51-?Beautiful Eyes?

1055 Words
_***_ Cermatlah memilih teman karena terkadang seseorang yang kamu anggap teman, justru merupakan musuh paling mematikan. _***_ Kakiku terasa sakit, ingin rasanya berhenti namun jika itu aku lakukan. Aku tak mau menambah rasa sakit ini lagi. "Ashhh .... " Aku terus berusaha melangkah menahan rasa sakit yang menyerang kakiku. Rasa sakit ini seperti menjamur sampai ke tulang. "Hey! Mau kemana, Helen? Kamu harus ikut ayah!" Kedua kakiku terangkat menjauh dari tanah. Tubuhku melayang seiring kerah bajuku yang hampir sobek. Tangannya yang kekar itu mampu mengangkat tubuhku. Menghalauku untuk terus berjalan menjauh darinya. "Helen, tidak mau, Yah! Helen mau pergi!" Disisa tenagaku yang terkuras, aku berusaha untuk terus berteriak memohon belas kasihan darinya. "Kamu harus turuti apa kata ayang!" bentak Ayah kembali. Aku berusaha memberontak menendang tubuh Ayahku yang menahan tubuhku. Dugh ... Aku berhasil menendang perutnya dan kini tangannya terlepas. Aku terhempas ketanah begitu saja. Walaupun begitu aku masih berusaha merangkak menghindar dari jangkauannya. "Kurang ajar!" Aku terus merangkak mundur menghindari sosok pria itu yang semakin mendelat ke arahku. Tatapannya semakin bengis dan tubuhnya seketika mengeluarkan aura amarah yang sangat kuat. "Ayah, Helen mohon lepaskan Helen," mohonku masih berusaha sebisa mungkin menjauh dari jangkauannya. "Gak bisa! Kamu harus ikut ayah! Sosok yang selalu melindungimu sudah mati. Kamu harus ikut ayah, Helen!" Sakit rasanya hati ini mendengar kalimat itu keluar dari mulut ayah. Tetapi kenyataannya aku memang sudah tidak memiliki sosok yang bisa melindungiku di rumah. Saat aku terus berusaha merangkak menjauh, tanganku terasa perih. Aku menengok dan ternyata ada darah segar di sana. Tanganku mengeluarkan darah? Saat aku sedang mengamati tanganku yang terasa perih, saat iti juga aku sudah terpojok. Ayahku sudah menjangkau diriku. Ia menahan kerah bajuku. Dengan gemetar aku mencoba bertahan. Sesuatu yang kini ada dalam genggamanku aku angkat di depan wajahnya. "Kalau ayah masih menahan Helen, Helen gak segan-segan menggores pecahan kaca ini ke wajah Helen!" ancamku kepadanya yang nampak terkejut. Ia sontak menjauh dari tubuhku. Aku tersenyum sendu, jika memang tidak ada pilihan lain, aku harus melakukannya. "Jangan pernah merusak aset ayah!" Lagi-lagi ia menggumamkan kalimat yang sama. Muak rasanya mendengarknya. "Cih!" Tanpa pikir panjang aku melakukan apa yang aku ancamkan kepada ayah. Agaknya ini satu-satunya cara untuk bisa kabar dari ayah. Aku tidak mau dijadikan boneka penghasil uangnya. Air mata semakin deras mengalir seiring dengan bau anyir yang menusuk indera penciumanku. Aku tertawa kencang, akhirnya aku bisa melakukannya walaupun ini akan menyiksa diriku. Setidaknya semua usaha untuk melarikan diri tak terasa percuma. Di sini sudak tak ada yang bisa menolongku, aku harus bisa bertahan hidup sendiri. "Ayah, maafkan Helen ... " ucapku parau sebelum kegelapan menelanku. Helen's POV Dengan terengah-engah aku terbangun. Lagi-lagi memimpikan masa kelam itu. Keringat mengucur deras membasahi wajahku dam bantalku. "Berani-beraninya kejadian itu masuk di mimpiku!" geramku dengan mengepalkan tanganku kuat-kuat. Aku menoleh kepada jam weker yang ada di meja. Ternyata sudah menunjukkan pukul 06.05. Dan pandanganku berhenti di sebuah vas poto yang ada di samping jam itu. Akupun bangkit dari tidurku menuju vas poto itu. "Emmm, kenapa lo berubah?" gumamku dengan memegang erat vas poto itu. Senyuman penuh misteri terbit di wajahku. "Jika memang ini keinginan lo, gue bakal ladenin." Aku kembali meletakkan foto itu ketempatnya. Kemudian aku bergegas pergi untuk bersiap pergi ke sekolah. Karena ini sudah cukup siang untuk terus bermalas-malasan. *** Di dalam foto yang dilihat Helen tadi ternyata merupakan foto dua orang gadis berseragam putih abu-abu. Mereka tersenyum ke arah kamera dengan rona bahagia yang terpancar. Nampaknya mereka adalah sepasang sahabat dimasa lalu. *** Aku terus melangkah menyusuri karidor yang kini sudah sepi. Wajar saja sudah beberapa menit yang lalu sekolah dibubarkan sehingga wajar jika sekolah sudah sepi. Bayang-bayang masa lalu seketikan berkelebatan. Dulu aku masih ingat ketika aku dan Lista menghabiskan waktu bersama. Kami sering pulang telat untuk sekedar bercerita di dekolah atau memesan makanan untuk makan bersama. Iya, saat itu kami masih cukup akrab. Bahkan seisi sekolah tahu kalau aku dan Lista adalah sahabat yang tak terpisahkan. Namun sayangnya kini tak ada lagi hal seperti itu. Semenjak kejadian kelamku, aku berusaha untuk menemui Lista untuk berbincang dan menceritakan permasalahanku di rumah, namun aku tak mengerti ia seolah menjauh begitu bertemu dengan sosok Wendya. Saat itu sempat terpikir olehku jika Lista meninggalkanku. Namun bodohnya aku tanpa pikir panjang menepis pemikiran itu dan percaya bahwa Lista tak mungkin meninggalkanku. Aku terus berusaha sabar dan mendekatinya kembali perlahan, namun kejadian dengan ayahku itu membuatku sejenak harus mundur. Aku memutuskan untuk pergi jauh darinya. Aku berharap saat aku kembali nanti Lista sudah kembali kepadaku. Namun .... "Hei! Lo sahabatnya Bintang kan?" Mendengar pertanyaan itu menyentakku kembali ke kehidupan nyata. Bayang-bayang mengerikam itu akhirnya menghilang. Aku menghentikan langkahku tepat di depan sebuah kelas. "Siapa?" Aku melihat seorang gadis berpakaian sepertiku mendekat. Wajahnya nampak tidak asing di kepalaku. Namun aku tak mengenal sosok itu. Ia berhenti tepat di depanku. "Lo sahabat Bintang kan?" tanyanya sekali lagi. Aku menyipitkan mataku bertanya-tanya mengapa ia menanyakan hubunganku dengan Lista. Dan apakah ia mengenal Lista. Serta mengapa ia memanggil Lista dengan nama Bintang. "Lo siapa?" tanyaku menjawabnya dengan pertanyaan juga. "Gue Era, tunangan Radif," jawabnya penuh keyakinan. Aku tersentak begitu mendengar jawabannya. Tunangan Radif? Yang benar saja. Aku tertawa sinis kepadanya. "Mustahil lo tunangan Radif. Sepertinya lo jauh dari tipe Radif." Ia berdecih kesal mendengar jawabanku. Yang benar saja siswi sepertinya menjadi tunangan Radif. Dari sisi luarnya saja ia terlihat sebagai sosok pembully dan aku tahu persis Radif tak suka dengan gadis yang seperti itu. "Kalau lo gak percaya terserah sih. Gue cuma mau nitip pesan untuk sahabat lo itu. Jangan pernah gangguin lagu Radif. Radif itu tunangan gue dan akan terus seperti itu!" Sejenak aku terdiam mendengar ocehan tak masuk akalnya itu. Kemudian aku menertawakan kenyataan dirinya yang sepertinya sedang berhalusinasi itu. "Gak ada yang lucu!" sentaknya membuatku terdiam. Aku menyilangkan tanganku bersedekap. Mengamati penampilannya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Tidak buruk juga, ia memang terlihat cantik namun ucapannya itu pasti hanya kebohongan belaka. "Lo minta tolong sama gue? Kalau lo beneran tunangannya, semestinya lo bisa menghentikan Radif untuk dekat dengan Lista. Nyatanya lo malah tanya sama gue, bukankah itu sangatlah janggal?" tanyaku menyindirnya telak. Ia nampak terdiam kehabisan kata-kata. Lihatlah ia hanyalah pembual yang hanya bisa omong besar saja. Aku kembali tertawa sinis sembari berjalan memutarinya yang sedari tadi diam saja. "Lo sepertinya salah meminta tolong ke gue." "Kenapa?" "Karena gue sebenarnya adalah saingan lo!" Tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD