Not now, sorry

1123 Words
Ailane membuka matanya dan meregangkan otot tubuh nya yang terasa kaku karena bangun tidur. Ia duduk terlebih dahulu, mengumpulkan nyawanya. Seperti nya juga ia masih belum menyadari jika Sean sudah kembali dari meeting nya dan kini terduduk di sofa sebelah ranjang nya. "Sudah bangun Ailane?" Sean bangkit dari duduk nya. Melipat koran yang sedari tadi ia baca sambari menunggu Ailane terbangun. Sean berjalan ke arah Ailane dan memberikan satu gelas air minum. Ailane langsung meminum nya hingga habis. Ia merasa tenggorokan nya kering sekali selepas bangun dari tidur nya. "Mau apa?" Tanya Sean. Ailane masih diam. Memang Ailane seperti ini, membutuhkan waktu yang lumayan lama untuk benar-benar mengumpul kan nyawa nya dan bisa merespon orang-orang di sekitar nya. "Mandi dulu, setelah itu kita pulang. Agar sampai rumah tidak terlalu tengah malam." Pinta Sean mengambil kan handuk hotel agar di pakai oleh Ailane. Ailane yang biasanya hanya membawa pakaian dalam saja saat pergi mandi, kini ia langsung memakai pakaian lengkap nya agar ia pakai di kamar mandi. Jika ia nanti hanya memakai handuk saja setelah mandi, sama saja seperti membangun kan sebuah macan yang sedang tertidur di dalam kandang. Ailane mandi, meninggal kan handphone nya di ranjang. Karena tubuh Sean juga kini terasa kaku karena sedari tadi duduk, ia merebahkan tubuh nya sebentar sambil menunggu gadis itu selesai mandi. Karena jika kamar mandi nya enak, Ailane akan betah berlama-lama berada di dalam sana. Ting! Satu notifikasi yang muncul di ponsel Ailane. Awal nya Sean tak memperdulikan itu karena tak seberapa mengganggu nya. Ting! Ting! Ting! Tiga notifikasi beruntun masuk ke dalam ponsel Ailane secara bersamaan. Ia melirik ponsel Ailane sekilas yang tak jauh dari nya. Ada nama Rayhan tertera disana. Yang awal nya Sean tak penasaran dengan apa notifikasi itu, saat melihat ada karyawan nya yang tengil itu mengirimkan sebuah pesan kepada Ailane, Sean menjadi ingin mengetahui nya. Sean tak membuka aplikasi w******p untuk membaca pesan nya. Karena nanti akan tau jika pesan itu sudah di baca. Ia membaca lewat sebuah layar notifikasi yang mengambang di ponsel Ailane. Rayhann: Ay? Rayhann: kamu kenapa engga masuk hari ini? Rayhann: kamu kenapa tidak ngabarin kalo gak masuk? Rayhann: hari ini pak Sean juga gak masuk, bukan sama kamu kan sekarang? Cuihh! Sean ingin muntah melihat pesan itu. Pesan nya seperti orang yang baru saja pacaran. Padahal Ailane dan juga Rayhan tak memiliki hubungan apapun. Bahkan bisa dikatakan lebih dekat dengan nya ketimbang dengan bawahan nya. Sean tak terima gadis nya di sukai oleh laki-laki lain. Namun Ailane sendiri masih belum siap untuk menikah. Ingin pacaran terlebih dahulu. Dan sebaliknya, Sean tak ingin berpacaran ingin langsung sah saja. Pacaran hanya untuk awal sebuah pengenalan entah pengenalan keluarga atau sifat satu sama lain. Ia sudah kenal keluarga Ailane, ia juga akan menerima baik buruk sikap Ailane. Namun jika ia tak segera mengikat gadis itu, tak menutup kemungkinan Ailane akan menjalin hubungan dengan laki-laki lain. Apalagi pikiran gadis itu masih labil sekali. Kadang ia berada di pihak Sean, tak jarang pula ia mempertanyakan perasaan nya kepada Rayhan. Masih sama seperti dulu atau tidak. Ailane sudah keluar dari kamar mandi dengan baju ganti yang tadi ia bawa dari rumah. Pandangan Ailane mengarah kepada ponsel nya yang berada di tangan Sean Sean menyerah kan ponsel itu kepada sang pemilik nya. "Kenapa om?" Tanya Ailane dengan handuk yang melilit di rambut basah nya. "Karyawan saya mengirimkan pesan." Ailane melihat notifikasi itu, ia hanya membaca nya saja. Ia masih dongkol akibat kemarin karena Rayhan membantu seseorang yang menyiksa nya. "Mari saya bantu mengeringkan rambut mu itu." Sean menggandeng tangan Ailane ke tempat dimana tersedia sebuah hairdryer disana. Sean mendudukkan Ailane di sebuah kursi kecil di sana. Melepaskan handuk yang tadi nya membalut rambut Ailane. Sean dengan sabar mengeringkan helai demi helai rambut Ailane. Ailane melihat wajah Sean dari cermin, melihat keseriusan wajah Sean sekarang. Baru kali ini ada laki-laki yang memperhatikan nya sampai seperti ini seperti ayah nya. Ailane meneteskan air mata nya, Sean yang melihat dari pantulan cermin langsung mematikan hairdryer itu. "Ailane maafkan saya, terkena kuliat kepala kamu?" Ucap Sean menciumi dan mengusap kulit kepala Ailane penuh kasih sayang. Diperlakukan seperti itu malah membuat air mata Ailane menetes dengan deras. Sean berjongkok di depan Ailane dan mengusap air mata gadis itu. "Kamu kenapa? Saya menyakiti kamu?" Ailane menggeleng dan tersedu, "Engga. Om Sean baik banget sama Ailane, Ailane jadi merasa buruk buat om Sean. Ailane masih belum bisa sayang sama om Sean," Sebenarnya kalimat yang meluncur dari bibir Ailane itu menyakiti perasaan Sean. Ia sudah tahu memang, entah lah saat Ailane mengucapkan nya langsung terasa begitu menyakitkan. Namun ia tak bisa menyalahkan Ailane, ia juga tak bisa memaksa orang lain agar sayang kepada nya. Ucapan Ailane itu semakin membuat Sean ingin segera meyakinkan gadis itu jika ia bersungguh-sungguh dalam urusan perasaan nya. "Padahal saya tadi ingin mengajak kamu berpacaran," kekeh Sean mengelus rambut Ailane kemudian mengecup singkat kening Ailane. Ailane menatap mata Sean. Ia melihat ada sebuah tatapan yang kosong entah karena apa. Walaupun Sean mengucapkan itu sambil tertawa namun niat nya tak main-main. "Sekarang?" Ailane menyeka air mata nya yang sudah tak mengalir lagi. "Iya," singkat Sean. Rambut Ailane sudah sepenuhnya kering sekarang. "Kalau nanti gimana om? Ailane pasti mau jadi pacar om tapi engga sekarang," jawab nya. Ailane mengikat rambut nya menggunakan tali rambut yang mengikat di tangan nya namun Sean meenahan itu. "Saya suka rambut kamu tergerai seperti ini. Jangan diikat." Ailane mengurungkan niat nya untuk mengikat rambut. "Bereskan barang mu Ailane. Agar tidak tengah malam kita sampai rumah." Ailane mengangguk ia membereskan beberapa barang nya dan memasukkan nya ke dalam tas. Saat selesai ia menghampiri Sean dan duduk di sofa. Ailane menyandarkan kepala nya ke bahu Sean. Sandaran ternyaman kedua setelah ayah nya adalah Sean. Entah ini sudah keberapa kali nya, Sean kembali mengecup kening Ailane selama beberapa kali. "Sampai kapan saya harus menyembunyikan kamu terhadap semua orang?" Ailane mendongak kan kepala dan menatap Sean sekarang, "Engga ada beda nya om. Ada engga ada Ailane gak bakal ngaruh juga buat orang-orang." Seandainya saja Sean tahu, Ailane melakukan ini agar reputasi Sean tidak hancur karena memilih wanita sekelas Ailane. "Om sean gak mal--" Ucapan Ailane terhenti seketika saat tiba-tiba Sean dengan ganas melumat bibir Ailane. Hingga tautan diantara bibir mereka sudah terlepas, baru lah Ailane menghirup nafas dalam-dalam karena ia merasa kehabisan oksigen. "Jangan membahas itu saya tidak suka," Sean meninggal kan Ailane ke kamar mandi. Ailane terdiam, memang Sean tadi tidak membentak nya. Namun ekspresi Sean tiba-tiba berubah drastis. Ia menunggu hingga Sean kembali. Sean sudah kembali. "Pulang," Ailane menahan Sean yang hendak membuka pintu. "Om Sean marah?" "Tidak." Sahut nya dingin. Ekspresi Sean memang tidak bisa bohong. Cup! Ailane berjinjit dan mengecup pipi Sean singkat. "Om Sean jangan marah lagi ya? Maafin Ailane tadi ngomong gitu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD