56-?Beautiful Eyes?

2315 Words
Jangan memaksakan seseorang untuk bercerita. Karena tiap orang berhak menyimpan atau menceritakan masalahnya sendiri. Dan kita tidak tau seberapa dalam luka yang akan timbul ketika seseorang bercerita tentang masalahnya itu. _***_ Author's POV Malam ini begitu dingin namun tidaklah sesepi seperti biasanya. Bintang begitu banyak menghiasi langit hitam yang terpantau cerah. Bulan sabit nan elok pun turut meramaikan langit malam ini. Meskipun malam identik dengan kegalauan, malam ini terpantau sosok gadis cantik yang malah terlihat asyik natap layar laptopnya yang menyala. "Hey-hey jangan gitu ihh terlalu puitis," ucapnya dengan gelak tawa yang keras. Dari layar laptopnya pun terlihat sosok gadis yang sibuk menulis sesuatu di sana. "Ya udah cariin kata-katanya dong, Lis. Pusing aku tu," keluh gadis yang ada di layar laptop itu terlihat frustrasi sendiri. Berbanding terbalik dengan gadis yang di depan laptop tadi, ia malah terlihat santai dan sesekali melontarkan candaan. "Hahaha ya udah nanti sisanya gue kerjain aja, Wen. Kurang dikit kan itu?" "Iya kurang 4 baris aja sih ini. Kalau gitu aku serahin ke kamu, Lis. Inget loh jangan sampe lupa. Besok harus dikumpulin," ucap Wendya yang nampak telah pasrah dan menyerah dengan tugas mereka yang dikerjakan bersama. "Siap-siap, beres pokoknya, Wen. Oh iya soal bikin cerita buat event bulan bahasa itu mau kapan? Tinggal beberapa hari loh itu." Saat mereka sedang sibuk berdiskusi, tiba-tiba saja ada seseorang yang memanggil. "DEK!!" Akibat teriakan yang begitu keras, Calista yang tadinya tengah terfokus, hampir saja terjatuh dari kursi yabg ia duduki. "Astaghfirullah!" pekiknya menahan kursi yang sudah hampir jatuh tadi. "Heh, Lis, lo gak papa?" pekik Wendya ikut terlejut melihat sahabatnya itu hampir jatuh. "It's okay, Wen. Bentaran ya kakak gue manggil," jawab Lista kemudian mendekati pintu kamarnya. Ketika pintu terbuka, nampaklah seorang pria jangkung berdiri di depan pintu dengan earphone yang menempel kepada telinganya. "Kak Ken ... kenapa sih kenceng banget teriaknya." Pria itu kemudian terkekeh kecil menyadari sang adik yang terlihat kesal. "Hehe maaflah kirain kamu gak denger sih. Lagi zoom kan kamu?" ungkap Ken sembari melepas earphonenya. "Aihh iya-iya. Kenapa, Kak?" "Ini," kata Ken sembari memberikan sebuah buku yang lumayan tebal. "Makasih banyak adik baik." Usai memberikan buku tersebut, ia langsung berbalik dan pergi meninggalkan Lista yang masih terbengong-bengong. "Kenapa nggak Kak Ken balikin sendiri aja sih?" teriak Lista yang merasa kesal dengan tingkah sang kakak. Namun percuma saja Lista meneriaki kakaknya itu, Ken telah memasang earphone yang ia lepas tadi. "Ish untung aja kakak gue, kalau enggak paling udah gue marahin abis-abisan dah," gerutu Lista kemudian memasuki kamarnya lagi dengan wajah cemberut. "Sorry, Wen, ada gangguan tadi." Seseorang yang tadi berbicara dengan Lista pun terkuhat masih setia di depan laptop. "Santai, Lis. Kakak kamu ya?" tanya Wendya yang dari tadi mendengar interaksi kakak adik itu. "Hooh. Ini suruh ngembaliin ke perpustakaan kota," jawab Lista menunjukkan sebuah buku dengan nada kesal. "Eh iya ide bagus tu!" pekik Wendya tiba-tiba. Lista hanya bisa mengernyitkan dahinya mendengar Wendya menyerukan ide bagus. Padahal Lista tadi mengungkapkan kekesalannya, tapi malah ditanggapi berbeda oleh Wendya. "Kita ngerjain di perpustakaan kota aja lusa. Sekalian kamu ngembaliin buku kakakmu itu," usul Wendya memberikan ide brilian. Lista sempat berpikir sejenak, namun kemudian ia pun menyetujuinya. "Boleh sih, Wen. Gue juga kalau ngembaliin buku ini sendirian males." "Hahaha udah aku duga sih. Oke deh kalau gitu lusa kita ke perpus kota ya. Udah lama aku gak ke sana juga sih. Tapi kira-kira kalau weekend kita dapet tempat gak ya, Lis?" "Iya sih kalau weekend pasti rame banget. Satu-satunya cara yah kita berangkat awal. Gimana?" tanggap Lista mencoba memberikan solusi. "Oke-oke aja sih aku." "Sip kalau gitu. Ya sudah kalau begitu meeting kali ini kita akhiri saja. Sampai bertemu dikesemoatan selanjutnya," ucap Lista berlagak seperti pimpinan perusahaan yang sedang memimpin rapat. "Hahaha gaya-gayaan meeting," celetuk Wendya terbahak melihat Lista yang menjiwai perannya sebagai pimpinan. *** Keesokan harinya, Calista berangkat sekolah diantarkan oleh sang kakak. Iya semenjak kecelakaan Lista waktu itu, ia tidak diizinkannlagi untuk menaiki motornya. "Makasih, Kak. Nanti bisa jemput kan?" tanya Lista sembari melepas seatbelt-nya. "Bisa sih insyaallah. Jam 3 kan?" Calista mengangguk pertanda membenarkan dirinya pulang pukul 3 sore. "Oke deh. Tapi kamu jangan telat loh ya. Soalnya jam empat, kakak harus pergi lagi." "Iya-iya, Kak, tenang aja. Ya udah kalau gitu Lista mau masuk sekolah dulu ya. Assalamu'alaikum," pamit Lista kemudian berjalaman dengan kakaknya itu. "Wa'alaikumussalam. Hati-hati." Setelah Lista turun dari mobil, ia melambaikkan tangannya ke arah kaca mobil yang terbuka. "Kak Ken juga ati-ati ya," teriaknya kemudian diangguki oleh sang kakak. Akhirnya mobil Ken pun pergi meninggalkan sekolah Lista. Begitupun Calista yang turut memasuki sekolah tersebut yang sudah lumayan ramai siswa berangkat sekolah. *** Calista's POV Aku bergegas memasuki sekolah begutu turun dari mobil Kak Ken. Iya seperti biasa aku berangkat sekolah diantar olehnya. "Lista!" Seseorang terdengar memanggil namaku. Aku mencari sumber suara dan ternyata di sana ada sosok Dito yang entah kenapa terlihat panik. "Eh kenapa, Dit?" tanyaku begitu Dito sudah sampai di depanku. Dito terlihat terengah-engah dan mencoba mengatur napasnya terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaanku. Sepertinya memang ada kejadian tak biasa di sini. "Helen, Lis .... " Mendengar ucapan Dito yang menyebut nama Helen, membuatku sedikit khawatir. Apakah ada sesuatu yang buruk yang menimpa Helen? "Kenapa, Dit? Tenang dulu tenang," jawabku berusaha membuat Dito tenang sebelum bercerita banyak kepadaku. "Ikut gue sekarang!" seru Dito kemudian berlari. Aku yang semakin penasaran pun ikut berlari mengejar Dito. Aku harap tidak terjadi sesuatu yang serius. Tak jauh ternyata dari tempatku tadi. Dito berhenti dam menerobos kerumunan yang entah sedang melihat apa di sana. Aku pun ikut menerobos kerumunan itu dan memeriksa ada apa di sana. Mataku terbelalak melihat pemandangan yang sedang disaksikan teman-temanku tadi. Ternyata di sana ada Helen dan juga Wendya. Yang membuatku tak percaya adalah di sana Wendya sedang tersungkur dan Helen hanya berdiri menatap Wendya yang terlihat pasrah menahan tangisnya. "WENDYA!!!" Aku berteriak dan langsung mendekati Wendya yang nampak ketakutan. Aku tak mengerti apa yang sedang terjadi di sini. "Wen, lo gak papa?" tanyaku kepada Wendya yang sepertinya sedang terisak dalam diam. Aku melihat seragam bawah Wendya sudah kotor dengan tanah. Aku merasa miris melihat ini semua terjadi kepada sahabatku. "Helen! Maksudnya ini apa?!" teriakku kepada Helen yang terlihat terkejut dan menunjukkan raut wajah yang tak dapat aku artikan . Ia kemudian berjalan mundur dan tak menjawab pertanyaanku. Ia malah terus menatapku dan Wendya yang masih berjongkok. Tangan Wendya memegang pergelangan tanganku dengan erat. Entah apa yang sedang ia maksud. "Hey! Apa yang kalian lihat!! Bubar!!!" Seseorang membubarkan kerumunan itu hingga hanya menyisakan beberapa orang saja. Aku sibuk membantu Wendya berdiri dan memberihkan seragamnya yang kotor. "Ada yang sakit gak?" tanyaku yang cemas dengan kondisi Wendya kali ini. Wendya menggeleng dan berusaha berdiri sendiri. "Makasih, Lis," ucapnya parau akibat tangisannya tadi. Aku melihat sekeliling dan ternyata sudah tidak ada Helen di sana. Kini hanya tersisa Wendya, aku dan juga Dito. Aku yang tak mau ambil pusing pun menuntun Wendya menuju ke UKS. Sedangkan Dito masih mengikuti kami dari belakang. "Sebenarnya ada apa sih, Wen? Kok lo bisa kayak gini?" tanyaku saat menuju ke UKS. "Gak papa kok. Tadi gue cuma jatuh aja gak sengaja nyenggol Helen, jadi cekcok sedikit," jawab Wendya yang semakin membuatku tak mengerti. Aku merasa permasalahannya tidak hanya sesepele itu. Kurasa wendya menyembunyikan kenyataannya. Namun dalam kondisi seperti ini mau tak mai aku harus mempercayainya. Sesampainya kamu di depan UKS, Dito dengan sigap membukakan pintu UKS dan aku mengucapkan terima kasih kepadanya. "Thanks, Dit, lo boleh ke kelas kok. Biar gue yang urus Wendya," ucapku kepada Dito kemudian menuntun Wendya memasuki UKS. Kebetulan UKS belum ada orang. Jadi mau tidak mau aku sendiri yang harus mengobati luka Wendya. "Siniin tangan lo coba," pintaku kepada Wendya. Wendya nampak ragu menunjukkan telapak tangannya. Namun karena aku sudah tau sebenarnya telapak tangannya terluka, aku pun menarik pelan tangan kanannya itu. "Iiiih bohong lo ya, katanya gak ada yang luka," gumamku memarahi Wendya yang berusaha menutupi luka-lukanya. Aku kemudian mengambil air bersih dan membersihkan luka Wendya terlebih dahulu. Kemudian aku memberikan sedikit antiseptik kepada lukanya. "Argh." "Tahan-tahan sikit lagi kok," ucapku masih telaten memberikan antiseptik dengan cottonbud. Terjadi keheningan di antara kami sepanjang aku mengobati luka Wendya. Serprtinya Wendya masih syok dengan apa yangs edang terjadi. "Nah selesai!" ucapku setelah menempel plester untuk menutupi lukanya. "Hehehe makasih banyak, Lis." Aku kemudian berdiri ikut duduk di samping Wendya. Sebenarnya aku sedang bingung dengan apa yang baru-baru ini terjadi. Rasanya semuanya terjadi bukan secara kebetulan. Namun ntahlah aku tak menemukan jawaban pasti atas kejadian-kejadian itu. "Lis .... " Aku menoleh ke arah Wendya yang memanggilku. Raut wajahnya nampak penuh penyesalan. "Ada apa, Wen?" tanyaku berusaha untuk menahan diri tak menanyainya macam-macam. "Maaf banget kalau aku belum bisa cerita semuanya ke kamu," ucapnya dengan menunduk. Sempat terpikir di benakku kalau sebenarnya kejadian yang menimpa Wendya ini merupakan kejadian serius, namun nampaknya ia masih perlu waktu untuk menceritakan semuanya kepadaku. Aku harus mengerti dan menghargai keputusannya. Aku lantas menarik ujung bibirku. "It's okay, Wen. Semua orang berhak untuk menyimpan atau menceritakan masalahnya. Yang pasti kalau kamu butuh teman cerita, telinga gue akan siap sedia mendengarkan," jawabku sembari mengusap bahunya. Wendya mendongak menunjukkan senyuman manisnya. "Makasih, Lis. Kamu memang sahabat terbaikku, Lis. Aku terharu punya sahabat kayak kamu." Mata Wendya berkaca-kaca, aku lantas memeluknya untuk memberikan ketenangan. "Sama-sama, Wen. Udah-udah jangan nangis lagi. Jelek tau kalau nangis," celetukku mencoba mencairkan suasana yang tadinya terasa sedih. Cukup lama kami saling tenggelam dalam keharuan, hingga suara langkah kaki seseorang membuat atensi kami teralihkan. "Kalian gak papa kan?" Terlihat sosok siswa yang berdiri di depan pintu UKS dengan terengah-engah. "Gak papa kok, Dif. Lo dari mana dah kecapekan gitu?" tanyaku kepada sosok Radif yang wajahnya telah memerah dan keringat telah membasahi wajahnya. "Gue dapet kabar dari Dito katanya kalian ke UKS. Ya udah gue lari ke sini." Aku dan Wendya saling berpandangan karena merasa aneh dengan sikap Radif. Tak biasanya ia rela berlarian menuju ke UKS hanya demi mengetahui kondisiku dan Wendya. "Tumben. Sejak kapan lo peduli sama kita?" celetukku. Bukannya menjawab, Radif malah mendadak beku. Entah sedang dirasuki apa ia sekarang. "Ah bukan gitu. Kan gue sebagai penanggung jawab kelas," jawab Radif dengan sedikit terbata-bata. Wendya tiba-tiba saja tertawa. Aku yang ada di sampingnya pun sontak menoleh dan bertanya-tanya. "Hehehe, Dif, kayaknya kamu perlu latihan lagi deh," ucap Wendya masih dengan tawanya. Aku yang tak mengerti apabyang dimaksud pun kembali menatap Radif yang sedang menggaruk-garuk rambutnya. "Kenapa dah?" tanyaku masih bertanya-tanya kepada mereka berdua. Karena tak mau ambil pusing, akupun kembali memasang sepatuku untuk pergi ke kelas. "Ayo ke kelas sekarang. Sepuluh menit lagi bel loh," kataku yang lebih memilih menyibukkan diri dengan mengikat tali sepatu. "Gue duluan ya," ucap Radif yang kemudian langsung pergi begitu saja. Aku yang melihatnya hanya bisa menggelengkan kepalaku heran. "Aneh banget dah itu orang," gumamku pelan menatap kepergian Radif. *** Waktu telah menunjukkan pukul 3 sore. Sudah waktunya kami untuk pulang. Di kelas ini hanya tersisa beberapa anak saja karena yang lain langsung berlari keluar kelas begitu bel berbunyi. Seperti janjiku kepada Kak Ken, aku harus segera keluar kelas untuk menemui Kak Ken yang mengantarkanku pulang. "Wen, lo bisa pulang sendiri kan? Gue harus buru-buru pulang nih soalnya Kak Ken mau pergi," kataku sembari mengemasi buku-bukuku ke dalam tas. "Santai aja, Lis, gak udah khawatir aku bisa sendiri kok. Mending kamu langsung cabut aja daripada nanti ditinggal," respon Wendya santai. Setelah selesai berkemas, aku pun menggendong tasku dan mengambil tas jinjingku yang berisi kotak makanan yang telah habis. "Oke deh, sorry banget ya, Wen. Oh iya jangan lupa besok yah aku tunggu jam 8 di depan perpus kota." "Iya, Wen. Pokoknya nanti kabar-kabar aja. Aku usahain tepat waktu," jawab Wendya yang masih belum selesai mengemasi barang-barangnya. "Siap deh. Ya udah gue duluan ya, Wen. Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumussalam. Hati-hati, Lis, pulangnya," teriak Wendya yang langsung aku tanggapi dengan jentikan jari yang membentuk angka O. Aku berlari dari karidor satu ke karidor yang lain. Saat aku sudah sampai di lobi, langkahku dihentikan oleh sepeda Radif. "Kenapa, Dif? Gue lagi buru-buru nih," tanyaku dengan tergesa-gesa. "Eh lah tumben, Tang. Mau pergi kah?" tanya Radif dengan santainya. "Kakak gue yang mau pergi. Mau ngomong apaan? Buruan bilang." "Enggak sih gue niatnya mau ngisengin lo. Tapi karena lo lagi buru-buru ya udah cepet sana lari!" "Ihhh nggak jelas banget dah lo dari tadi, Dif. Ya udah gue pulang duluan. Bay!" Aku kembali berlari menuju gerbang. Aku celingukan mencari mobil Kak Ken namun tak kunjung menemukan mobil silver itu. Lantas aku mengecek ponselku yang baru saja menerima pesan. Dan benar saja itu dari kakaku. Tungguin bentar kakak lagi isi bensin. Aku yang membaca pesannya itu pun kemudian menepi di samping pagar. Mengatur napasku yang memburu akibat berlari dari kelas tadi. "Huh tau gitu gak usah lari-larian," gerutuku. "Lah Kak Ken belum nyampe?" Aku menoleh dan ternyata itu adalah Radif. "Belum. Baru isi bensin katanya. Sana-sana lo pulang aja," ucapku yang entah mengapa merasa kesal kepada Radif. "Idih ngusir lo?" "Iya kenapa? Hah?!" tanggapku sewot. "Lah galak amat, Mbak. Lagi pms nih pasti," jawab Radif yang malah semakin menyebalkan. "Apaan dah lo. Udah sono pulang. Bawaannya kesel dah gue kalau liat lo." Sepertinya ada benarnya apa kata Radif. Sedari tadi perutku terasa sakit dan emosiku hari ini tidak stabil. Akhirnya mobil yang aku tunggu pun tiba tepat di depanku. Aku segera membuka pintu depan untuk aku masuki. "Lah udah sono pulang!" teriakku kepada Radif dari dalam mobil. "Iya-iya udah sana pulang duluan." "Kak Ken hati-hati," lanjut Radif sok manis di depan Kak Ken. "Siap!" Akhirnya mobil Kak Ken pun melaju melewati Radif yang ketika aku lihat dari spion masih tetep diam tak bergerak. "Kenapa, Dek? cemberut gitu?" "Gaak!" jawabku masih dengan nada kesal. "Hiii galak amat," kata Kak Ken mencoba menggodaku. Namun karena terlalu malas untuk meladeni, aku hanya terdiam menatap jalanan di depan yang semakin sore semakin ramai saja. Aku membuang napasku berat. Suasana hatiku sungguh bermasalah hari ini. Sepertinya tamuku akan segera datang. Aku harap besok tidak akan semakin parah. Tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD