52-?Beautiful Eyes?

1260 Words
_***_ "Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan." -QS Al Insyirah 5-6 _***_ Calista's POV Aku masih termagu menatap halaman gelap dan kosong. Badanku terasa lelah dan pikiranku pun tak henti-hentinya berpikir menguras tenaga. Hrlaan demi helaan aku lontarkan mencoba mencari solusi yang tak menemukan jalan keluarnya. "Huh ... pusing!" seruku entah ini sudah keberapa kalinya. Masalah persahabatan menurutku sangatlah berat. Aku tak menyangka akan menemui permasalahan serumit ini di dalam persahabatan. Aku akui, aku memang masih awam untuk urusan teman. Dan lagi ucapan Radif yang mengenai persahabatan yang menurutnya konyol itu juga terus menghantuiku. "Ah Radif resek! Bukannya meringankan pikiranku, malah makin nambah-nambahin pikiran aja." Entah mengapa ucapannya jika aku tela'ah lagi membuatku mendadak goyah. Persahabatan dan persoalan Helen nampak memang suatu penghianatan. Tapi ... "Ah! Pokoknya gue harus buktiin kalau pemikirannya itu salah!" Iya, aku telah bertekad dan aku percaya bahwa sahabat sejati itu ada. Bagiku pemikiran Helen tak seperti ini, pasti ada sebabnya ia malah berpindah haluan. Aku harus menyelidikinya. Dan juga untuk Wendya sepertinya aku hanya harus berbicara dari hati ke hati dengannya. Yosh! Aku harus segera menuntaskan masalah ini! Sebagai langkah awal, sepertinya aku harus menghubungi Wendya. Akan efektif sepertinya jika aku memperbaiki hubunganku dengan Wendya dahulu. Bukannya mengesampingkan Helen, aku hanya harus mencegak kemungkinan Wendya akan semakin menjauh. Aku memiliki firasat bahwa Wendya menjauh karena kehadiran Helen. Oke aku sudah memiliki rencana. Aku harap bisa berjalan sesuai yang aku inginkan. Aku meraih ponselku untuk kugunakan menghubungi Wendya. Aku harap ia mau menerima ajakanku nanti. Aku mengetik beberapa baris kalimat. Yang ingtinya berisi ajakan besok sepulang sekolah untuk mengobrol bersama. Jarak kami yang terasa semakin jauh membuatku tak tahan untuk terus merasa canggung. Apalagi kami di sekolah sebagai teman sebangku. "Semoga lo nerima ajakan gue, Wen." *** Keesokan harinya seperti biasa, sebagai pelajar melakukan kegiatan belajar mengajar. Aku sebenarnya sedang malas dan tidak mood untuk belajar, namun mau bagaimana lagi ini sudah lewajiban yang harus aku jalankan. Lagi pula abi dan umi juga sudah berusaha keras mencari uang untuk menyekolahkanku, tidak patut untukku mengeluh dan bermalas-malasan. Aku kini tengah berjalan menuju sekolah. Karena Kak Ken baru pulang nanti sore, aku hari ini memutuskan untuk naik bus saja. "Oy!" Aku yang sedang berjalan menuju halte bus, seketika berhenti. "Loh Radif? Ngapain di sini?" tanyaku melihat sosok yang memanggilku tadi adalah Radif. Tidak sempat Radif menjawab, bus yang ingin aku tumpangi baru saja datang. "Terusin nanti, Dif, gue mau berangkat," ujarku kemudian mendekati bus untuk naik. Namun Radif yang aku ajak bicara tadi justru malah berjalan di depanku. "Loh, lo naik bus?" tanyaku heran. "Udah cepet masuk dulu keburu ditinggal," balas Radif kemudian menaiki bus. Aku yang tak ingin tertinggal pun turut naik. Aku heran mengapa Radif menaiki bus? Ah bisa saja sih ada permasalahan dengan sepeda yang ia gunakan, namun mengapa ia repot-repot sampai halte yang ada di dekat rumahku? Padahal rumahku dan Radif sepertinya jauh. Saat sudah naik, aku melihat kursi bus sudah penuh semua. Jadi aku terpaksa harus berdiri untuk hari ini. "Sini duduk." Aku menoleh dan mendapati Radif yang ternyata duduk di samping kananku. "Loh?" Ia nampak berdiri dan memberikan tempat duduknya untukku. "Ah gak usah. Gue udah biasa berdiri kok," tolakku merasa tak enak. Selepas menolak tawaran Radif, tasku seperti ditarik dan membuatku otomatis terduduk di kursi yang ditawarkan Radif. "Disuruh duduk aja ribet dah," gerutu Radif yang masih bisa terdengar. Entah mengapa bibirku sontak tertarik ke atas membentuk lekukan kecil. Rasanya aneh jika kalian ingin tahu. Seperti ada gejolak tak jelas di dadaku. "Makasih," ucapku lirih kemudian memalingkan padanganku ke sepatu sekolahku. Huh rasanya gerah di sini. Padahal tadi terasa dingin. Sangatlah aneh. Aku tanpa sadar mengibas-ibaskan tanganku di wajahku yang terasa panas. Jangan sampai wajahku kini menjadi merah. *** Bus yang aku tumpangi telah berhenti di halte sekolah. Aku bergegas berdiri untuk turun. Oh iya Radif tadi sudah turun duluan. Ia tadi terlihat buru-buru entah apa yang membuatnya semangat seperti itu. Padahal aku ingin bertanya beberapa hal kepadanya. Aku melihat sekolah sudah lumayan ramai. "Emm jam setengah tujuh sih," ucapku setelah mengintip arlojiku. Kemudian aku bergegas melangkah memasuki sekolah. Saat aku melewati mading sekolah, ada sesuatu yang menarik perhatianku. Aku berhenti sejenak untuk melihat. "Bulan bahasa?" Mataku menyipit membaca lebih detail isi pamflet itu. Ternyata besok adalah bulan bahasa dan sekolah mengadakan beberapa event. Sebuah ide tiba-tiba saja muncul di kepalaku. Sepertinya ini merupakan hal bagus untukku gunakan. Aku pun mengambil ponselku dan menjepret pamflet yang tertempel dimading itu. Senyuman optimis seketika terbit. Sepertinya jalanku untuk berbaikan dengan Wendya semakin terbuka lebar. Kulanjutkan langkahku untuk menuju ke kelas. Hatiku yang tadinya bersuasana buruk, seketika di sinari pelangi. Aku telah menemukan hal bagus pagi ini, jadi sudah sewajarnya aku mood-ku kembali membaik. Kini aku telah sampai di depan kelas. Aku melihat sudah banyak orang yang berangkat. Di sana mataku berhenti pada seorang gadis yang tengah menatap fokus ke bukunya. Sosok itu Wendya yang seperti biasa menyibukkan diri dengan novelnya. "Baik, mari kita lakukan!" gumamku kemudian memasuki kelas yang riuh itu. "Hallo, Wen. Selamat pagi," sapaku kepada Wendya. "Se-selamat pagi, Lis," sambut Wendya dengan suara lirih. Aku lantas tersenyum senang. "Kelihatannya novelnya bagus," kataku berbasa-basi. "Mau pinjem?" tawar Wendya memperlihatkan sampul n****+ itu. Cerita horor? "Ah tidak-tidak jadi," jawabku kemudian menyengir. Perlu kalian tahu aku anti dengan cerita horor. Selalu saja terbayang jika aku sudah menyaksikan atau membaca kisah horor. "Oh iya, Wen, gue ada info menarik," ucapku memulai misi yang aku maksud tadi. "Apa," tanya Wendya singkat namun sepertinya ia juga penasaran. Aku tersenyum kembali. Sepertinya rencana ini tak buruk juga. Semoga bisa membawa dampak baik juga untukku. Aku mengelurkan ponsel dan mengutak-atiknya. Kutelusuri galeri dan membuka foto yang baru saja aku potret. Iya, mengenai event bulan bahasa yang ditempel di mading tadi. "Ada even bulan bahasa," ujarku sembari menunjukkan ponselku yang memperlihatkan pamflet yang aku lihat di mading. "Lihat lah," lanjutku memberikan ponselku untuk bisa ia lihat dengan lebih jelas. "Ini di sekolah?" tanya Wendya yang sesuai dugaanku ia selalu tertarik dengan yang namanya sastra. Apalagi mengenai event yang diselenggarakan tentu akan membuatnya semakin tertarik. "Iya, tadi gue lihat di mading sekolah. Sepertinya sih belum lama dipasangnya." Wendya tak menjawab dan masih menatap pamflet di ponselku. "Kolaborasi menulis?" gumamnya kecil yang masih dapat aku dengar. Iya, event yang tertulis di sana adalah kolaborasi menulis. Maksudnya adalah perlombaan membuat cerita bersambung yang melibatkan dua orang atau lebih. Untuk itulah aku memiliki ide berlian. Aku akan memanfaatkan event ini untuk bisa lebih akrab kembali dengannya. Aku kini hanya bisa berharap semoga Wendya mengikuti event itu dan menjadikanku partner menulis. Aku kembali memperhatikannya yang serius berpikir. Dalam hatiku, aku senantiasa berdoa untuk keputusan yang Wendya buat. "Lo mau ikut gak?" tanyaku memastikan jawaban. Ia masih terlihat berpikir keras namun kemudian memberikan ponselku kembali. "Kayaknya enggak dulu, Lis." Mendengar jawaban Wendya membuatku ketar-ketir sendiri. "Loh kenapa, Wen? Bukannya lo suka nulis?" Wendya mengambil novelnya kembali. "Iya aku memang suka menulis tapi ini bukan perlombaan individu. Aku gak ada parter untuk mengikuti event itu," jawab Wendya terlihat sedih. Aku lantas tersenyum. Sepertinya ini kesempatan yang bagus untuk membuka jalanku dan juga Wendya. "Gue mau kok jadi partner lo," ucapku dengen tersenyum senang. Wendya nampak terkejut. Matanya menyiratkan kebahagiaan, namun ia kembali menunduk. "Apa bisa kita bekerja sama?" Aku mendengar ia mengucapkan keraguan itu. Aku tak mengerti sebenarnya ada apa dengannya. Mengapa ia malah meragukanku? "Kalau lo gak mau, gue bakalan ikut event ini," putusku. Wendya menatapku kembali. Tatapannya tak mampu aku baca. "Dan gue nunjuk lo sebagai partner gue." Kalau Wendya tidak mau memulai, setidaknya aku bisa memulainya. Tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD