“Ayah, jangan makan gorengan ini!” ucap Syifa dengan cepat, mencegah tangan Pak Burhan yang terlanjur memegang gorengan di atas piring.
Pagi itu, mereka berdua sedang sarapan bersama di meja makan. Tak seperti biasa, Pak Burhan kali ini tidak diperbolehkan memasak oleh putri semata wayangnya itu. Syifa bersikeras agar mereka membeli nasi bungkus saja di warung dekat rumah. Syukurlah warung itu selalu buka di pagi hari, sehingga Syifa tak akan pergi ke sekolah dengan perut kosong.
Empat bungkus nasi plus gorengan sudah terhidang di atas meja sementara Pak Burhan duduk menunggu. Syifa menyiapkan dua untuk mereka makan pagi ini, satu untuk bekalnya ke sekolah dan satu lagi dia simpan untuk makan siang sang ayah. Untuk makan siang akan dia urus nanti sepulang sekolah. Di samping itu, ia juga membeli beberapa buah gorengan yang masih panas.
Melihat ekspresi wajah Syifa yang menatapnya cemas, Pak Burhan menghela napas panjang.
“Lha kan ayah pengen makan gorengan juga, Fa,” sergah ayahnya dengan wajah memelas.
“Tapi, gorengan kan tidak baik, Yah. Apalagi untuk penyakit TBC yang Ayah miliki. Lagipula minyaknya akan membuat Ayah batuk-batuk lagi.”
“Yah, satu saja ya Nak ...,” pinta orang tua itu.
Syifa tak tega sebenarnya, melihat ayahnya harus membatasi makanannya. Tapi, dia tak mau ambil resiko dengan kesehatan sang ayah. Dia baru saja jatuh pingsan kemarin.
“Tapi, Yah ....”
“Ya, baiklah. Ayah tidak akan makan ini. Ayo, kita makan nasi bungkusnya saja,” balas ayahnya dengan nada kecewa.
Diam-diam Syifa menyesali keputusannya untuk membeli gorengan itu. Tadinya dia lupa dengan ayahnya yang sakit. Biasanya dia dan sang ayah menyukai gorengan. Tapi mulai sekarang benda itu harus dikurangi bahkan dijauhkan dari sang ayah.
“Maaf ya, Ayah ... Syifa lupa,” ucap gadis itu.
“Hmm, tidak apa-apa. Ayo, makan. Keburu telat nanti sekolahmu.”
Mereka berdua makan dengan lahap. Maklum, nasi bungkus di warung itu memang terkenal enak, itulah sebabnya warung itu selalu ramai pembeli. Terutama untuk orang-orang yang tak mau repot memasak atau sedang tak sempat.
“Alhamdulillah,” ucap Pak Burhan menandaskan nasinya. Lelaki itu lantas meraih kopi buatan Syifa di atas meja.
“Eh, tunggu!”
Syifa mengangkat tangan mencegah kembali. Sang ayah kini menatapnya dengan agak jengkel.
“Ada apa lagi, Syifa?”
“Kopi itu. Bukankah kopi tidak bagus juga untuk TBC?”
Pak Burhan menghembuskan napas kasar. Jelas sekali raut kesal di wajahnya.
“Lha kan kamu yang bikinin buat ayah. Kalau nggak boleh diminum, terus buat apa dibikin?” balas ayahnya.
Syifa menggigit bibirnya dengan perasaan bersalah. Ayahnya benar. Dia memang membuatkan minuman itu untuk sang ayah, sesuai kebiasaannya untuk meminum kopi sehari minimal sekali. Tapi, dia sama sekali tidak berpikir tentang penyakit TBC ayahnya. Bodoh benar! Kutuknya dalam hati. Bagaimana dia bisa menjadi pelupa hanya dalam waktu sesingkat ini.
“Sebaiknya Syifa ambilkan air saja ya, Syifa nggak mau kalau nanti Ayah jatuh sakit lagi,” ucapnya seraya bangkit berdiri ke dispenser.
Dia mengambil sebuah gelas dan memenuhinya dengan air dingin dari galon. Tak lupa gadis itu juga mengambilkan obat dari domter kemarin. Sang ayah menggelengkan kepalanya dengan sedih. Sudah macam pasien rumah sakit saja!
“Kata siapa sih kopi nggak bagus untuk kesehatan?” selidik ayahnya menantang.
“Google,” jawab Syifa ringkas. “Aku sudah mengubek-ubek Google untuk mencari makanan apa saja yang pantang dimakan sama orang yang menderita TBC. Kafein termasuk di dalamnya. Sebaiknya dihindari saja.”
Penjelasan panjang lebar itu membuat Pak Burhan merasa sedang diceramahi oleh putribya sendiri.
“Lha terus ini kopinya gimana? Masa mau dibuang?”
Syifa menatap gelas berisi cairan berwarna pekat itu. “Ini biar Syifa saja yang minum.”
Meski tak terlalu menyukai tekstur minuman itu, Syifa terus menenggaknya hingga tandas. Sang ayah memperhatikan tingkah gadis itu dengan tenang.
“Sudah,” ucap Syifa setengah muak dengan kopinya. “Nanti Ayah jangan makan dan minum sembarangan ya. Perbanyak minum air putih saja. Kafein itu nggak bagus untuk Ayah. Ingat!” ujarnya mewanti-wanti.
Sang ayah hanya mengangguk pasrah, seperti seorang anak kecil yang dimarahi orang tuanya. Kini peranan mereka seakan terbalik. Bagi Syifa yang belum pernah merawat orang sakit sebelumnya, dia merasa memiliki tanggung jawab lebih kepada sang ayah. Karena tak ada oramg lain lagi yang akan mengurus pria itu kecuali dirinya.
“Awas ya, Ayah. Kalau sampai Ayah nggak menuruti ucapan Syifa, Syifa akan marah! Syifa akan ngambek dan nggak mau lagi ngomong sama Ayah!” ancamnya dengan mimik muka galak.
“Ya, ya. Baiklah, Suster,” goda ayahnya dengan nakal.
Sementara Syifa bangkit untuk membereskan sisa makan pagi mereka, Pak Burhan kembali ke ruang depan untuk bersiap bekerja kembali.
“Ayah mau ngapain?” tanya Syifa dengan mata menyelidik.
“Kerja, Nak. Mau ngapain lagi?”
“Sebaiknya jangan terlalu memaksakan diri. Kalau Ayah merasa tidak sanggup—“
“Ayah sanggup. Ayah sudah sehat kembali. Lagipula pekerjaan Ayah sudah menumpuk begini, siapa yang mau kerjakan kalau bukan ayah? Nanti bisa-bisa ayah kena damprat para pelanggan kalau pesanan mereka tisak selesai,” bantah Pak Burhan memotong ucapan Syifa.
“Tapi, kalau nanti Ayah kelelahan gimana? Kan kata dokter nggak boleh sampai kelelahan?”
“Tenang saja. Nanti Ayah akan istirahat juga kalau lelah. Atah tidak akan memforsir diri sendiri,” sanggahnya.
Meski agak ragu dengan ucapan itu, namun Syifa tak bisa berbuat apa-apa. Dia toh harus pergi ke sekolah. Dia tak mungkin bisa terus menerus mengawasi sang ayah selama seharian.
Seandainya saja ada seorang wanita yang mengambil peran sebagai ibu di rumah ini, Syifa pasti akan bisa meninggalkan sang ayah dengan tenang. Dia tak perlu mencemaskan makanan apa yang akan dimakan ayahnya, apakah dia akan beristirahat cukup seperti janjinya atau bahkan tidak perlu takut jika sewaktu-waktu ayahnya jatuh seperti kemarin. Akan ada seseorang yang mengawasinya sepanjang waktu. Tapi sayang, ibunya sudah lama pergi meninggalkan mereka berdua. Tanpa kabar dan tanpa basa-basi. Wanita yang tak punya hati ....
Mendadak Syifa menggelengkan kepalanya berusaha mengusir bayangan menyebalkan itu. Tak ada gunanya meratapi nasib dan mengandai-andaikan sesuatu yang tak mungkin, pikirnya dengan agak sedih.
“Ya sudah, pokoknya Ayah jaga kesehatan baik-baik. Jangan lupa minum obat dan air putih yang banyak!”
Pak Burhan mengangguk. Syifa berpamitan seraya mencium punggung tangan lelaki itu. Pak Burhan mengawal kepergian anaknya dengan pandangan mata. Baru setelah gadis itu menghilang di tikungan, dia kembali ke ruang depan dan mulai bekerja dengan rajin.