57-?Beautiful Eyes?

2222 Words
Percayalah perlindungan yang paling kuat dan paling bisa membuat hati tentram adalah perlindungan dari Allah SWT. Karena jika kamu sudah memohon peelindungan kepada-Nya, niscaya Allah tak akan memalingkan penjagaannya darimu. _***_ Calista's POV Segarnya udara pagi menyeruak begitu kubuka jendela kamarku yang mengarah langsung ke taman rumah. Angin sepoi memasuki kamarku yang sudah bersih dan tertata rapih. Tak lupa juga mataku langsung dimanjakan dedaunan hijau yang semakin rimbun. "Selamat pagi dunia!" ucapku sedikit keras menyeru tanaman-tanaman yang nampak tenang di sana. "Dunia ... dunia ini kakak kau bukan dunia." Mataku yang tadinya terpejam mendadak terbuka lebar. Aku kembali melihat halaman bawah mencari suara yang tadi sempat aku dengar. "Hahaha ya Allah, Kak Ken, ngapain dah pagi-pagi udah di taman. Tumben banget," jawabku dengan sedikit teriakan agar suaraku dari lantai dua terdengar hingga dasar. Iya aku terkejut menyadari ternyata ada Kak Ken yang menenteng ember berisi air dan juga gayung yang ia pegang dengan tangan kanannya. "Kakak kan emang rajin biasanya," balas Kak Ken yang mulai sibuk mengguyur beberapa tanaman. Aku menyandarkan tubuhku di tembok balkon sembari menatap santai sosok kakaku yang sibuk. "Lista tebak pasti Kak Ken lagi ada maunya kan sama umi? Makannya rajin gitu hahaha," ucapku dengan tertawa puas. Pemandangan ini cukup langka memang. Aku biasanya melihat kakaku membereskan rumah itu karena Kak Ken yang sedang mencoba membujuk umi untuk mengizinkan membeli sesuatu atau pergi ke suatu tempat. "Sembarangan. Kak Ken kan emang udah rajin dari lahir," kata Kak Ken kembali sembari membela diri. "Apaan kakak aja kalau hari libur habis sholat malah balik tidur lagi." "Hahaha udah lah, Sayang, biarin kakak kamu rajin gitu. Malah bagus kan." Aku menoleh begitu mendengar suara Umi yang ada di belakangku. "Eh .... Umi ... hehe iya-iya, Mi. Cuma aneh aja gitu loh pagi-pagi ngeliat Kak Ken usah ditaman nyiram bunga," balasku sembari bergelayut manja di lengan umi. "Nah denger tu kata umi," celetuk Kak Ken dari bawah. "Lah emangnya kedengeran umi ngomong apa? Orang jaraknya aja jauh. Mending Kak Ken yang lagi rajin ini terusin nyiramnya. Kalau bisa sekalian potongin rumputnya hihihi." "Mending kamu ke sini, Dek, bantuin kakak. Lumayan loh dapet pahala," balas Kak Ken yang nampaknya kesal akibat aku ejek sedari tadi. "Husss kamu ini. Udah jangan ganggu kakakmu lagi. Nanti malah ngambek gak mau bantuin umi lagi," tegur umi yang aku balas dengan cengiran. "Iya-iya, Umi maaf hehe." "Oh iya kenapa nyariin Lista?" tanyaku sempat terlupa menanyakan keberadaan umi yang masuk ke kamarku. "Umi mau minta tolong nanti kamu mau keluar kan?" tanya umi kepadaku. Aku lantas mengangguk. "Iya, Mi, Lista mau ke perpustakaan kota sama Wendya. Apa yang perlu Lista bantu, Mi?" Umi terlihat mengambil sepucuk kertas dari saku dasternya. "Tolong nanti mampir ke supermarket ya beliin ini. Umi mau bikin kue besok," pinta umi sembari memyerahkan kertas tersebut. "Eh tumben, Mi, ada acara apa emangnya?" tanyaku sembari membaca tulisan bahan-bahan yang tertulis di kertas pemberian umi. "Besok temen umi mau dateng ke rumah. Jadi biar spesial bakalan umi buatin roti kering." Aku kemudian membulatkan mulutku dan ber oh ria. "Beres, Mi, nanti sehabis dari perpustakaan langsung mampir beli ini." "Uww anak umi memang the best. Eh tapi kamu ke sananya gimana? Dianter kakak kamu?" "Enggak, Mi, rencananya Lista mau naik bus aja. Sekalian jalan-jalan udah lama gak liat jalanan," jawabku berusaha meyakinkan umi. Umi terdiam menatapku penuh makna. Aku tahu apa yang sedang umi pikirkan sekarang. "Tenang aja, Mi, Lista janji bakalan jaga diri baik-baik kok. Dan juga kan Allah selalu melindungi Lista juga." Umi kemudian tersenyum dan mengusap rambutku lembut. "Ya udah kalau gitu umi izinin. Asal jangan ceroboh yah. Umi percaya penjagaan Allah itu adalah penjagaan terbaik." Aku ikut tersenyum lebar dan mengangguk-angguk seperti anak kecil. Aku memang tidak bisa memjamin akan keselamatan di dunia luar, namun selama kita percaya kekuatan penjagaan Allah yang luar biasa, aku akan selalu tenang. *** "Wen, ini gue udah di depan perpus lo udah masuk?" ucapku kepada Wendya di dalam saluran telepon. "Iya, Lis. Kamu masuk aja, aku tadi nyari tempat dulu soalnya," balas Wendya berbisik karena di dalam perpustakaan tidak boleh terlalu berisik. Yah wajar saja ditiap perpustakaan memang seperti itu. Yah itu karena perpustakaan identuk dengan ketenangan. "Oke sip kalau gitu. Lo sekarang di sebelah mananya? Biar gue langsung nyamperin." "Di area timur. Didekat lukisan-lukisan." Aku mengingat-ingat kembali dan sepertinya aku masih ingat tempat itu. "Oke gue ke sana sekarang. Tungguin ya. Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumussalam." Usai menutup sambungan teleponku dengan Wendya, aku bergegas memasuki perpustakaan yang terlihat mulai ramai para pembaca. Setelah melewati lobi, aku segera menuju posisi yang Wendya bicarakan tadi. Karena sudah lama aku tidak kemari, sebenarnya agak bingung mengingat jalannya. Karena perubahan tata letak rak yang berbeda dari yang aku lihat terakhir kali. "Ah itu dia!" gumamku begitu melihat sosok dengan khimar berwarna coklat. Saat aku berjalan ke arah Wendya, pandanganku tak sengaja melihat sosok lain. Seseorang yang sudah lama tak aku lihat. "Kak Kevin?" Seketika otakku memproses ulang ingatan beberapa bulan yang lalu. Di mana kecelakaan yang aku alami dikala turunnya hujan. Dan Kak Kevin lah satu-satunya orang yang mampu menyelamatkanku. Kakiku hendak bergerak melangkah mendekati tempat teman kakakku itu, namun seketika aku menjadi ragu begitu melihat wajahnya yang tengah serius membaca sebuah buku di tangannya. Aku waktunya belum tepat untuk sekarang. "Maaf, Kak, mungkin lain kali aku akan mencoba menghampirimu," gumamku. Dengan langkah berat aku melanjutkan jalanku menuju ketempat Wendya yang sudah menunggu. "Haii assalamu'alaikum, Wen. Maaf ya telat," sapaku begitu sampai di tempat Wendya duduk. Ia sepertinya terkejut karena aku tanpa aba-aba mengambil kursi yang ada di depannya. "Wa'alaikumussalam. Alhamdulillah nyampe juga, Lis. Gak papa sih lagian macet juga tadi jalanannya. Kayaknya efek weekend sih jadi rame," tanggap Wendya yang meletakkan novelnya yang sedang ia baca tadi sebelum aku datang. "Iya. Gue tadi pake bis ke sininya juga." "Eh aku kira kamu dianterin kakakmu, Lis. Tau gitu aku mampir ke rumahmu sebelum ke perpustakaan biar bisa bareng," kata Wendya. "Eh lo ke sininya naik apa emangnya?" "Dianter Kak Ait. Mumpung lagi dirumah tadi jadi aku minta tolong anterin," jawab Wendya sembari memberikan laptopnya yang sudah menyala. "Ini aku tadi sempet mikir konsep ceritanya sih. Coba kamu baca dulu, Lis, kalau ada yang aneh dan kurang sreg coba kita ubah aja." Sebelum membaca apa yang telah Wendya tulis di laptopnya, aku terlebih dahulu meletakkan tas gendongku di meja. Butuh cukup waktu lama untuk membaca beberapa paragraf kata yang tertulis di sana. "Menurut gue sih menarik alur ceritanya, Wen. Tapi kayaknya masih kurang plot twist deh. Gue kalau baca cerita kurang greget soalnya kalau gak ada plot twistnya," ucapku setelah membaca keseluruhan ringkasan alur cerita yang telah Wendya buat. Cukup menarik alur yang telah Wendya buat. Kisah tentang pasang surutnya kehidupan siswa di masa SMA yang mencari jati dirinya dengan dikemas dalam berbagai genre. Namun yang masih kurang hanyalah plot kejutan yang akan membuat tegang dan gemas para pembaca. "Iya juga, Lis, ide bagus!!" seru Wendya yang keceplosan dengan suara keras. "Hehh stttt," tegurku dengan mengisyaratkan dengan jari telunjuk yang aku tempelkan di bibirku. "Ups kelepasan," bisik Wendya yang hanya bisa melirik ke kanan dan kiri. Para pengunjung menatap ke arah kamu dengan tatapan datar tentunya. "Ishh untung aja gak ditegur pengawas ruangan," omelku kepada Wendya yang tampak terlalu girang. Kami akhirnya meneruskan aktivitas kami merancang dan membuat cerita yang akan kami ikutkan di event bulan bahasa di sekolah. Walaupun hanya berskala sekolah, kami mengerjakan cerita ini sepenuh hati. Karena sebuah karya yang dapat menyentuh hati orang yang membaca adalah karya yang dibuat dengan sepenuh hati. Disaat kamu sedang sibuk memikirkan kata-kata untuk cerita kami, aku dikejutkan oleh bisikan orang yang berada di sampingku. "Kamu adiknya Ken kan?" Aku mendongak menatap sumber suara yang bertanya kepadaku tadi. Dan benar saja sosok itu adalah sosok yang hendak aku datangi sewaktu pertama masuk ke perpustakaan tadi. "Eh?" ucapku reflek karena terkejut. "Iya, Kak, ini Kak Kevin kan?" lanjutku menanggapi pertanyaan Kak Kevin. Wendya yang ada di depanku terlihat heran. Pasalnya baru kali ini Kak Kevin datang menemuiku. "Ah iya bener. Ternyata masih inget. Gimana kabarnya sekarang?" tanyanya lagi. "Ah iya baik, Kak. Kak Kevin sendiri gimana?" tanyaku dengan kikuk. Jujur saja aku merasa canggung dan masih merasa tak enak berinteraksi dengannya. Mengingat peristiwa tak menyenangkan yang sudah aku timbulkan dan menyeretnya kala itu. "Baik juga. Aemm lagi belajar kelompok ya? Kalau gitu saya pergi dulu ya takutnya ganggu." "Eh tidak ganggu kok, Kak, hehe," balasku semakin canggung saja. Wendya sedari tadi hanya mengamati interaksi kami sambil sesekali mengodeku dengan matanya bertanya-tanya tentang sosok yang sedang aku ajak bicara ini. "Hahaha ya udah kalau gitu saya pergi ya. Sampai ketemu lagi, Calista. Titip salam ya buat Ken," ucaonya berpamitan. Tentu dengan suara bervolume kecil. Aku lantas tersenyum. "Iya, Kak, nanti Lista sampein," jawabku kemudian Kak Kevin benar-benar menjauh dari tempatku dan Wendya. Aku menghembuskan napas lega. Terlalu tegang aku ketika berbicara tadi. Pasti Wendya juga membaca gerak-gerikku sih. "Siapa, Lis?" tanya Wendya setelah kepergian Kak Kevin. "Temennya Kak Ken namanya Kak Kevin," jawabku singkat. Aku mengambil botol minumku dan meminumnya dengan cepat. "Oh gitu. Tapi kamu keliatan gugup gitu. Jangan-jangan kamu menyimpan rasa ya?" kata Wendya yang salah paham tentangku dan Kak Kevin. "Ihhh bukan gitu tau. Ada hal yang bikin gue gak nyaman aja buat ngobrol." Wendya tiba-tiba saja mendekatkan wajahnya menatapku intensif. "Heh kenapa sih?" "Kok kayaknya dugaanku bener? Jelas-jelas kamu kelihatannya gugup," ucap Wendya kembali mencoba menggodaku. Sontak saja aku mendorong wajahnya untuk tak terus mengamati ekspresiku. Memudian aku berdeham mencoba menetralkan kegugupanku. Jika Wendya menggoda seperti ini, aku malah menjadi semakin gugup saja. Padahal sebenarnya bukan seperti itu. "Ihh dia tu yang nolongin gue waktu kecelakaan waktu hujan itu tau. Gue gugup karena masih ngerasa bersalah. Secara dia relain motor kesayangannya yang harganya selangit buat berhentiin motor matik gue yang remnya blong itu," ucapku berusaha menjelaskan kejadian sebenarnya. "Ah gitu. Aku kira ada perasaan lain antara kamu dan temen kakakmu itu. Eh tapi salah kamu juga sih belum cerita banyak tentang kejadian itu. Padahal aku pengen denger gimana bisa kamu sampai kecelakaan itu," sahut Wendya. Aku lantas menyengir sembari menggaruk kepalaku tak gatal. "Emangnya gue belum cerita ya?" tanyaku dengan polosnya bertanya. Aku memang tak ingat apakah sudah bercerita atua belum. Soalnya kan kejadian itu sudah beberapa bulan yang lalu. "Belum ihh. Kepotong sama kita yang jauh-jauhan kemarin itu." "Ah iya juga sih. Ya udah mau gue ceritain sekarang nih? Tapi nanti kalau tugas kita gak kelar gimana?" tanyaku sebelum memulai bercerita tentang kejadian beberapa bulan lalu. Wendya nampak berpikir sejenak. "Emmm gak papa sekakang aja deh. Kalau besok-besok keburu lupa lagi nanti. Lagian ceritanya juga gak bakalan ngabisin waktu dua jam kan?" "Enggak juga sih. Ya udah gue cerita sekarang aja deh ya. Pasang kuping baik-baik. Ceritanya bakalan panjang dan volume bicara gue gak bisa keras sekarang." Setelah disetujui Wendya, akhirnya mulailah mengalir ceritaku. Mulai dari saat aku perjalanan pulang, hujan yang tiba-tiba datang, perasaan tak enak yang aku rasakan ketika menyetir hingga kepada kejadian mengerikan itu. Wendya hanya terpanah dan menganga tak percaya mendengar aksi heroik atau lebih kepada nekatnya Kak Kevin itu. Samoai sekarang sebenarnya aku masih belum mengetahui apa yang dialami Kak Kevin seusai keluar dari rumah sakit dan bagaimana nasib motor Kak Kevin yang rusak berat itu. Terakhir kali aku bertanya, kata Kak Ken semuanya sudah diurus olehnya. Sekarang ketika bertemu lagi, aku jadi merasa bersalah belum dengan benar meminta maaf dan berterimakasih kepadanya. Sepertinya aku harus bertanya lebih lanjut kepada Ken nantinya dan menentukan langkah selanjutnya untuk bertemu dan mengungkapkan apa yang ingin aku sampaikan nanti. Karena jika belum tuntas seperti ini, aku akan selalu merasa bersalah ketika bertemu dengannya di manapun itu. "Serem juga ya kalau seandainya gak ada Kak Kevin. Mungkin bisa jadi malah datang sesuatu yang buruk lagi. Tapi aku bersyukur kamu gak kenapa-kenapa, Lis. Dan alhamdulillahnya orang yang nolongin kamu itu orang baik." "Iya, gue sampe sekarang masih gak nyangka sama kuasa Allah. Sungguh tidak terduga peristiwa itu bakalan kejadian. Bahkan waktu itu gue udah pasrah kalau misalkan ajalku memang sudah datang. Aku cuma bisa berdoa meminta tolong dan meminta yang terbaik kepada Allah. Tapi sungguh pertolongan Allah itu tak terduga. Gue sampe sekarang akan selalu percaya bahwa penjagaan Allah itu memang yang terbaik. Gak ada yang bisa memberikan perlindungan seluas dan sekuat perlindungan Allah," ungkapku merasakan nikmat syukur yang sungguh tak bisa aku lupakan. "Betul, Lis, aku setuju. Kita cukup percaya bahwa kita tidak sendiri dan kita akan selalu dilindungi Allah di manapun kita berada. Semoga kejadian ini bisa bikin kita semakin sering bersyukur atas segala nikmat yang udah Allah kasih." Aku kemudian mengangguk dan tersenyum. Benar apa yang Wendya ungkapkan. "Sepertinya gue harus ketemu Kak Kevin lagi nantinya," gumamku pelan. "Apa, Lis? Maaf aku gak denger." "Ah bukan apa-apa kok hehe. Yok kita lanjut nugas dulu aja. Waktu kita tinggal 1,5 jam di sini," sahutku mengalihkan pembicaraan dan memfokuskan pembicaraan ke topik awal. "Eh iya. Ya udah yuk kita terusin sebisanya. Nanti kalau belum selesai coba aku lanjutin di rumah. Besok senin kita revisi dan kamu bisa tambahin juga, Lis." "Ide bagus tu, Wen. Sipp gue setuju!" Setelah itu kami mulai kembali memikirkan alur cerita dan isi cerita dari cerita yang hendak kali buat. Sekarang waktunya aku terfokus kembali dengan tugasku. Untuk urusan Kak Ken dan cara membuat hatiku lega, akam kupikirkan nanti di rumah. Lagi pun aku juga harus beetanya dan memastikan beberapa hal terlebih dahulu kepada Kak Ken. Tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD