Rangga yang baru masuk ke ruangan direktur itu, disambut oleh direktur sendiri. Saat ini, Rangga sedang berdiri di hadapan pak direktur dan memberikan selembar kertas.
Kertas hasil nama-nama karyawan yang telah melakukan tes. Pak Bagas, nampak membacanya sekilas. Rangga memperhatikannya dengan penasaran.
"Jadi, ini semua orang yang sudah melakukan tes waktu itu?" tanya pak Bagas untuk memastikannya.
"Betul, Pak," jawab Rangga mantap.
"Jujur saja, sebenarnya kamu tidak perlu membuat ini, untukku" ujar pak Bagas dengan menunjuk kertas tersebut. Rangga memakan waktu sekian detik untuk bisa menanggapi kalimat pak Bagas tersebut.
"Bukankah, tanpa menggunakan kertas ini, kita semua sudah tahu siapa yang terpilih dari tes itu" tanya pak Bagas kembali. Satu poin untuk Rangga.
"Jadi, bagaimana menurut anda, Pak?" tanya Rangga pada pak direktur tanpa basa basi.
"Aku?" Pak Bagas justru menunjuk dirinya dengan nada tanya. "Aku pikir, kau sudah menentukan siapa yang terpilih," tanggapan pak Bagas.
"Sudah, Pak," jawab Rangga mantap tanpa keraguan. Pak Bagas kemudian mengkerutkan keningnya mendengar jawaban mantap dari Rangga.
"Kalau sudah, kenapa musti bertanya padaku? Aku rasa, semuanya sudah jelas bukan?" ujar pak Bagas lagi.
"Ya... saya hanya memastikan saja pak. Menurut pak Bagas, siapa yang patut untuk dijadikan staff administrasi dari tes itu?" tanya Rangga lagi.
"Tentu saja, perempuan pintar dengan analisisnya yang cukup menarik kemarin. Siapa namanya?" tanya pak Bagas sambil tangannya menunjuk ke arah lain dan memejamkan mata mencoba mengingat nama Nabila.
"Nabila pak," jawab Rangga dengan semangat.
"Ya...ya... Itu dia," kata Pak Bagas setelah berhasil mengetahui nama perempuan yang dimaksud.
Rangga ingin melompat kegirangan rasanya. Ia benar-benar sangat puas mendengar keputusan dari pak Bagas itu. Semua hal yang dilakukannya, berhasil juga. Ia berhasil membawa Nabila kembali ke asalnya.
"Tapi, Rangga," ujar pak Bagas tiba-tiba. Rangga jadi menoleh ke arah pak Bagas.
"Apa kau tahu karyawan ini sebelumnya?" tanya pak Bagas. "Rasanya, dia bukan orang lama di sini?"
"Iya pak. Nabila memang baru. Tapi, dia sangat cepat belajar, mudah beradaptasi dan bisa bekerja di bawah tekanan." Rangga benar-benar yakin dengan apa yang dikatakannya. Pak direktur mendengarkannya. Ia tengah berpikir sejenak.
"Apa dia tidak ada maksud lain? Kenapa dia mau bekerja sebagai buruh awalnya?" Pertanyaan yang sudah didengar Rangga puluhan kali saat menanyakan tentang Nabila padanya.
"Jujur saja, awalnya saya juga berpikir seperti itu pak. Tapi saya menyelidikinya sendiri. Itu semua karena masalah pribadinya yang terjadi di masa lalunya pak," jelas Rangga.
"Apa kau yakin?" tanya pak Bagas kembali.
"Saya yakin, Pak," jawab Rangga sekali lagi.
"Maksudku, apa kau yakin dia bisa dipercaya?"
"Sudah tentu iya, Pak. Menurut saya, Nabila adalah karyawan berpotensi dan sangat polos, Pak. Dia sangat jauh dari kata licik," ujar Rangga lagi.
"Hm..." Pak Bagas nampak mengangguk-anggukkan kepalanya beberapa kali. Dinilainya, rasanya Rangga kali ini benar-benar yakin.
"Aku tidak pernah main-main denganmu Rangga," tegas pak direktur memberikan tekanan pada kalimatnya.
"Tolong, anda percaya pada saya, Pak. Saya juga tidak pernah main-main sebelumnya." Rangga meyakinkan kembali pak Bagas.
Pak Bagas, melihat kekukuhan dan tatapan jujur pada mata Rangga. Ia rasa, ia akan menuruti apa kemauan Rangga. Memang jika dibandingkan dengan manajer lain, Rangga adalah manajer yang paling muda. Namun paling lebih banyak melakukan perubahan yang lebih baik.
Pak Bagas bisa mengerti jika semangatnya masih berapi-api. Pengaruh hormon di usianya, juga bisa menjadi hal baik. Namun, pak Bagas selalu menilai dari semua prestasi yang telah diraihnya.
Rangga selalu memberikan masukan-masukan yang bisa membangun perusahaan ini. Mungkin karena jiwa mudanya yang membara, seorang Rangga kadang tidak begitu mempedulikan resiko kecil, tapi setelahnya ia segera melaju pesat. Penilaian pak Bagas melihat Rangga adalah seorang anak muda yang energik dengan segudang prestasi.
"Baiklah, aku serahkan karyawan perempuan itu, padamu. Karena dari awal kau yang menginginkan tes itu," pinta pak Bagas.
"Suatu kehormatan bagi saya, Pak," jawab Rangga penuh antusias.
"Ajari perempuan bernama Nabila itu, agar nanti bisa membantumu menghadapi audit akreditasi yang semakin dekat ini," tambah pak Bagas lagi.
"Baik, Pak." Rangga mengangguk mantap.
Hati Rangga semakin berbunga mendengar perintah dari pak Bagas. Memang itu yang sangat diharapkannya dari awal. Ia bisa bekerja bersama dengan Nabila. Namun, tentu saja Rangga bukan tipe seorang yang hanya mementingkan dirinya sendiri. Dia, memilih Nabila untuk membantunya, karena memang Nabila adalah seorang yang cukup berpotensi. Rangga bisa tahu, selama bekerja kurang lebih satu bulan dengan Nabila.
"Audit semakin dekat, saat menghadapinya nanti aku harap kau sudah siap," ujar Pak direktur sekali lagi.
Rangga yang masih dalam balutan kesenangan hatinya itu, menoleh kembali ke arah direktur. Ia kembali memfokuskan dirinya pada pak Bagas.
"Anda bisa mengandalkan saya, Pak. Saya akan mengerjakannya dengan sebaik mungkin," ujar Rangga tidak kalah tegas.
Namun Rangga tetap mengatakannya dengan nada yang sopan. Rangga dipilih secara pribadi oleh direktur menjadi salah satu orang yang diberi tanggung jawab menghadapi audit nanti, karena prestasinya selama ini.
"Kalau begitu, saya ijin permisi dulu, ya Pak," pamit Rangga pada pak Bagas.
Direktur hanya mengangguk dan mengerti. Rangga berbalik. Ia kemudian berjalan ke arah pintu keluar. Rangga berjalan masih dengan senyum-senyum sendiri.
Ketika Rangga membuka pintunya, ia setengah terhenyak melihat seorang perempuan berdiri di depannya. Tyas, yang akan menemui papanya, bertatap muka dengannya. Tyas, masih sempat melihat Rangga yang tersenyum, lalu segera Menganti ekspresinya saat melihatnya.
"Selamat, semua rencanamu sudah berhasil!" ungkap Tyas dengan kesal.
"Terima kasih," jawab Rangga dengan bernada dingin.
Tyas heran mendengarnya. Kenapa Rangga tidak melakukan penolakan? Padahal, niat Tyas adalah untuk mengoloknya. Untuk merendahkan Nabila.
"Kamu sudah berhasil membawa satu pegawai sanitasi cantik ke kantor. Besok, bawalah satu lagi karyawan produksi yang jauh lebih cantik dari Nabila," ujar Tyas dengan kalimat yang lebih pedas.
Sepertinya, Tyas sudah menguping pembicaraannya dengan papanya dari luar. Namun, itu tidak membuatnya gentar. Rangga masih bisa bersikap cool.
Rangga, hanya diam. Sebenarnya, ia gatal sekali ingin membalasnya. Tapi, jika dibalas, Rangga tidak akan mendapat apapun.
Padahal, ungkapan Tyas salah besar. Tyas sendiri tahu, jika saat tes itu, Nabila benar-benar bisa memberikan analisis yang sangat bagus. Bahkan, papanya sendiri yang memilihnya.
Rangga melihat Tyas yang tengah berdiri di hadapannya dengan bersedekap. Rangga hanya diam dan tidak membalas kalimat apapun. Karena ia tahu, Tyas hanya ingin bertengkar dengannya. Rangga memilih untuk menghindarinya saja.
"Permisi," ujar Rangga.
Rangga kemudian berjalan melewati Tyas begitu saja. Tyas hanya bisa terpaku menatap Rangga. Ia tak habis pikir akan sikap Rangga tersebut.
Rangga bahkan sama sekali tak mempedulikannya. Ia hanya terus melangkah dan sama sekali tidak menoleh ke arahnya. Kali ini, Rangga benar-benar berbeda dengan Rangga yang sebelumnya. Membuat Tyas merasa semakin kesal saja.