Teman Baru

1069 Words
Syifa duduk melirik teman baru di sebelahnya, Amaya. Dia memerhatikan gadis itu diam-diam. Namun, semakin diperhatikan, semakin aneh dia di mata Syifa. “Apa?” gumam Amaya lirih. Syifa tersentak sadar, kaget karena tiba-tiba Amaya sudah menoleh menatap tajam ke matanya. “Eh, anu, nggak apa-apa kok,” jawab Syifa gelagapan. Amaya kembali menatap kurus ke depan, ke arah papan tulis. Semua anak sedang mencatat materi yang diberikan guru. Syifa juga, namun dia melirik buku tulis Amaya yang tidak dipenuhi oleh tulisan berisi materi. Melainkan, dia sempat melihat coret-coretan tak jelas di dalam bukunya. Syifa mendengar pergerakan kecil dari Amaya, membuatnya segera membuang muka. Dia tak ingin Amaya menatapnya dengan sinis lagi. Sepanjang pelajaran hingga bel istirahat berbunyi, Syifa sudah berkali-kali mencoba mengajak ngobrol teman sebangkunya. Namun, Amaya sepertinya tak suka dan memilih untuk tetap diam. Ketika bel istirahat kedua berdering, Syifa ragu-ragu sejenak untuk mengajak Amaya pergi ke kantin dan makan siang bersama. “Amaya, kamu mau pergi ke kantin sama aku?” Syifa menawari. Amaya tidak menjawab, bahkan tidak menatap Syifa sama sekali. Dia langsung bangkit berdiri dengan mendadak, membuat Syifa terkejut. Amaya berjalan lurus dan keluar dari kelas. Dia meninggalkan Syifa sendirian. “Mungkin dia nggak mau pergi ke kantin denganku,” gumam Syifa sendiri. Dia merasa kecewa, karena penolakan atas ajakannya oleh Amaya. Dia berjalan dengan lunglai ke arah kantin dan duduk di tempat favoritnya, yakni di meja sudut sendirian. Dia baru saja membuka kotak bekalnya ketika mendengar keributan itu terjadi. “Heh, si anak baru, selamat datang di sekolah elite ini. Lo berasal dari mana, anak aneh?” ujar Rere dengan nada sombongnya yang khas. Syifa melihat dari tempat duduknya, Amaya sedang berdiri di depan pintu kantin dan tidak bisa masuk karena dicegat oleh Rere dan teman-temannya. “Eh, nggak dijawab!” Rere menatap wajah Amaya dengan kesal. “Mungkin dia nggak denger kali, Re!” sahut Tania. “Heh, anak baru! Lo punya kuping kan?” pancing Rere lagi. Sebelah tangannya meraih telinga kiri Amaya. Namun, secepat kilat Amaya menangkis tangan Rere dan menepisnya dengan keras. “Aw, sakit!” keluh Rere. “Lo berani ya sama gue?” Semua orang di kantin bisa melihat betapa Rere kelihatan sangat marah. “Lo belagu banget!” ucap Rere sembari melayangkan tangannya hendak menampar pipi Amaya. “Aduh, aduh sakit!” jerit Rere berusaha menarik kembali tangannya. Sementara itu Amaya tetap mencengkeram tangan Rere hingga dia kesakitan. Tania dan Clara ikut membela Rere, berusaha melepaskan Rere dari tangan Amaya. “Lepasin!” ujar Rere kesakitan. Dia meronta-ronta, nampak kewalahan menghadapi Amaya. “Lepasin atau gue panggilin guru!” ancam Tania. Barulah saat itu Amaya melepaskan tangan Rere. Syifa memerhatikan kejadian itu dengan mata terbelalak lebar. Dia tak menyangka jika ternyata Amaya adalah gadis yang kuat. Bahkan dia cukup kuat untuk menyakiti Rere dengan mudah. Syifa memerhatikan raut wajah Amaya yang tidak berubah, tetap lurus dan dingin seperti tidak peduli. Meski semua mata di kantin itu tertuju pada dirinya. Rere mengelus-elus tangannya yang sakit, dibantu oleh dua temannya Tania dan Clara. “Lihat nih, sampai membekas merah begini!” keluh Rere menunjukkan bekas cengkeraman Amaya tadi. “Dia kuat banget ternyata, Re,” komentar Clara. Ketiganya melirik sosok Amaya yang berjalan dengan cuek ke arah meja kantin. Dia duduk di salah satu meja yang kosong. “Dasar cewek aneh,” ucap Tania menyuarakan pikiran teman-temannya.. Syifa melirik Amaya yang duduk tak jauh darinya, sendirian. Amaya tidak memesan makanan dari penjual kantin, namun dia juga tidak membawa kotak bekal. Amaya hanya duduk saja di sana, menunduk dengan rambut hitam panjangnya terurai ke depan, menutupi seluruh wajahnya. Syifa menunduk menatap kotak bekalnya yang masih ada setengah. Dia bertanya-tanya dalam hati, haruskah dia berbagi bekal makan siangnya dengan Amaya? Meski dengan ragu-ragu, Syifa akhirnya mendekati Amaya dan duduk di depannya. “Hai, Amaya. Kamu nggak bawa bekal makanan?” tanya Syifa. Amaya tidak bergerak, tidak juga menjawab. “Kamu mau makan bekal makan siangku?” Syifa menawarkan. Amaya mengangkat wajahnya, menatap lurus mata Syifa. Dia tidak menjawab apa-apa. Sikap itu membuat Syifa merasa serba salah. “Eh, ini memang tinggal setengah, tapi aku udah kenyang kok. Kalau kamu mau, kamu boleh makan punyaku.” Syifa menyodorkan kotak bekalnya kepada Amaya. Amaya menyerahkan kembali kotak bekal itu pada Syifa. Tatapan matanya masih tajam menatap Syifa. “Oh, kamu nggak suka ya sama bekal milikku? Memang sih, lauknya sederhana. Maaf ya,” ucap Syifa sembari mengambil kembali makanannya. Syifa memakan makan siangnya sendirian. Amaya terus menatapnya dengan tajam, membuat Syifa seolah tak sanggup menelan nasi goreng buatan sang ayah. “Kenapa kamu melihatku seperti itu?” tanya Syifa ingin tahu. “Apa kamu mau makan bareng?” Amaya tidak menjawab. Untung saja saat itu bel masuk kelas sudah berdering. Semua anak di kantin bergegas bangkit dan kembali ke kelasnya masing-masing. Syifa segera membungkus kembali kotak bekalnya dan bersiap pergi ke kelas. Dia ingin mengajak Amaya berjalan bersama, namun rupanya gadis itu sudah pergi duluan. Syifa melihat Amaya keluar dari kantin dan berjalan menuju ke arah yang berlawanan dengan arah kelas. Kening gadis itu berkerut bingung. “Mau ke mana dia?” gumamnya. “Oh, mungkin dia mau pergi ke toilet.” Syifa tak merasa itu hal yang aneh, jadi dia pergi ke kelas sendirian. Ketika sampai di depan pintu, dia berjalan ke arah bangkunya dengan biasa. Sampai dia melihat sosok gadis teman sebangkunya itu sudah duduk di sana. Syifa duduk dan melirik Amaya dengan keheranan. Bukankah Amaya tadi pergi ke arah toilet? Bagaimana bisa dia secepat itu sampai di kelas mendahului Syifa? “Amaya ....” bisiknya memanggil. Amaya tidak menoleh, dia juga tidak menjawab. “Kamu tadi pergi ke toilet ya? Kok kamu bisa sampai ke kelas dengan cepat? Aku nggak lihat kamu mendahului aku.” Amaya menoleh, menatap Syifa dengan matanya yang hitam bulat. Entah mengapa, Syifa merasakan suatu sensasi aneh setiap kali Amaya menatapnya seperti itu. Syifa merasa takut dan aneh pada saat yang sama. Tapi, biar bagaimanapun juga, Syifa akan tetap mencoba ramah pada Amaya. Dia ingin agar mereka berdua bisa berteman. Mungkin, Amaya juga korban bully seperti dirinya. Syifa kembali teringat kejadian di kantin tadi, tapi tak bisa memikirkan bagaimana Amaya bisa menjadi korban bully. Jika gadis itu memang kuat, sepertinya dia tidak pantas untuk dibully. Dia pasti bisa melawan para pembully-nya dengan berani, sama seperti dia melawan Rere. Syifa menggelengkan kepala. Aku harus berpikir positif, batinnya. Setidaknya, sekarang aku akan memiliki seorang teman. Dia tersenyum.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD