his other life

2013 Words
Rumah dengan cat putih bergaya bungalow itu memiliki halaman depan ditumbuhi rumput yang terpangkas rapi. Ayunan kayu terpasang pada pohon mangga di sampingnya. Tangga dengan bebatuan berwarna putih menjadi akses untuk menuju bagian depan rumah. Terdapat kursi panjang yang terbuat dari bambu pada bagian teras. Tanaman hias pada pot-pot berbagai ukuran menambah kesan sejuk dan asri. Seorang wanita paruh baya tampak tengah duduk santai ditemani anak bungsunya. Satu set kursi dan meja bambu memang diletakkan di bagian teras. Kursi bambu paling panjang menjadi spot favorit untuk rebahan sambil menikmati semilir angin dari luar. Diaz memarkirkan mobilnya dan sedikit berlari menaiki tangga. Sesuai rencananya, ia pagi-pagi sekali berkendara menuju rumah sang ibu jadilah belum siang dirinya sudah sampai. Ya, semalam ia tidak langsung menuju rumah sang ibu. Tetapi dia membelokkan setir menuju apartemennya. Energinya telah habis untuk bersosialisasi dengan banyak orang di acara press release. Jadi untuk melanjutkan berkendara sekitar tiga jam perjalanan rasanya dia angkat tangan. Diaz merasa perlu memulihkan energinya terlebih dahulu sebelum akhirnya juga menuju tempat yang akan lebih mengembalikan seluruh energinya yang terkuras. "Calon pengantin kitaaaaa" sapa Ratna menyambut sang putra. Sapaan yang membuat Diaz merengut. "Ibuuuuuuuuu" "Hahaha Deka ambilin kaca mata Ibu" Si bungsu langsung sigap masuk rumah dan Diaz mengambil tempat adiknya. Dia bahkan bergelung manja pada kursi panjang itu beralaskan pangkuan sang ibu. "Aduh anak ibu. Akhirnya inget rumah." "Dih... fans lo bakal kabur bang kalau lihat lo udah tua masih manja kayak gini" "Sok tau. Gue ini masuk kategori aktor dengan visual baby face ya. Lagian lo ga ngaca, jarak umur kita juga cuma dua tahun, lo itu juga udah tua" Ratna hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah kedua putranya. Tetapi perdebatan keduanya juga salah satu hal yang dirindukan olehnya karena rumah tidak terasa sepi. Anak-anak yang beranjak dewasa dan memiliki pekerjaan masing-masing membuatnya sering kali ditinggal sendiri. Meskipun ada pembantu yang menemani tetapi kehadiran anak-anaknya tidak bisa terganti. Ia bahagia mendengar celotehan mereka satu sama lain. "Dian belum ke sini bu?" "Lo kangen yaa. Gue aduin nanti" "Apasih? Nimbrung aja" Mereka sudah berpindah ke meja makan tetapi perdebatan antara dua anak laki-laki Ratna tidak ada habisnya. Ratna masih belum bisa memahami jika bahasa cinta anak-anaknya untuk satu sama lain adalah saling menjahili. Padahal saat sedang tidak dalam formasi lengkap, mereka saling cari satu sama lain. Entah karena rindu atau memang merasa kurang jika tidak ada yang diajak beradu mulut. "Bu ikannya nambah" Diaz menyodorkan piringnya pada sang ibu lalu Ratna yang memang hanya menemani putra-putranya makan karena masih kenyang, mengambilkan potongan pepes ikan untuk sang putra. Kata Alan mengurusi makan untuk Diaz itu susah susah gampang. Diaz adalah orang yang bisa makan satu jenis makanan secara terus menerus tanpa merasa bosan tetapi sekalinya tidak mendapati jenis makanan yang menjadi andalannya maka akan lama sekali untuk menentukan jenis makanan penggantinya. Belum lagi komentar terus terang laki-laki itu terhadap makanan. Sudah mirip seperti juri master nyep saja dan membuat si penghidang atau lebih tepatnya Alan bisa membuatnya berada di pressure test. Ingatkan Alan untuk menerima tawaran bagi Diaz menjadi juri tamu di master nyep suatu hari nanti. Setidaknya Diaz sudah memiliki skill meribetkan banyak jenis makanan yang dibawakan oleh Alan. Tetapi bagi Ratna, putranya itu bukan sosok pemilih dalam makanan. Ia selalu menghabiskan berbagai jenis makanan yang dimasakkan sang ibu. Belum lagi makannya sangat lahap membuat Ratna merasa senang dan berharap sang putra menambah sedikit berat badannya tetapi selalu dijawab bahwa hal tersebut adalah tuntutan profesi. Ratna kalah argumen. "Kaga pernah makan lo" Deka mencibir sang kakak. "Deka mau nambah?" tanya Ratna yang dijawab dengan anggukan bersemangat dan senyum lebar mendekatkan piring minta diambilkan yang akan dilirik sinis oleh Diaz. Selesai makan yang tidak bisa dikatakan sarapan karena sudah terlalu siang tetapi tidak bisa dikatakan makan siang karena belum begitu siang, Diaz pun menuju kamarnya. Ratna pun mengikuti sambil membawa sprei baru. Tidak ingin membuat ibunya melakukan pekerjaan rumah Diaz pun memaksa memasang sprei sendiri dan membereskan sendiri kamarnya. Orang di luar sana boleh mengatakan bahwa Diaz adalah bintang besar, actor berbakat dengan bayaran fantastis, selebriti unggulan milik tanah air tetapi bagi Ratna Diaz adalah anak laki-lakinya yang tetap apa adanya. Diaznya yang mandiri, manis, dan tidak neko-neko. Diaznya yang tidak berubah meski namanya melejit tetapi tetap bisa Ratna temui Diaz anaknya masih sama. Anak laki-lakinya yang baik hati. Jika menatap wajah Diaz berlama-lama maka Ratna akan mudah sekali menangis. Dia merasakan perasaan bangga juga kilasan kenangan tentang perjalanan karir anaknya yang seringkali membuat Ratna selalu berdoa dengan lebih bersungguh-sungguh agar Diaznya juga diberikan kesehatan dan kebahagiaan. Harus menjadi single parent sejak anak-anaknya masih kecil. Ratna sekuat tenaga menghidupi keluarganya hingga rejeki itu datang lewat Diaz. Pada suatu waktu di sekolah Diaz ada sebuah acara yang melibatkan produk biskuit terkenal. Salah satu rangkaian acaranya adalah penjaringan bakat berupa casting. Ratna tidak bisa membayangkan yang dilakukan Diaz hingga anak itu pulang membawa bingkisan yang berisi banyak sekali biskuit juga action figure logo merk biskuit tersebut. Hingga akhirnya mulai ada tawaran menjadi bintang iklan juga ftv keluarga. Sebagai ibu tentu saja tidak ingin sang anak melakukan suatu hal yang membuat anaknya merasa tidak nyaman. Jadilah tiap kali menyetujui permintaan project untuk Diaz, Ratna harus benar-benar memastikan keadaan anaknya. "Kalau ketemu pak sutradara berarti bisa dapat jajan lagi ya bu?" tanya Diaz kecil ketika sang ibu memberi tahu bahwa ada pak sutradara yang minta bertemu. "Ibu juga gatau nak, Diaz suka ya sama jajanannya kemarin?" "Suka buk. Deka juga ga rebut-rebut soalnya jajannya dia dapat banyak" Awalnya Ratna hanya ingin Diaz tidak lagi menjadi si pemalu saat harus berada di depan orang-orang. Dari semua anak-anaknya Diaz lah yang paling suka bersembunyi di belakang tubuh sang ibu jika bertemu dengan banyak orang. Padahal saat di rumah tingkahnya bisa mengimbangi Deka yang memiliki energi berlebih di setiap momen. Pada akhirnya Diaz pun menjadi sering mendapat tawaran untuk sebuah iklan ataupun menjadi pemeran tambahan di series pendek atau juga ftv. "Jadi Diaz dapat uang?" tanya Diaz saat diberi tahu sang ibu. Setiap kali ada transferan masuk terkait hasil Diaz maka Ratna selalu mengambil semuanya untuk diberikan pada sang anak. Uang yang ia terima adalah hak anaknya jadi terserah Diaz mau diapakan. "Ini buat ibu" "Loh ini uang Diaz kan habis main-main peran kemarin sama pak sutradara. Diaz mau dibelikan sesuatu pakai uang ini? atau mau ditabung?" "Buat ibu, biar ibu gak capek kerja. Kata ibu, ibu harus kerja biar dapat uang" Hari itu Ratna menangis sambil memeluk Diaz kecil. Ia menyadari bahwa anak-anaknya begitu cepat tumbuh dewasa dalam hal pemikiran karena keadaan mengharuskan mereka. Tetapi mendengar dan melihat langsung pemikiran dewasa sang anak sungguh membuat Ratna bersyukur juga berjanji akan memberikan yang terbaik untuk tumbuh kembang anak-anaknya. ........ Liburan terlewati dengan diisi Diaz yang menjadi dirinya versi sebenarnya. Tanpa riasan, tanpa jepretan kamera, tanpa skrip dan skenario. Semua berjalan apa adanya seperti yang Diaz mau, menepi dari gemerlap dunia aktornya. Pernah satu hari Diaz tidak keluar kamar kecuali untuk makan dan menghabiskan seharian bergelung dengan bertumpuk-tumpuk buku, menuntaskan reading list-nya yang tersendat karena kesibukan. Di hari berikutya Diaz mengeluarkan sepeda kesaangannya lalu mengayuh hingga mengitari kawasan perumahan itu yang memang masih asri dengan jalanan sedikit berbukit. Kegiatan lain yang ia lakukan adalah berkaus k****g juga bercelana klor membantu ibunya berkebun menanam sayuran atau juga memangkas rumput di halaman, Diaz biasa melakukannya. "Persiapan nikahan aman kan bu? Dian ga bikin ibu repot kan?" tanya Diaz sembari mencabuti rumput liar pada polybag-polybag berisi selada. "Alhamdulillah aman. Ibu ga repot kok malah seneng, kalau bisa mah ibu mau bantuin semua printilannya" "Jangan ya! Ga boleh! Biar Dian aja, nanti ibu kecapean. Hari besar menanti loh bu, harus jaga kesehatan!" Ratna gemas sekali dengan intonasi sang putra hingga dia pun menyiram kaki Diaz menggunakan water can yang sedang dia pegang. "Bang Yaz yaa... Bang Yaz sendiri juga ga ada libur-liburnya!!" "Ibuu basah.. tanahnya ke sandaaal" sungut Diaz tetapi tetap tak mau kalah "Ini kan Diaz juga libur bu" argumennya. "Harusnya dari hari ini sampai menjelang hari H Bang Yaz itu libur! Bantuin Dian nyiapin acara! Itu tuh hari besar loh Yaz." Diaz tidak akan memberikan alasan-alasan lagi atau sang ibu akan mengungkit lebih banyak hal terkait kesibukannya yang sangat padat. Sebenarnya beberapa tahun terakhir Diaz sudah sering mendapat perintah dari Ratna untuk mulai mengurangi pekerjaan di dunia entertainment. Alasannya pun bisa diterima Diaz yaitu mulai dari usianya yg akan memasuki kepala tiga, urusan finansial yang sudah stabil, juga kehidupan pribadi yang harus mulai dipikirkan. Sebenarnya Diaz pun juga setuju dengan yang diperintahkan sang ibu karena bagaimanapun juga Diaz telah memulai karirnya sejak kecil. Rasa jenuh itu memang kerap kali menerpa, belum lagi kemampuan fisiknya yang jelas tidak lagi sama. Diaz memang belum setua itu tetapi ia juga punya banyak hal yang sebenarnya ingin dia lakukan di luar apa-apa saja yang sudah ia geluti. Sepertinya menarik pemikiran itu kerap kali menggoda Diaz. "Bang, hp lo dimana? Dicariin Bang Alan ini loh" Deka dengan muka bangun tidurnya menyodorkan telepon genggamnya ke arah Diaz. Alih-alih segera mengangkat panggilan, Diaz justru memikirkan bahwa enak sekali menjadi Deka. Adiknya itu seorang fotografer yang terlihat banyak sekali menganggur di rumah tetapi sebenarnya adalah bos studio foto dengan banyak cabang. Iya, Diaz ingin mulai santai mengejar materi tetapi materi tidak boleh santai menghampiri. "YAZ!!!" suara Alan dari seberang telepon terdengar berteriak padahal tidak dalam mode loudspeaker. Alan pasti siap menyemprot Diaz. Benar saja isi telepon pagi itu tentang Alan yang marah-marah untuk alasan yang sama yaitu perihal menghilangnya Diaz dan meskipun hal tersebut percuma tetapi tetap juga Alan lakukan untuk melampiaskan emosinya. Setelahnya telepon ditutup dengan ancaman bahwa Diaz tidak boleh lupa bahwa besok ia harus menghadiri acara gala premiere filmnya. Deka yang menanyakan keberadaan ponselnya dengan bersungut lalu diikuti dengan pemberitahuan tentang Alan yang mencarinya adalah rangkaian hal yang menjadi pertanda bahwa waktu libur Diaz sudah usai. Saatnya kembali pada kehidupannya sebagai Diaz Putra. "Mbak Dian juga nyariin lo tuh" Masih menggunakan hp milik Deka, Diaz pun menelepon orang lain yang mencarinya sepagian ini. Sekilas dia juga sudah membaca pesan singkat yang dikirimkan perempuan asal Jogja itu. "Hapsari" "Diaaaaz aku cariin loh dari kapan hari" "Lagi liburan. Aku juga kayaknya ga bisa, besok itu ada gala premiere" "Jam berapaaaa? Ini cuman sebentar kok Yas. Kamu tinggal ambil aja" "Dian, Hapsari ada acara apa memangnya?" "Beresin kerjaan sebelum ke Dubai hehehehe" Dari ekor matanya Diaz bisa menangkap bahwa Deka berkasak-kusuk dengan ibu mereka. Pastinya Deka sudah mengetahui permintaan Dian terhadapnya. Jika sudah begitu maka tidak bisa ia menolak apalagi Ratna sudah menyedekapkan tangan sambil menatap penuh ancaman pada Diaz. "Bisa kaan Yaaas?? Aku udah tanya Bang Alan, acara kamu itu malam kok" oh, bahkan Alan sudah berada di sisi berlawanan dengan Diaz. "Iya bisa." "AAAAAA Thank you Yaz... Thank you juga tiket bulan madunya hehehe" Seharusnya Dian menepati janjinya untuk tidak memintanya ikut mengurusi persiapan pernikahan dalam hal apapun. Toh Diaz sudah mengabulkan permintaannya untuk tiket bulan madu ke Dubai. Jadi mengapa dia diperdaya seperti ini? "Abang tu harusnya ikutan ngurusin segala rupa persiapan. Biar tahu orang nyiapin acara pernikahan itu kayak gimana" pesan sang ibu yang diekori oleh Deka yang mengacungkan jari telunjuknya ke arah Diaz, berbahagia abangnya dimarahi ibu mereka. ....... Nyatanya di hari berakhirnya libur Diaz, dirinya justru terburu-buru. Tubuhnya masih belum terbiasa untuk diajak kembali bekerja. Waktunya mepet sekali untuk mempersiapkan diri ke gala premiere. Alan juga sudah mengomel tidak jauh beda dengan Bu Ratna mode emak-emak komplek. Sepertinya sang manajer memanfaatkan kesalahan kecil Diaz untuk menumpahkan semua kekesalannya beberapa hari ini. Singkatnya ada banyak pemberitaan tentang Diaz yang membuat Alan harus bekerja ekstra. Diaz harus bersiap ketika nanti benar-benar bertemu dengan Alan. Harinya kembali memadat di mulai dari hari ini tentu saja. Selamat tinggal hari-hari banyak membuang waktu. Selamat datang hari-hari yang seolah kekurangan waktu, seperti sekarang. Dia harus bergegas ke gala premiere dan belum lagi harus mampir untuk mengambil cincin. Bea&Co, itulah tempat yang sedang Diaz tuju. Rencananya singkat saja yaitu mengambil cincin pernikahan untuk Dian lalu ia akan segera bergegas agar bisa berganti jas sesuai dengan yang sudah disediakan oleh perancang busana yang dipesan timnya. Seharusnya begitu. "Di?!" Suara itu memaku Diaz untuk bertahan lama di tempatnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD