Nabila masih berdiri dengan menaikkan salah satu alisnya. Mereka memang pernah berbicara di proses produksi, tapi Nabila ingat benar bahwa ia tidak pernah menyebutkan namanya sama sekali pada Rangga. Pertanyaan Nabila benar-benar membuat Rangga terdiam kaku. Tentu tindakan yang mencurigakan jika Rangga bilang pada Nabila bahwa ia mengetahui nama Nabila dari daftar buku yang ia cari.
"Saya rasa, saya belum pernah memberitahukan nama saya pada pak Rangga," ucap nabila lagi. "Bahkan di kantor produksi pun..."
"Ya, di kantor produksi!" potong Rangga. Rangga seperti telah teringat akan sesuatu yang membuat Nabila berhenti berbicara. "Aku menanyakannya pada Tyas," lanjut Rangga masih dengan nada tingginya. Nabila melihat ke arah Rangga sekali lagi. Ia justru semakin merasa aneh dengan itu.
"Mbak Tyas?" tanya Nabila. "Saya pikir, mbak Tyas juga tidak tahu nama saya," jelas Nabila.
"Mana ada supervisor yang tidak tahu nama karyawannya?" sanggah Rangga dengan cepat, mencoba mencari alasan.
"Tapi, saya kan masih baru pak," ucap Nabila.
"Justru karena kamu baru. Maka, data orang baru pasti gampang untuk dilihat," terang Rangga. Ia menjelaskannya dengan sedikit menggebu, seolah benar-benar meyakinkan Nabila bahwa yang dikatakan itu adalah benar.
"Oh... Jadi, mbak Tyas tahu nama saya?" Nabila mengangguk-anggukkan kepalanya.
Nabila sudah bisa menerima penjelasan Rangga. Sedangkan Rangga, hanya menghela nafas lega tanpa sepengetahuan Nabila. Nabila melihat ke arah Rangga lagi. Rangga yang baru saja memasang wajah lega, segera menggantinya dengan wajah datar seketika. Ia pun juga menatap ke arah Nabila datar. Hening mendadak di antara mereka. Lalu, Nabila melihat jam tangannya, lalu Nabila nampak terkejut. Ia segera menatap ke Rangga cepat, akan meminta ijin pulang.
"Kalau begitu, saya pamit dulu," ujar Nabila pada Rangga. "Terima kasih sekali lagi."
Nabila menundukkan kepalanya dengan tergesa. Rangga pun membalasnya dengan mengangguk sedikit sekali. Nabila lalu berbalik dan meninggalkan toko buku tersebut, juga Rangga.
Kelihatannya ada sesuatu yang mendesak. Bisa terlihat karena Nabila sedikit terburu-buru. Bahkan, Nabila belum membeli buku yang ia jumpai tadi, karena meladeni orang bule yang baru saja berbicara dengannya. Selagi Nabila pergi, Rangga masih terus memperhatikannya meskipun sudah jauh, tanpa disadari Nabila.
"Rang!" Tiba-tiba ada yang menepuk pundak Rangga dari belakang, dan memanggil setengah namanya. Rangga yang tadinya sedang fokus, menjadi terkejut. Ia setengah terjingkat dengan orang yang baru saja memanggilnya itu. Panggilan itu... Rangga tahu siapa yang memanggilnya dengan panggilan seperti itu.
"Jangan panggil aku seperti itu Chris!" kata Rangga sebelum menoleh ke arah siapa yang memanggilnya. Selang kesekian detik, barulah Rangga menolehkan kepalanya pada orang yang baru saja memanggilnya. Tebakan Rangga memang tepat sekali. Seorang bule yang sama saat berbicara dengan Nabila tadi. Chris Sadler. “Paling tidak, jangan di Indonesia," lanjut Rangga sedikit kesal. Sedangkan Chris, hanya tertawa mendengar sapaan malas Rangga. Lagi-lagi, Chris berusaha menggoda Rangga.
"Dari mana saja kau? Aku mencarimu," balas laki-laki asing itu.
"Aku tahu kau sedang berbicara dengan perempuan," lanjut Rangga.
"Apa?! Jadi, kau sudah tahu aku daritadi, tapi malah mendiamkanku?!" seru Chris masih dengan nada tinggi.
"Aku tadi melihatmu ke kamar mandi juga," kata Rangga lagi.
"Kenapa kau tidak memanggilku?" kata Chris seolah tak terima.
"Kau ada di kamar mandi. Kenapa aku harus memanggilmu?" tukas Rangga.
"Paling tidak, agar aku tidak kebingungan di sini. Di sini, tidak banyak yang bisa berbahasa Inggris," kata Chris. "Untung tadi, ada perempuan yang lancar bahasa Inggrisnya. Aku merasa sangat tertolong," lanjut Chris lagi. Rangga terdiam mendengar ungkapan Chris. Ia memberikan jeda waktu di dalam kepalanya untuk berpikir. Memang benar seperti dugaan Rangga. Bahasa Inggris Nabila sangat lancar.
"Aku mengirim pesan, tapi ponselmu malah tidak aktif," kata Chris lagi, yang membuat lamunan Rangga pecah.
"Bateraiku habis," jawab Rangga menanggapi Chris. "Lagipula, ada sesuatu yang lebih penting dari itu." Rangga menoleh ke arah jalan yang baru saja ditapaki Nabila. Chris melihat Rangga yang tiba-tiba melamun. Ia juga melihat arah yang dilihat Rangga. Chris memperhatikan Rangga, tidak seperti biasanya.
"Apa itu soal perempuan?” tanya Chris segera. Rangga menoleh ke arah Chris.
"Kenapa aku harus memberitahukannya padamu?" kata Rangga menhkerutkan kedua alisnya. Chris semakin penasaran dibuatnya. Namun, sikap Rangga kali ini berbeda dengan biasanya. Membuat Chris semakin curiga.
"Hei! Penolakanmu itu justru menunjukkan kalau kau memang sedang memikirkan perempuan!" seru Chris mencoba menggoda Rangga. Chris lalu melihat ke arah Rangga lebih dekat. "Apa, ini soal pacarmu?" goda Chris lagi. Rangga mengkerut keningnya.
"Aku tidak punya pacar," jawab Rangga dengan nada datar.
"Katakanlah padaku. Sampai di mana hubunganmu dengan sahabatmu itu?" Chris justru kembali menggoda.
Rangga yang sudah tak mau meladeni candaan Chris, segera berbalik badan dan berjalan meninggalkan Chris begitu saja. Tanpa perlu membeli buku apapun, Rangga berjalan keluar toko buku tersebut.
"Hei! Tunggu. Aku harus mengambil tasku di penitipan dulu!" teriak Chris pada Rangga yang semakin berjalan menjauh darinya. Namun, Rangga tak mempedulikan Chris. Ia justru berjalan semakin jauh. Sedangkan Chris terburu untuk mengambil tasnya di tempat penitipan di dalam toko buku dan ingin segera mengejar Rangga.
Sejujurnya, Chris senang sekali melihat Rangga kesal seperti itu. Walaupun Rangga sering melakukan hal itu, Chris tahu Rangga bukan orang yang mudah marah. Hal itu hanya dilakukan untuk Chris saja. Karena mereka sudah saling akrab. Semakin tahu Chris tentang Rangga yang mudah kesal padanya, Chris semakin sering tidak serius pada Rangga. Itulah tanda keakraban diantara mereka. Mereka sudah saling kenal lama dan cocok. Chris memenuhi janjinya pergi ke Indonesia, ke tempat Rangga untuk urusan bisnis.
"Rang! Tunggu!" seru Chris sekali lagi berusaha menyusul Rangga. Rangga terdiam dan kesal dengan Chris memanggilnya seperti itu. Ia terhenti dan membalikkan badannya melihat ke arah Chris. Rangga akhirnya menunggu sampai Chris sudah dekat dengannya. Chris lalu merangkul Rangga dari belakang.
“Ayolah, aku harus cepat pulang," ucap Rangga pada Chris. Ia nampak sudah tak mau meladeni Chris dengan semua candaannya.
“Ya... Ya... Aku juga lelah karena jet lag," jawab Chris.
Mereka pergi bersama menuju apartemen Rangga. Chris baru saja sampai ke Indonesia. Karena Chris masih ingin melihat-lihat dan berkeliling Indonesia sebentar, Rangga membuat janji untuk bertemu disini.
Tentang Nabila... ada sesuatu yang menarik pada Nabila. Rangga bisa merasakannya saat Nabila masih menjadi karyawan kupas, begitu juga saat Tyas memanggilnya ke kantor produksi. Bahkan untuk seorang pegawai sanitasi yang kerjanya hanya membersihkan limbah, Nabila bisa memikirkan hal detail seperti harus memisahkan limbah yang masih bisa diolah atau tidak. Itu bukan sekedar pemikiran biasa. Artinya, Nabila tahu soal merubah sistem menjadi lebih baik lagi. Hanya saja, Tyas tidak menyadarinya.
Nabila benar, jika ia harus memisahkan limbah yang masih bagus dan yang sudah tidak bisa diproses lagi. Justru akan memakan waktu lebih lama dan harus bekerja dua kali jika limbah tersebut dikumpulkan terlebih dulu dan baru dipisahkan. Kenapa ia bisa mempunyai pemikiran seperti itu? Nabila, pasti sedang menyembunyikan sesuatu.