Pandangan Tyas masih tertuju pada Nabila. Nabila merasa aneh saat Tyas melihatnya seperti itu. Ia merasa tidak nyaman sendiri. Berbalik seratus delapan puluh derajat dengan Rangga.
Rangga amat sumringah begitu tahu kedatangan Nabila. Nabila saat ini, tengah berdiri di ambang pintu kantor ruangan Rangga. Membawa sapu serta kain lap di tangan kanannya.
“Ah, Nabila!” seru Rangga. Nabila muncul di saat yang tepat. Kebetulan sekali Rangga tidak jadi memberikan jawaban yang sesungguhnya pada Tyas. “Kamu sedikit terlambat hari ini," ucap Rangga pada Nabila.
“Maafkan saya pak. Saya tadi membantu bi Siti mencuci piring di bawah," jelas Nabila.
“Oh... benarkah?!" tanya Rangga dengan ekspresi tidak biasa. "Sepertinya memang perlu tambah orang ya?” gumam Rangga menempelkan tangannya pada dagu, dan berbicara sendiri dengan nada tanya. Ia sengaja berkata demikian di depan Tyas. Tyas justru merasa lebih curiga dengan sikap Rangga yang jelas-jelas salah tingkah seperti itu.
"Tolong lap komputer itu, lukisan yang ada di sana dan disana.” Rangga menunjuk semua yang baru saja dikatakannya. Ia kembali duduk dan menuliskan sesuatu di memo kecil. “Jangan lupa. Bersihkan mejaku sampai tidak ada satupun yang berdebu," pinta Rangga dengan tersenyum lebar. Tyas justru merasa sangat aneh dengan sikap Rangga.
“Baik pak," jawab Nabila singkat.
Rangga kemudian berdiri. Ia mengambil ponselnya dan berjalan mengitari mejanya. Lalu, berjalan ke arah Tyas.
“Ayo kita ke proses produksi," ajak Rangga pada Tyas. Tyas masih terdiam dan memberikan pandangan penuh tanya pada Rangga. “Ayo!” Rangga merangkul pundak Tyas dengan sedikit memaksa.
Kemudian, Rangga membalikkan badan Tyas ke lawan arah mengajak Tyas segera melangkah dari sana. Berharap Tyas segera pergi dari situ agar Nabila bisa leluasa berada di kantor Rangga sendirian.
Ketika Tyas ingin melihat ke arah Nabila yang tertunduk, ia tidak sempat karena Rangga mendorong pundak Tyas dan menggiringnya berjalan keluar kantor. Setelah Rangga dan Tyas menjauh, Nabila memperhatikan mereka dengan sebuah pertanyaan di kepalanya.
***
Nabila tampak tak tenang menunggu kedatangan seseorang. Ia hanya mondar mandir melihat jam dinding yang nampaknya cepat sekali berjalan. Sudah lewat setengah jam dari jam pulang, tapi ia masih berada di kantor Rangga. Ia tidak bisa keluar dari sana walaupun sudah jam pulang. Memo yang Rangga tulis di mejanya tadi...
‘Tunggu sampai aku kembali dari produksi, dan jangan pulang dulu.’ Nabila merasa terganggu jika mendadak seperti ini. Ia tidak bisa pulang telat secara tiba-tiba seperti ini. Ada hal penting yang selalu ia lakukan saat jam pulang tiba. Kebetulan baterai ponselnya yang memang sudah rusak membuat ponselnya mati dari tadi sehingga ia tidak bisa menghubungi seseorang saat ia pulang telat seperti ini.
Saat ia berjalan bolak balik kesana kemari, tiba-tiba ia mendengar langkah kaki yang mendekat ke kantor Rangga. Nabila segera menoleh ke arah pintu menunggu kedatangan seseorang yang sangat ia harapkan.
Beberapa detik, Rangga sudah terlihat. Ia masuk ke kantornya. Syukurlah... Pikir Nabila. Rangga melihat ke arah Nabila yang masih berdiri sebentar. Kemudian, ia berjalan menuju kursinya dan duduk disana.
“Duduklah," ucap Rangga pada Nabila dengan menunjuk sebuah kursi yang berhadapan dengannya.
Nabila segera menuruti perintah Rangga dan ia segera duduk di kursi yang ditunjukkan Rangga. Nabila menunggu harap-harap cemas apa yang akan ditanyakan Rangga padanya. Tunggu, wajah Rangga amat dingin. Apakah Nabila akan dipecat?
Nabila masih sangat membutuhkan pekerjaan ini. Tangannya saling meremas sangking gugupnya. Wajahnya amat pucat. Sedangkan Rangga nampaknya masih sibuk dengan kertas data-datanya yang sedang ia periksa. Nabila kembali melihat jam dinding. Ia semakin pucat. Rangga menyadarinya.
“Apa kamu ada janji?” tanya Rangga yang bertanya dengan masih berkonsentrasi pada kertas-kertas yang ia bawa.
“Ti...tidak pak," jawab Nabila nampak gugup. Ia hanya bingung harus menjawab apa. Rangga pun kasihan juga pada Nabila. Ia menaruh kertasnya di mejanya dan mencoba fokus pada Nabila.
“Sebenarnya kamu hanya tinggal menjawab pertanyaanku," Kata Rangga pada Nabila. “Kenapa kamu merahasiakan kalau kamu ini sebenarnya bukan lulusan SMA? Maksudku... kamu lebih dari itu.” Nabila mengangkat kepalanya melihat ke arah Rangga yang terus memperhatikannya dari tadi. Nabila sedikit terkejut.
“Darimana pak Rangga tahu?”
“Aku memeriksa biodatamu. Ijasahmu ada yang janggal," jelas Rangga.
“Tapi itu benar-benar asli punya saya pak," kata Nabila dengan sedikit menekankan nadanya.
“Benarkah? Sekarang ini, banyak pemalsuan ijasah.” Rangga menaikkan salah satu alisnya menunjukkan seolah-olah ia tidak percaya dengan pernyataan Nabila. Jadi apakah itu yang dipikirkan Rangga selama ini tentang dirinya? Ia mengira Nabila memberikan keterangan palsu?
“Jangan-jangan, kamu ini seorang mata-mata? Mata-mata dari perusahaan lain untuk mencari kelemahan perusahaan kami?” Rangga memincingkan matanya. Nabila terkejut dua kali lipat dengan pernyataan Rangga.
“Ti...tidak pak!” kata Nabila masih dengan gugup. Nabila menunduk sebentar dan menutup matanya sambil mendesah pelan. “Sebenarnya, saya tidak berniat sama sekali untuk merahasiakannya dari siapapun.” Mendengar pernyataan Nabila, Rangga menaikkan salah satu alisnya.
“Lalu, kenapa kemarin kamu diam saja saat kutanya siapa kamu sebenarnya?”
“Saya gugup pak. Saya terkejut, dan... takut sebenarnya.” Nabila menunduk dan merendahkan suaranya. Ia lalu kembali mendongakkan wajahnya perlahan. “Karena waktu itu, pak Rangga kelihatan marah," ujar Nabila pelan. Rangga masih diam mendengarkannya. “Tolong jangan pecat saya pak. Saya benar-benar butuh pekerjaan ini," kata Nabila dengan nada memohon.
“Pekerjaan yang mana?” tanya Rangga spontan. “Pekerjaan menjadi sanitasi, atau seorang cleaning service?”
“Maksud saya, saya butuh pekerjaan pak.” Kini wajah Nabila benar-benar menunjukkan rasa kecemasan. Rangga bersedekap menghadap Nabila. Mencoba mencerna semua ulasan Nabila.
“Kamu bisa melamar menjadi seorang admin, marketing atau bahkan sekertaris. Kenapa kamu melamar menjadi buruh?” Rangga benar-benar penasaran dengan jawaban itu. Nabila menarik nafas dan mencoba menjawabnya dengan agak ragu.
“Ijasah sarjana saya...,"
“Benarkan!" potong Rangga menghentikan kalimat Nabila. "Kamu bukan lulusan SMA. Kamu ini memang seorang sarjana!” Kalimat Rangga membuat Nabila terkejut. Rangga berhasil memancing Nabila. Ia lalu mendekatkan tubuhnya ke arah Nabila. Menatap Nabila lekat-lekat. “Katakan Nabila, kalau kamu lulusan sarjana, kenapa kamu menggunakan ijasah SMA untuk melamar di perusahaan ini?" tanya Rangga kembali. Nabila seakan sulit menjawabnya, karena sebenarnya itu menyangkut masalah pribadi tentangnya.
“Saya benar-benar minta maaf pak. Saya tidak bermaksud untuk membohongi siapapun. Tolong jangan pecat saya," kata Nabila memohon untuk kedua kalinya. Rangga bisa melihat ketulusan dari sorot mata Nabila.
“Percayalah Nabila, aku tidak akan memecatmu.” Rangga memberikan keyakinan pada Nabila dengan harapan Nabila akan berkata jujur. Nabila mengangguk-angguk tanda ia percaya dengan kalimat Rangga.
Nabila gantian melihat ke arah Rangga dengan tatapan tajam. “Kalau saya bercerita, apa pak Rangga akan langsung percaya pada saya?” tanya Nabila dengan penuh kesungguhan. Mereka bertatap mata. Diam antara mereka menandakan bahwa keseriusan telah tercipta.
“Ya. Tentu," jawab Rangga singkat dan mantap. Ia bisa menilai jika Nabila hanya seorang perempuan polos. Nabila sangat jauh dari karakter licik atau pembohong. Rangga mengulangi kembali pertanyaan yang menjadi akar masalah diantara mereka. “Sekarang, ceritakan secara detail tentang dirimu," pinta Rangga. Nabila masih menatap lekat ke mata Rangga yang nampaknya benar-benar membutuhkan jawaban darinya.