Hari-hari sebelumnya...
"Bundaaaaaaaaaaaa"
Suara nyaring dari lantai dua membuat Melinda segera mematikan kompor. Apron bergambar kelinci berwarna merah muda masih melekat pada tubuhnya saat ia berlari menaiki tangga. Putri kecilnya sering merengek jika tidak segera menemui sang ibu ketika bangun tidur.
Kamar bernuansa putih itu terbuka menampilkan ranjang berukuran king size dengan gumpalan selimut di tengahnya. Melinda tersenyum lebar karena tahu bahwa putrinya ada di balik selimut itu.
"Putri lebah bunda mana ya??? Tadi suaranya keras banget bunda dengar dari bawah"
"Kiikikiiii"
"Bea... Bea ada di mana ya?"
Perlahan Melinda mendekati ranjang dan bersila di atas tempat tidur berhadapan dengan gumpalan selimut. Beatrice terkikik di baliknya, masih bersembunyi.
"BAAAA!!!!" Bea menyibak cepat selimutnya menunjukkan pose mengejutkan pada sang ibu. Melinda pun mengikuti permainan sang anak. Ia memasang wajah terkejut lalu tertawa bersama Bea.
Tubuh berisi Bea langsung menabrak Melinda, memeluknya sangat erat hingga hampir terjengkang. Untungnya mereka ada di atas kasur yang empuk.
"Anak bunda ngompol gak ini?"
"Enggaaaaa Bea wangi"
Anak perempuan yang akan berusia empat tahun itu merangkul leher Melinda dengan erat sembari menyurukkan wajahnya ke leher sang ibu. Bea bergelayut manja dan menepuk-nepuk sayang p****t anaknya yang baginya cepat sekali dewasa. Rasanya baru kemarin Melinda merasakan seluruh tulangnya patah lalu kembali menyatu karena ia mendengar tangisan putrinya yang lahir ke dunia. Sebuah momen luar biasa yang dianugerahkan pemilik semesta untuk ia rasakan.
"Putri lebah tidur lagi?"
"Waffle" gumam Bea di perpotongan leher Melinda.
Satu kata yang membuat Melinda teringat bahwa tidak hanya sedang membuat tumis daging melainkan ia juga sedang membuat waffle. Dan sekarang wafflenya ia tinggalkan dalam cetakan yang menyala.
Mamah muda itu mengulang adegan berlarian di pagi hari yang saat ini ditambah berat tubuh anaknya. Multitasking adalah bakat terpendam seorang wanita yang bagi Melinda kemampuan itu mulai muncul setelah ia menjadi seorang ibu.
Berlarian menuruni tangga sambil kedua tangan menjaga agar tetap bisa menggendong sang anak. Satu tangan menahan berat Bea di sisi tubuh kemudian tangan lainnya membuka cetakan waffle. Beruntung waffle yang ia masukkan dalam cetakan elektric itu tidak gosong.
Selesai masalah waffle, setumpuk rutinitas sudah menunggu. Mulai dari Bea yang belum sikat gigi setelah bangun tidur dan ingin segera sarapan waffle hangat dengan lelehan madu di atasnya. Kemudian sarapan bersama Bea yang memakan waktu lama apalagi Bea yang sering aktif bertanya ini itu.
Salah satu rasa syukur dan kebanggaan tersendiri bagi Melinda melihat anak semata wayangnya tumbuh dengan baik. Beatrice adalah anak yang penurut, aktif, ceria, juga cakap berbicara.
Dua lunch box miliknya dan sang anak telah selesai Melinda siapkan. Semua peralatan dapur juga piring yang kotor ia tumpuk dalam wastafel untuk nanti ia bersihkan saat malam. Kini kembali berurusan dengan Bea lagi.
"Sayang ayo mandi"
Bea dan mandi adalah dua hal yang berarti momen memakan banyak waktu lainnya.
"Bea kenyang Bunda" ucap anak itu bersandar di bawah wastafel di dapur sudah berhadapan dengan ikan cupang miliknya yang gantian diberi sarapan.
"Imo nanti juga kekenyangan kalau dikasih makan sebanyak itu loh Bea"
Imo adalah ikan cupang yang sengaja dibeli Melinda karena Bea mendapat tugas merawat hewan peliharaan dari Miss-nya di Kelompok Bermain. Setelah dulu sempat memiliki kucing tetapi Melinda merasa kewalahan mengurusnya. Jadilah ikan cupang berwarna biru itu menjadi pilihannya dan beruntung Bea menyukainya.
"Imo kasihan ya Bunda. Sendiri. Kasihkan Opa Mahesa masukin kolam ya Bunda?"
Meski ragu tetapi Melinda langsung mengangguki inisiatif Bea. Pasalnya ikan yang di pelihara Kakek Bea adalah jenis ikan dan tidak ada akuarium berisi ikan cupang. Setelah diskusi terkait hari mereka mengunjungi Opa Mahesa akhirnya Bea pun bersiap mandi.
Mempersingkat waktu Melinda terbiasa memandikan Bea bersamaan dengan dirinya yang juga membersihkan diri. Bea memang bukan anak yang rewel tetapi selayaknya ibu dan anak balita pada umumnya, tentu ada saja drama dari keduanya.
"Bea, bunda hari ini harus ketemu banyak om dan tante yang mau nikah loh Bea. Kita harus cepetan." Melinda sudah mengenakan bathrope seusai mandi tetapi Bea masih betah di dalam bathup dengan keluarga bebek karet miliknya.
"Bunda nanti buat cincin buat Bu Desi Bundaa" seloroh Bea kembali menimbul nenggelamkan bebek karet yang diberi nama Bu Desi.
"Ayok nak! Keluar dulu tangan Bea keriput nanti"
"Ya bunda yaaa cincin buat Bu Desi sama Pak Donal, mereka nikah"
Melinda menghela napas dengan tangan yang terulur memohon Bea untuk segera naik ke gendongannya, keluar dari bathup. Ia tidak menghiraukan Bea yang mengecipakkan air dengan keras menggunakan dua bebek karet paling besar yang bernama Bu Desi dan Pak Donal.
"CINCIN CUCUUUUUUUUUT HAHAHAHAHAH"
BYUR!!!
"BEA! Kepleset ya Allah nak"
Gerakan Bea yang tiba-tiba berdiri langsung melompat ke arah Melinda. Kali ini ibunya benar-benar terjengkang sedangkan kaki Bea masih menggelepak keluar dari bathup karena setengah tubuhnya sudah menimpa Melinda. Tetapi tidak seperti hal buruk yang dipikirkan Melinda hingga khawatir sang anak terjatuh, Bea justru tertawa terbahak-bahak.
"Cincin cucut cut cut cut"
Berusaha berdiri dengan Bea yang sudah berada di gendongannya. Melinda pasrah saat sang anak menyentuh-nyentuhkan paruh mainan bebeknya ke kedua pipinya yang telah selesai ia beri skincare.
"Cucut itu apa?"
"Cincin cucut soalnya bebek ga punya jari"
Oke, Bea serius akan menikahkan Bu Desi dan Pak Donal hingga memesan cincin pada ibunya yang merupakan seorang Jeweler. Cincin untuk paruh bebek karet.
Dua setelan baju yang licin telah siap di gantungan baju. Melinda mengerjakan semua pekerjaan rumah sendiri. Ia terbiasa mencuci, menyertika, dan menyiapkan keperluan saat malam hari. Jadi ketika pagi drama rutinitasnya dengan Bea mulai berjalan, semua keperluan mereka sudah siap sedia.
Bersamaan dengan Bea yang sudah siap dengan dua kucirannya, Melinda pun tinggal memoleskan lipstik ke bibirnya. Setelah itu Melinda mengecek bawaan sekolah Bea juga isi dalam tas yang ia bawa sendiri.
Sebelum meninggalkan rumah, Melinda sekali lagi mengecek kompor, kran air, dan aliran listrik. Dirasa aman barulah mereka bersiap berangkat tinggal mengunci pintu.
Satu tangan memegang kunci rumah dan botol minum Bea, tangan lainnya menggandeng Bea juga menggantung shoulder bag di sisi kiri. Melinda sudah diburu waktu jika tidak ingin terlambat karena jam masuk Bea sebentar lagi. Dalam keadaan begitu Bea justru sedikit berontak hingga lepas dari genggaman tangan Melinda.
"Sayang ayok!"
Bea kembali berlari ke dalam rumah meninggalkan Melinda yang sudah bersiap mengunci pintu. Samar anak itu berteriak meminta waktu sebentar pada ibunya. Khawatir semakin lama apalagi Bea tampak melesat berlarian, Melinda pun menyusul ke dalam.
Teriakannya untuk memperingati Bea agar bergegas pun Melinda urungkan. Ia tidak mungkin melakukan itu melihat kebiasaan yang sedang dilakukan putrinya.
"Selamat pagi ayah. Kita ketemu ya besok? Bye bye! Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam. Udah?" Bea tersenyum lebar mengangguk-angguk ke arah Melinda lalu berjalan mendekati sang ibu. Ia dengan santai menggandeng tangan Melinda, sedikit menarik berjalan ke arah luar.
Melinda tersenyum melihat tingkah Bea. Sebelum benar-benar keluar ia pun kembali menoleh masih dengan tersenyum tepat dimana Bea tadi berdiri.
"Assalamualaikum mas"
.......
Sebelum melajukan mobilnya, Melinda mengeluarkan satu kotak makan dari tasnya lalu meletakkannya pada car storage box. Perjalanan menuju sekolahan Bea di isi ibu dan anak itu dengan memakan buah potong yang sudah Melinda siapkan.
"Bundaaaa, kalau Bea udah gede rambutnya panjang gak?" Bea memulai celotehan randomnya sambil memutar-mutar garpu ke udara sebelum ia melahap potongan melon.
"Boleh. Kalau mau dipanjangin boleh kok Bea"
"Tapi Bea rambutnya mau sama kayak bunda. Kalau udah gede kayak bunda mau panjang dan pake kerudung"
Melinda tersenyum ke arah Bea sembari mengaminkan dalam hati. Tetapi selain perasaan itu, ia juga sedikit tercubit melihat Beatrice kecilnya yang baginya terlalu cepat dewasa. Fase golden age Bea tidak bisa terulang dan untuk itu Melinda berharap ia bisa memberikan yang terbaik untuk Bea. Ia ingin menikmati setiap momen-momen itu sebelum nanti berganti momen saat Bea menginjak dewasa, satu fase yang menghadirkan getar haru jika mulai Melinda pikirkan.
Bea masih berceloteh di sepanjang jalan sampai potongan melon dalam kotak makan tinggal satu. Satu potong terakhir dan masih dengan garpunya Bea mengacungkan ke arah depan.
Terdapat beberapa lembar undangan di dashboard yang sengaja Melinda taruh agar tidak lupa menghadiri acaranya. Semua diurutkan sesuai dengan hari pelaksanaan dan yang sekarang berada di bagian paling depan adalah undangan yang tampak kontras dari undangan lainnya. Undangan bergambar balon, pelangi, juga karakter lucu lainnya itu ditujukan untuk Ayah dan Bunda Tersayang.
"Ayah nonton Bea tari-tari Bunda?"
Melinda mengalihkan tatap dari suasana lampu merah yang ramai ke arah sang buah hati. Meski begitu ia tidak segera menjawab pertanyaan Bea. Ia memilih menunggu untuk tahu arah pembicaraan sang anak.
Lengang. TIN TIN TIIN Hingga suara klakson menjadi tanda bahwa Melinda membuang sekian detik waktu menyalanya lampu hijau. Bea seolah tidak mengharap jawaban dari Melinda yang sudah kembali menyetir meski kepalanya riuh berpikir. Anak itu kembali menggerak-gerakkan garpu yang telah kosong karena potongan melon terakhir sudah masuk ke mulutnya.
"Bunda"
"Ya"
Mereka telah sampai di area drop out sekolah Bea dan Bea baru saja kembali bersuara.
"Bunda ada baju putih?"
"Ada"
Wajah anak kecil itu berbinar cerah mendengar jawaban ibunya.
"Bea juga putih. Kita sama-sama. Besok pas Bea tari-tari"
Ceria sekali Bea bercerita tentang kostum tari untuk acara pentas seni Kelompok Bermainnya. Melinda juga sudah mengetahui detail acaranya sekalipun undangan di bagian paling depan pada dashboard itu tidak ia buka.
"Iya, Bunda besok juga sama kayak Bea pakai putih waktu lihat Bea tampil"
"Ayah juga ada baju putih kan Bunda?"
........"ada"
"YES! Kita harus datang kalau diundang kan Bunda."
Beatrice tidak bertanya tetapi mengingatkan Melinda tentang ucapannya beberapa waktu lalu. Ucapan yang seolah menjadi bumerang baginya hari ini. Tentang Melinda yang satu hari harus meninggalkan Bea di rumah Opanya karena ada undangan yang harus ia hadiri. Salah satu pernikahan dari client yang memesan perhiasan padanya.
"Bunda harus pergi nak. Gak lama kok. Bunda kan dapat undangan dari om sama tantenya jadi bunda harus datang"
Seperti itu kalimat yang diucapkan Melinda hari itu yang dengan jelinya masih diingat oleh anaknya yang pintar ini.
Bea antusias sekali untuk segera turun dan bergabung bersama teman-temannya. Tetapi Melinda harus segera memutuskan sesuatu.
"Bea, boleh bunda minta tolong dengar bunda dulu?" pintanya lembut.
Melinda sudah menghadapkan tubuh pada anaknya. Bea menurut dan duduk tenang siap mendengarkan bundanya dengan seksama. Untuk menetralkan gemuruh di dadanya, Melinda menghirup napas dalam dan membuangnya perlahan sangat perlahan. Dia tahu sedang mengulur banyak waktu.
"Bea akan ketemu ayah eumm kita, kita akan ketemu sama ayah bareng-bareng...."
"ketemu ayah? KETEMU AYAH!!!! YE YE YEY EYEYYEYEE" Bea ekspresif sekali mengungkapkan perasaannya.
"Tapi nggak di sekolah Bea"
Ada keheningan yang terjadi sejenak. Sebelum Melinda benar-benar tidak bisa mundur lagi.
"Mungkin sehabis Bea selesai nari. Sepulang dari pentas kita sama-sama ketemu ayah" setiap kata yang Melinda ucapkan seolah sangkutan berat yang menyiksa tenggorokan dan ulu hatinya.
"Kita ketemu ayah kan tapi?"
Mata anaknya membulat antusias. Entah memahami dengan benar maksud perkataan ibunya atau tidak. Melinda mengangguk, memantapkan hati.
"OKEEEEE. Sampai ketemu nanti bunda!! Hati-hati di jalan! Assalamualaikum!"
"waalaikumsalam" lirih Melinda melepas anaknya memasuki sekolahnya.
Melinda masih bisa tersenyum melambaikan tangan dari dalam mobil ke arah Bea yang digandeng seorang Miss masuk ke sekolah. Tetapi setelahnya, ia gemetaran hingga harus menepikan kembali mobilnya. Ia tenggak sebanyak-banyaknya air minum dari botol tumbler yang ia bawa untuk menenangkan diri.
"mas aku akan ketemu kamu sama Bea. aku bisa kan? aku pasti bisa kan mas?"
Sepasang cincin yang tergantung pada mobilnya ia usap, dengan begitu Melinda merasa mendapat perasaan tenang. Berulang kali Melinda mengucap kata istighfar untuk menenangkan diri. Dering ponselnya mengalihkan perhatian Melinda.
Satu kontak yang menyadarkan Melinda bahwa ia masih diburu waktu. Oke. Cukup baginya karena sekarang dia harus kembali pada realita dan menjadi Melinda seperti empat tahun terakhir. Bea&Co. menunggunya dan ia harus bergegas. Perlahan ia melajukan mobilnya menyatu pada keramaian jalan sejenak menepikan riuh kepala dan hatinya. Ia akan baik-baik saja, begitu keyakinannya.