilnya malah nihil, tidak ada jawaban dari perempuan itu.  Langkah kaki Gita terhenti saat melihat Valdo menyetuh kepala seorang perempuan, yang bisa Gita lihat wajah perempuan itu seketika memerah, dan terlihat imut, sangat mengemaskan, saat Valdo memilih untuk menyentuh kepalanya. "Valdo woy! Cewek mulu," ledek Gita sambil berlalu, tetap dalam langkahnya untuk keluar dari stadion, Gita menggelengkan kepala, bukan kah tadi Valdo mengatakan pamit untuk pulang, tapi, kenapa malah laki-laki itu bersama dengan perempuan di situ. Mendengar ada yang menegurnya, mata Valdo membulat seketika, Gita adalah salah satu perempuan yang begitu ia hindari, dalam artian karena mulut Gita itu terlalu lemes! Satu saja gosip atau fakta yang sampai di telinga Gita, maka sedetik kemudian gosip itu semaki akan menyebar di SMA Kartika Putri dengan cepat, Valdo juga bingung kenapa perempuan itu bisa sebegitu hebatnya dalam menyebarluaskan berita, atau memang koneksi Gita untuk gosip sangat banyak, hingga bisa seluas dan secepat itu tindakannya dalam khasanah pergosipan. Valdo berdecak kembali, penggemar Valdo itu cukup banyak di sekolahnya, dan temeng Valdo saat ini adalah dengan cara diam, dan berkelakuan cuek, ia tidak mau tahu dengan orang sekitar, tapi Valdo memang termasuk anak baik dan perhatian, tapi ia kembali berpikir, bahwa dengan cara diam ia bisa menjadi orang yang terkesan miesterius dan jarang diganggu orang lain, dan jelas saja, itu semua dilakukan hanya untuk menjaga privasinya, Valdo tidak mau ada orang luar yang ikut campur dalam kehidupannya, apalagi masalah pasangan, dan pilihannya. ---- "Hallo my best friend, lo ke sasar apa gimana? Gue sampai lari sepuluh putaran lo enggak datang-datang juga," suara Gita menggema, membuat Lidia yang baru saja menempelkan ponsel ke telinganya memilih untuk memberikan jarak, menjaga kewarasan gendang telinga Lidia, agar tetap baik-baik saja. Lidia menarik napas, matanya menatap langit yang saat ini menjadi atapnya berdiri, begitu banyak bintang, tapi diselimuti dengan awan yang gelap. "Gue datang," sahut Lidia yang membuat Gita ingin sekali menabok Lidia sekarang juga kalau bias, kalau Lidia datang, kenapa ia tidak menyamperin Gita, Gita lari sepuluh putaran itu mampu menghabiskan waktu yang lama, jadi rasanya tidak mungkin ia sudah pulang saat itu. Lagi pula Lidia datang dari mana, bakan Gita sudah lama sekali menunggu Lidia di stadion itu, sampai berulang kali menelpon temannya itu, tapi tetap saja Lidia tidak memunculkan batang hidungnya yang mancung itu, yang terkadang membuat Gita iri karena hidungnya, dan membalas jawaban dari telponnya, atau mengirimkan pesan kepada Gita. "Tapi kenapa gue enggak lihat lo?" banyak sekali rasanya kalimat yang ingin Gita sampaikan kepada perempuan itu, tapi ia memilih untuk bertanya dengan nada tidak kasar, ia takut kalau saja Lidia akan marah, haha. Lidia kembali mendongkakkan kepala, mencari alasan yang tepat, agar tidak kedengaran terlalu berbohong oleh Gita. "Tapi gue pulang lagi ada urusan soalnya." Gita yang dasarnya manusia tidak mau ribet mah hanya mengiyakan, sebenarnya bukan manusia yang tidak mau repot, Gita adalah perempuan yang sangat percaya dengan apa yang dikatakan kepadanya, apalagi ini yang mengatakannya adalah Lidia temannya sejak kelas satu SMA, lagi pula Lidia tidak pernah berbohong kepada Gita, dan rasanya tidak mungkin berbohong. Sama seperti Gita yang mempercayai bahwa Alvin tidak akan selingkuh lagi, awalnya Gita tidak mau, Gita tidak percaya bahwa Alvin tidak selingkuh lagi, tapi dengan hati yang terlalu baik, Gita menerima kembali janji bahwa Alvin tidak akan selingkuh, yang kembali laki-laki itu patahkan dengan kenyataan yang ia lakukan, Alvin mengingkari janjinya. "Oh, mendesak banget ya?" Tanya Gita, kesadarannya kini kembali kekenyataanya, memikirkan Alvin terus menerus sama saja membuat Gita terbelenggu dalam keadaan yang menyedihkan, menjadi korban dari Alvin, menjadi korban dari laki-laki, bukan kah itu hal yang menyedihkan? Lidia menganggukan kepala, padahal Gita tidak akan pernah melihat gerakannya itu. "Git, gue tutup ya." Lidia memilih untuk mengakhiri panggilan itu, ia sama sekali tidak bisa berbohong dnegan temannya itu, rasanya sangat menyulitkan, apalagi Gita begitu baik padanya. Gita menggantupkan mulutnya, ia baru saja ingin protes kenapa Lidia memutuskan sambungan telponnya, padahal Gita lagi bosen, ia bingung untuk ngapain lagi. Suara ketukan pintu membuat Gita terpanah, karena kesadarannya kembali menghilang, dia merindukan Alvin, sungguh merindukan laki-laki itu. Walau, jujur mungkin Gita akan dikatakan perempuan bodoh oleh semua orang yang ada di muka bumi ini, karena masih mencintai laki-laki seperti Alvin, yang selalu menyakitinya. Tapi ingat, dibalik sikap Alvin yang suka mematahkan hati  Gita, Alvin sangat baik kepada Gita, bahkan ia tidak pernah menyentuh badan Gita! Ya, laki-laki yang bernama panjang Alvin Gelda Padric itu tidak pernah melakukan hal-hal aneh diusia remajanya kepada Gita, bahkan Alvin sempat meminta izin saat menggandeng tangan Gita, begitu manis sekali rasanya laki-laki itu.             "Ada titipan Non, tadi ada kurir yang nganter," kata Asisten Rumah Tangga Gita yang saat ini berada di depan kamar Gita.             Kini perempuan itu mulai memandang apa kira-kira yang berada di depannya itu, kotak yang terbalutkan kertas kado berwarna pink dan ada nama Gita serta alamat dan lengkap bersama nomor telpon Gita di atasnya.             "Masa iya gue punya Scret admirer?" Tanya Gita kepada dirinya sendiri setelah menerima paket itu.             Oke, Gita memang perempuan yang kadang kadar percaya dirinya tinggi, tapi untuk sekarang Gita tidak mau terlalu percaya diri dulu, karena terkadang terlalu percaya diri itu menyakitkan diri sendiri. Iya, contohnya disaat kita terlalu percaya diri bahwa Doi juga suka kita tapi kenyataan tidak, kan sakit, kan menyebalkan, dan bisa mengundang air mata yang berlebihan.             Gita dengan pelan membuka perlahan kotak yang terbalut kertas warna pink itu, awalnya rasa percaya diri Gita memuncak, saar tanda-tanda kado di dalam kotak itu aman tapi saat melihat ada sedikit bercak berwarna biru, entah kenapa membuat Gita berhenti membuka kado misterius itu, Gita takut isinya bangkai tikus, atau apalah itu yang membahayakan bagi kesehatan jatung Gita.             Gita memilih untuk mengguncang kotak itu, isinya tidak terlalu berat, dan berbunyi nyaring. Gita kembali menarik napas, dan memejamkan matanya, mulutnya tak lupa melapalkan beberapa do'a yang ia ingat saat mendesak seperti ini dan, akhirnya dalam satu gerakan tarikan, Gita menarik penutut kotak itu.             Mulut Gita menganga, di dalamnya ada boneka kecil lumba-lumba berwarna pink, dan satu tangkai bunga mawar warna biru, saat itu juga air mata yang sempat mendesak ingin turun dari mata Gita tidak tertahankan lagi, Gita kembali menangis, hanya karena melihat dua benda itu. Tanpa menduga pun Gita sudah tahu siapa pengirim kado ini, jawabannya adalah Alvin, mantan pacarnya itu. Air mata Gita turun tanpa bisa terhenti, lagi-lagi Gita terisak dengan apa yang dikirimkan oleh Alvin kepadanya.             Kenapa Alvin melakukan ini pada Gita? Bukan kah semua sudah berakhir, Gita dan Alvin kita sudah tak ada lagi hubungan apa-apa, bahkan Gita sudah memblokir semua akses komunikasi antara dirinya dan Alvin, memnadakan bahwa perempuan itu benar-benar ingin menghilangkan Alvin dari hidupnya, Alvin benar-benar harus pergi dari hidup Gita.             Kali ini air mata Gita membuktikan bahwa laki-laki itu masih mengingat tantangan dari Gita saat Alvin mengatakan bahwa ia menyukai Gita dahulu, dan Gita saat itu tidak secara gamblang menerima Alvin, dia memberikan tantangan untuk Alvin mencari bunga mawar bewarna biru.             Tanpa Gita tahu, Alvin membeli bunga mawar berwarna putih dan Alvin memberikan cat di kelopak bunga itu dengan warna biru, Gita baru tahu kejadian itu setelah mereka menjadi sepasang kekasih selama dua bulan, dan pada saat itu ekpresi yang diberikan Gita hanya tertawa, dan menggelengkan kepala, bagaimana bisa otak Alvin sebegitu jalannya, padahal kalau Alvin cari bunga mawar berkelopak biru pasti ada.             Tangisan Gita kembali pecah saat Gita melihat surat kecil di dalam kotak itu.             "Selamat hari jadi, Gita, maaf aku selalu menyakitimu, semoga kamu bisa melupakan aku, dan kesalahanku selama ini." Tertanda, Alvin.             Dan pada saat itu juga Gita yakin, malam ini akan ia habiskan dengan tangisan mengenang Alvin, hingga pagi. Mengenang bahwa Alvin memang tidak bisa hidup di hidup Gita lagi.             Terkadang, Gita memilih untuk tak mengingat semuanya, kenangan baik mau pun buruk yang Alvin berikan padanya, Gita ingin ia bisa mengingat Alvin sebagai teman saja, tanpa ada cinta di dalamnya, tapi, tetap saja kenangan akan mengubah semuanya, walau kadang, waktu akan menyembuhkan luka, tapi, Alvin akan tetap menjadi orang yang memiliki kenangan sangat buruk di hidup Gita.             “Alvin, can you stop this altogether, stop all the memories running through my head?”                                                                                           ----
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD