Pria yang Terluka

1061 Words
Pagi hari datang dengan cepat. Syifa terbangun oleh dering alarm di atas mejanya. Gadis itu mengerjap-ngerjap bangun. Tubuhnya terasa letih dan masih mengantuk. Tapi dia harus bangun demi pergi ke sekolah. Syifa mengerang pelan. Sekolah. Tempat yang dia benci. Belajar di sekolah menjadi sebuah kegiatan yang menyebalkan dan tidak menyenangkan gara-gara adanya Rere dan gengnya itu. Hari ini, Syifa malas sekali untuk pergi ke sekolah dan bertemu mereka. Setengah dari dirinya berpikir, haruskah dia membolos hari ini? Tapi pikiran warasnya menolak. Dia tercatat sebagai siswi teladan di sekolah selama ini. Dia tak pernah membolos seharipun dalam dua tahun ini. Apa dia akan mencatatkan sejarah hari ini? Tidak, pikirnya. Dia tak ingin melakukan perbuatan yang tak baik. Lagipula ada kemungkinan beasiswanya akan terancam jika dia membolos. “Ah, menyebalkan,” gumam Syifa sembari merapatkan kembali selimut ke dagunya. Angin dingin memang terasa menggigit sampai ke tulang. Gadis itu memejamkan mata kembali, berharap dapat menikmati beberapa menit lagi waktunya untuk terlelap dalam tenang. Tok ... Tok! “Syifa, bangun! Sudah pagi, Nak!” ucap suara ayahnya dari luar kamar. Ketukan itu membuat Syifa mengerang lagi. Rasanya baru berapa detik saja dia memejamkan mata. “Syifa, sudah jam enam! Kamu nggak mau terlambat ke sekolah kan?” Ayahnya berujar. Syifa terpaksa menendang selimut dengan kesal. Dia berguling ke samping tempat tidur. “Iya, Ayah!” balasnya berteriak. Pak Burhan menggelengkan kepala di depan pintu kamar anaknya. Pria itu lekas mengerjakan pekerjaan lainnya. Dia harus menyiapkan sarapan dan bekal untuk makan siang Syifa di sekolah. Sementara Syifa mengangkat tubuhnya dengan susah payah dan duduk di tepi ranjang, masih memejamkan mata mengantuk. Setelah menarik napas dalam-dalam, dia bangkit berdiri dan menyambar handuk lalu pergi ke kamar mandi. “Hari ini kita makan nasi goreng spesial ya, Syifa!” ujar ayahnya dengan nada ceria. Syifa mengangguk singkat sebelum masuk ke kamar mandi. Ketika keluar sepuluh menit kemudian, dia dapat mencium aroma bumbu yang menggugah selera dari dapur. Aroma lezat itu membuat perut Syifa keroncongan. Dia cepat-cepat bersiap diri di depan cermin kamar dan segera pergi ke meja makan dengan bersemangat. Pak Burhan sudah duduk di sana dengan dua piring nasi goreng yang masih mengepulkan uap panas. Aroma nasi goreng itu menguar di udara. Syifa mengendusnya dengan lapar. Dia duduk tak sabar untuk menyantap bagiannya. “Eits, sabar dulu,” cegah sabg ayah. Syifa menatapnya dengan heran. “Nunggu apa Yah?” “Sebentar, ayah ambilkan.” Syifa duduk menunggu dengan tak sabaran. Dia sudah ngiler ingin segera memasukkan nasi goreng itu ke dalam mulutnya. “Ini dia,” kata Pak Burhan sambil menyodorkan sepiring penuh ayam goreng krispi. Syifa menatapnya tak percaya. Ayam goreng bukanlah menu sehari-hari mereka. Harganya yang mahal membuat mereka jarang menyantap menu yang satu itu. “Loh, ada acara apa sih, kok ada ayam goreng segala?” ucao Syifa heran. “Nggak ada. Ayah pengen aja. Yuk, dimakan.” Pak Burhan tak hentinya tersenyum. Syifa tak mau bertanya-tanya lagi. Dia menyantap nasi gorengnya dengan sepotong ayam goreng. Rasanya nikmat sekali. Mood Syifa segera membaik pagi hari itu. Dia mengucapkan terima kasih pada ayahnya yang telah repot-repot memasak semua ini untuknya. Lagi, Pak Burhan hanya terssnyum senang. Usai sarapan bersama, Syifa memasukkan kotak bekal makan siangnya ke dalam tas. Dia sudah siap berangkat sekolah. Dengan mengecup punggung tangan sang ayah, dia berpamitan berangkat. Sang ayah mengawasi kepergian putrinya dengan pandangan was-was. Dia melongok ingin memastikan bahwa Syifa lewat jalan lain yang bukan jalan sepi Duren Sawit. Setelah punggung Syifa menghilang di tikungan, senyumnya lenyap seketika. Pak Burhan duduk di ambang pintu selama beberapa menit lamanya. Pikirannya beradu tak karuan. Dia cemas, takut, serta khawatir akan keamanan putrinya. Ingin sekali dia menyusul sang putri dan mengantarkan dia ke sekolah, sama seperti dahulu saat dia masih kecil. Tapi dia tahu, Syifa tak akan setuju. Gadis itu sudah pasti akan menolak dan menertawakan dirinya. Pak Burhan memang selalu menganggap Syifa sebagai putri kecilnya, tak peduli sudah sejauh apa dia bertumbuh. Tetapi, anak itu tidak akan sama lagi. Dia tidak akan mau diantar ke sekolah seperti anak TK atau SD. Lagipula, mungkin kedatangannya ke sekolah elite itu mungkin akan membuat Syifa ditertawakan oleh teman-temannya. Pak Burhan merasa sedih. Dia membayangkan seandainya kondisinya normal seperti para ayah pada umumnya, maka semua hal buruk itu tidak akan terjadi. Kehidupan mereka juga akan menjadi jauh lebih baik dari sekarang ini. Syifa akan memiliki seorang pelindung yang kuat, yang mampu melindunginya. Dirinya juga akan bisa melamar pekerjaan yang lebih baik, dengan gaji di atas yang bulanannya sekarang. Dan mungkin, dia bisa mendapatkan sesosok ibu bagi putrinya. Pak Burhan mengembuskan napas panjang, merasa letih. Dia tak mengerti, mengapa kehidupan begitu kejam pada dirinya. Seluruh kebahagiaannya yang sempurna terenggut begitu saja secara tiba-tiba, tanpa adanya peringatan apapun sebelumnya. Pernikahannya yang indah dengan seorang istri yang cantik dan bayi yang lucu. Pekerjaan yang bagus dan keuangan stabil meski bukan berlimpah ruah, dan segala hal yang dulunya miliknya. Semua itu mendadak hilang dalam sekali ketukan. Kecelakaan tragis itu merenggut semuanya. Istrinya, pekerjaannya, bahkan kepercayaan diri dan semangat hidupnya. Segalanya telah hancur. Semua yang dia miliki lenyap tak berbekas. Dia berubah dari seorang lelaki yang patutu dibanggakan menjadi sesosok beban yang tak tertanggungkan. Pak Burhan merasa dirinya telah hancur dan mati, ketika dia menyadari bahwa ada seorang anak yang masih harus menggantungkan hidup kepada dirinya. Tanpa sanak keluarga dan saudara yang terpisah jarak, dia harus bisa merawat dan menjaga anaknya, Syifa seorang diri. Pria itu awalnya tak mau menerima kondisinya yang sudah invalid. Dia begitu terpuruk menyesali semuanya. Tapi kehadiran Syifa membuatnya tak peduli lagi. Putri kecil itu datang kepadanya sambil menitikkan air mata tanpa suara. Dia menangis sesenggukan dalam pelukan ayahnya. Dan begitulah semuanya berputar. Bagi Pak Burhan, saat itulah dia menyadari betapa kejam hidup ini bukan hanya pada dirinya, tetapi juga pada anaknya. Syifa yang berusia enam tahun harus melalui semua ini. Kehilangan ibunya. Itu pasti tidak akan mudah. Maka, dia tak boleh kehilangan ayahnya juga. Pak Burhan pun bertekad sejak hari itu, bahwa dirinya akan berusaha mati-matian untuk berjuang. Dia akan melakukan apa saja demi Syifa. Demi membuatnya terus tumbuh dan hidup bahagia. Dia tidak akan pernah membiarkan sesuatu pun menyakiti anaknya. Bahkan jika dirinya sendiri yang harus maju dan berkorban. Dia rela. Dia ikhlas. Apapun yang terjadi, dia akan menjaga putrinya. Memastikan dia baik-baik saja. Dan janji itu semakin erat sekarang. Dia tidak akan membiarkan putrinya terluka. Dia akan melakukan apapun untuk melindunginya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD